Politik
Oportunis
Benny Susetyo, Pemerhati Sosial
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 17 April 2012
SETIAP
sistem pemilihan memiliki kelemahan dan keunggulan. Para wakil rakyat bertugas
memilih sistem pemilihan yang lebih menekankan pendewasaan demokrasi, bukan semata-mata
untuk kepentingan politik jangka pendek.
Pembahasan
topik akhir-akhir ini pada akhirnya dapat dikatakan tidak memberikan harapan
signifikan atas kemajuan demokrasi. Kepentingan politik partai dalam jangka
pendek lebih diutamakan daripada proses membangun demokrasi yang lebih sehat. Dapat
dilihat, demokrasi lebih dikendalikan para pemilik kapital daripada
mengedepankan figur yang cerdas dan merupakan representasi rakyat.
Harapan
akan kemajuan demokrasi akhirnya kabur. Perkembangan dan proses menuju
demokrasi substansial masih jauh panggang daripada api. Berbagai kesalahan masa
lalu berpotensi kita ulangi kembali. Demokrasi pada akhirnya kembali menjauh
dari nalar sehat dalam mengelola kehidupan bersama.
Padahal, esensi utama demokrasi ialah kedaulatan rakyat sebagai pemegang mandat. Tentu saja daulat rakyat dan penghormatan atas hak dan martabat bukan soal menang atau kalah belaka.
Padahal, esensi utama demokrasi ialah kedaulatan rakyat sebagai pemegang mandat. Tentu saja daulat rakyat dan penghormatan atas hak dan martabat bukan soal menang atau kalah belaka.
Dikendalikan Materi
Harga
dalam berdemokrasi menjadi mahal karena tata nilai politik lebih banyak
direduksi untuk kepentingan material belaka. Ongkos politik semakin mahal dan
dapat diyakini sangat jauh dalam menghasilkan kualitas parlemen yang memadai. Parlemen
yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam proses menjalankan kedaulatan
rakyat masih menjadi sebuah mimpi.
Itu
semua karena sebagian besar kelompok politik lebih menyukai desain sistem pemilihan
yang memihak mereka yang berkemampuan finansial dan memiliki popularitas lebih.
Walaupun kecakapan dan kapabilitas mereka dipertanyakan, asal punya uang dan
terkenal, mereka akan mampu mengendalikan demokrasi negeri ini.
Tanpa
kita sadari, itu semua justru membuat demokrasi kita selama ini terdengar
begitu gaduh dan penuh dengan perdebatan tanpa substansi. Kegaduhan itu terjadi
saat politik lebih banyak jargon dan janji daripada bukti nyata di tengah
rakyat. Partai politik lebih mendengarkan suara pemilik kapital daripada
konstituen mereka.
Itulah
ironi demokrasi itu. Sebuah demokrasi yang tidak berkarakter. Itu semua membuat
bangsa ini semakin tidak memiliki jati diri dan visi masa depan. Kita kehilangan
nilai-nilai sejati yang luhur. Kita melihat partai politik yang tidak bervisi
akibat mereka tidak memiliki cakrawala ke depan untuk berpikir, bernalar, dan
bertindak.
Demokrasi
pun tak ubahnya aksesori belaka. Ia ditempelkan dalam berbagai baju, tetapi
sesungguh tetapi sesungguh nya sudah kehi langan karakternya.
Dalam
proses pembahasan sistem pemilihan (UU Pemilu), dapat kita rasakan betapa para
kelompok politik tersandera dan terjebak dalam beragam kepentingan
transaksional. Atas hal itu, kita meragukan mampukah pemilu ke depan melahirkan
kualitas anggota parlemen yang betul-betul berjuang untuk rakyat?
Demokrasi
yang begitu kental dikendalikan kekuatan kapital akan menghancurkan kesetiaan
kepada garis ideologi dan visi politik. Kader partai pun hanya berpikir dengan
logika `jual-beli'. Semua tindakan politik dilakukan secara transaksional, rugi
dan untung berapa. Itu lantaran politisi terdidik oleh budaya bahwa aktivitas
politik merupakan kegiatan untuk mengubah status hidup secara ekonomis.
Politik Oportunis
Kenyataan
tersebut membenarkan argumen yang menyatakan secara umum proses transisi
politik dari otoriter menuju demokratis saat ini masih terperangkap dalam
sistem oligarki. Itu terjadi baik di lingkungan partai politik maupun di
lembaga-lembaga politik, terutama parlemen mulai tingkat pusat hingga daerah.
Politik
oligarki telah oligarki telah menghasilkan aturan UU Pemilu yang didasarkan
pada kompromi-kom promi politik yang nyaris bersifat oportunis. Kebijakan
politik yang demikian pada akhirnya hanya akan menghasilkan elite politik baru
yang kepeduliannya diragukan untuk memihak kepentingan rakyat banyak.
Cukup
beralasan pula bila ada pihak yang meragukan apakah setelah pemilu akan
menghasilkan perubahan terhadap mutu politik di Senayan dan bahkan
penyelenggaraan negara secara luas. Arti dari semua ini ialah bahwa kita masih
menunggu seki an waktu untuk `bersabar' dan ebih tahan terha dap penderitaan
yang berkepan jang an akibat elite politik yang tidak pro rakyat.
Bisa
jadi politik uang memang tidak terlalu tampak dalam modus-modus lama. Namun
jika kita melihat begitu besar anggaran yang harus dikeluarkan seorang caleg
untuk dipilih sebagai anggota dewan, itu berarti kita sedang menonton
pertunjukan lain bagaimana politik di Indonesia begitu dekat dengan aroma uang.
Mereka
yang memiliki dana besar bisa melakukan apa saja untuk merebut simpati rakyat,
dan sebaliknya. Arti yang lain, simpati rakyat tumbuh akibat citra dan iklan,
bukan dari sikap, perilaku, dan tanggung jawab seorang calon wakil rakyat.
Manipulasi Uang
Realitas
ini menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di
situlah kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, tetapi juga
calo media massa yang mampu menghipnosis publik seolah-olah mereka pantas
menjadi pemimpin.
Gejala
ini menggambarkan proses transisi demokrasi sebagaimana dikatakan Schmitter,
terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari
ketidakpastian era transisi. Mereka sekarang sangat banyak kita jumpai di
publik dengan berbagai kedok, sok reformis, sok mengkritik, dan provokatif. Di
balik itu semua, ujung-ujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita
dalam berbagai permainan politik.
Rakyat
tetaplah rakyat yang tidak punya kedaulatannya, tetap termarjinalisasi dari
akses-akses politik dan ekonomi. Itu semua terjadi karena kultur politik kita
masih kultur centeng, sok priyayi meski karbitan. Itulah yang menguasai
sendi-sendi kehidupan politik kita. Disadari atau tidak, kita ini sebenarnya
dikuasai para calo politik, bukan negarawan.
Kita
perlu membangun budaya baru yang didasarkan pada pertimbangan rasionalitas
dalam pemilihan. Bukan lagi pada mitos dan politik aliran, melainkan pada
pertimbangan integritas, kepribadian, dan moralitas calon. Elite politik kita
terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti sekadar mengeksploitasi
emosi rakyat serta tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke
depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar