Kamis, 03 Mei 2012

Harga BBM Tidak Naik, Lalu Apa?


Harga BBM Tidak Naik, Lalu Apa?
Endriartono Sutarto; Panglima TNI 2002-2006
SUMBER : KOMPAS, 03 Mei 2012


Menjelang 1 April lalu kita menghadapi guncangan sosial-politik akibat rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Dalam setahun terakhir harga minyak bumi memang terus naik. Saat harga minyak bumi menembus 100 dollar AS per barrel, pemerintah seperti panik: dengan harga BBM bersubsidi di angka Rp 4.500 per liter, APBN 2012 diprediksi akan jebol.

Beberapa pilihan lalu digulirkan. Menaikkan harga BBM bersubsidi Rp 500 sampai Rp 1.500 atau melakukan pembatasan. Semula pemerintah cenderung pada pilihan pembatasan. Ketika kritik keras bertubi-tubi, pemerintah akhirnya memilih menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp 6.000 per liter. Kebijakan ini lalu gencar disosialisasikan.

Namun, segencar apa pun dan dengan pertimbangan apa pun, pilihan menaikkan harga BBM bersubsidi tak mudah diterima khalayak. Dampaknya tidak hanya dirasakan golongan berpunya, tetapi juga warga di semua strata meski dengan skala berbeda-beda. Karena itu, iming-iming kompensasi berupa bantuan langsung sementara masyarakat tak mampu menghentikan protes atas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Mahasiswa, buruh, aktivis, dan partai politik nirkoalisi sejak awal menolak rencana pemerintah itu. Kegagalan menaikkan harga BBM bersubsidi tak mendorong pemerintah segera ambil langkah strategis terkait ketergantungan kita terhadap minyak bumi. Wacana membatasi BBM bersubsidi bahkan kembali dicuatkan.

Kalau melalui media massa kita menyaksikan sejumlah kendaraan mewah sedang diisi BBM bersubsidi, jangan itu dijadikan pegangan bahwa mayoritas penikmat BBM bersubsidi kelompok menengah atas. Selama transportasi umum jauh dari memadai (jumlah maupun kenyamanannya), memiliki kendaraan pribadi bukan kemewahan.

Kalau BBM bersubsidi boleh dinikmati hanya oleh golongan bawah, pilihan pembatasan menjadi sangat tak tepat. Sebab, kendaraan di atas 1.500 cc berusia tua banyak dimiliki kalangan tak berpunya, yang sehari-hari memerlukan transportasi untuk mencari nafkah.

Agar Tetap Sintas

Selama tingkat pendapatan masyarakat relatif rendah, pembatasan BBM bersubsidi hanya akan memicu masyarakat mencari jalan pintas agar tetap sintas. Menjelang rencana kenaikan harga BBM kemarin, banyak taksi dan angkot yang memodifikasi tangki bensinnya agar dapat menampung BBM bersubsidi dalam jumlah besar. Hal semacam itu dipastikan kembali terulang dengan adanya pembatasan BBM bersubsidi. Mereka yang tak mampu membeli Pertamax dan mereka yang butuh penghasilan tambahan akan bekerja sama. Kita tentu tak ingin itu terjadi.

Menaikkan harga atau membatasi pemakaian BBM bersubsidi sesungguhnya dapat dihindari pemerintah. Kita masih ingat konversi minyak tanah ke elpiji. Pada awalnya ada beberapa kendala. Namun, hasil akhirnya harus diakui: konversi sukses berkat persiapan matang, sosialisasi memadai, dan kepastian pemerintah mengambil sikap.

Sesungguhnya masyarakat kita cukup kooperatif dan siap menjalani perubahan asal mendapat kemudahan memenuhi kebutuhan serta tak merasa dirugikan dengan kebijakan yang diambil. Sayangnya, pengalaman berharga itu tak diterapkan dalam mengelola soal BBM bersubsidi.

Mestinya saat harga BBM diturunkan pada 2009, pemerintah bikin berbagai persiapan mengonversi BBM ke bahan bahar gas (BBG). Maka, ketika harga minyak bumi melambung tinggi seperti sekarang ini, pemerintah tak harus panik dan tak harus mengambil langkah kebijakan yang hanya akan membebani masyarakat.

Bila semua persiapan konversi dilakukan setelah Pemilu 2009 yang ”aman damai”, dalam kurun dua tahun konversi untuk Jawa dan Bali sudah terselesaikan. Maka, pada awal 2012 Premium sudah dapat ditarik dari peredaran di kedua wilayah itu, kecuali dalam jumlah terbatas bagi sepeda motor dan kebutuhan kecil lain. Harap diingat, konsumsi Premium untuk Jawa dan Bali mencapai lebih dari 60 persen konsumsi nasional. Jadi, pengurangan BBM bersubsidi di kedua wilayah ini sangat besar artinya.

Konversi BBM bersubsidi ke BBG tak dapat dimungkiri merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi fluktuasi harga minyak bumi. Cadangan terbukti gas kita 104 triliun kaki kubik, jauh lebih besar daripada cadangan terbukti minyak bumi kita yang tinggal 3,7 miliar barrel. Harga keekonomian BBG yang Rp 3.100 setara 1 liter Premium akan sangat menguntungkan masyarakat.

Kalau pemerintah sedikit saja peka pada penderitaan rakyat, seharusnya yang dilakukan adalah segera mulai membangun sarana dan prasarana konversi dari Premium ke BBG. Bangunlah depo BBG, stasiun pengisian BBG di setiap SPBU, dan industri pembuatan konverter kit. Distribusi dan pemasangannya gratis bagi angkutan umum. Permudah pembelian serta pemasangannya untuk kendaraan pribadi.

Perlu Waktu

Ini semua memerlukan waktu dan tidak seperti cerita Sangkuriang atau Candi Prambanan. Karena itu, konversi jangan lagi ditunda-tunda. Biaya yang dikeluarkan memang cukup besar. tetapi manfaat fiskal setiap tahun yang akan diperoleh sangat tinggi. Kita pun dapat menghindari ongkos politik yang kelewat besar akibat keributan yang mengganggu ketenangan masyarakat.

Setelah ontran-ontran politik menuju 1 April 2012, kita semua tahu bahwa pilihan menaikkan harga BBM bersubsidi telah gagal. Korban kekerasan di berbagai penjuru Tanah Air, baik dari kalangan demonstran maupun dari aparatur penegak hukum, telah menjadi ongkos yang terlalu mahal. Keputusan tidak diambil, keriuhan telanjur terjadi.

Memilih kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang sekarang dicuatkan hanya memperumit pemerintah dan membebani rakyat. Pemahaman pemerintah bahwa program konversi tidaklah mungkin sukses kalau harga Premium tidak dinaikkan terlebih dahulu adalah absurd.

Belajar dari pengalaman konversi minyak tanah, konversi Premium juga akan dengan sendirinya berjalan kalau seluruh infrastruktur BBG telah terbangun. Masyarakat akan dengan sendirinya beralih ke BBG apabila mendapat kemudahan memperolehnya dan keuntungan dalam penggunaannya.

Pemerintah juga akan diuntungkan karena harga Premium dapat dinaikkan sesuai dengan harga keekonomian. Berpikir menaikkan harga BBM sebagai alasan menjalankan konversi adalah logika yang sama sekali terbalik dan tidak realistis.

Di atas semuanya, pemerintah jangan menutup telinga terhadap masukan dari mana pun. Jangan egoistis dengan hanya memikirkan kepentingan sendiri. Demokrasi memberi pesan kepada kita bahwa suara dan aspirasi rakyat banyak harus didengar.

Mengapa bersikukuh dengan pilihan pembatasan, sementara manfaat yang didapat masyarakat akibat dari kebijakan pemerintah sesungguhnya merupakan keberhasilan pemerintah. Segerakan proses konversi BBM ke BBG agar ”pemerintah untung, rakyat juga untung”. Mengapa tidak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar