Menghitung
Korupsi di Daerah
Dominikus Dalu S, Senior
Asisten Ombudsman pada Ombudsman Republik Indonesia
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 17 April 2012
KITA
patut memper tanyakan masa de pan pelaksanaan otonomi daerah yang sudah
berlangsung lebih dari 10 tahun karena pembangunan di daerah sepertinya belum
membawa perubahan berarti. Hanya di daerah tertentu yang secara kebetulan
kepala daerahnya berprestasi karena memberikan kemajuan pada wajah daerah,
sebut contoh Kota Surakarta dan Kabupaten Jembrana.
Selebihnya,
publik disuguhi berita tentang tertangkapnya aparat pemerintah daerah karena
korupsi. Setidaknya sampai dengan Februari 2012, Presiden telah memberikan izin
pemeriksaan terhadap 168 kepala daerah atas permintaan penegak hukum. Sebanyak
78 izin di antaranya menyangkut kasus korupsi periode 1999-2004. Adapun 90 izin
berkaitan dengan kasus yang terjadi dalam tujuh tahun masa kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
Selain yang sudah dihukum atau telah memperoleh vonis pengadilan, jumlah tindak
pi dana korupsi di daerah yang memasuki tahap penyidikan sampai saat ini
mencapai sekitar 1.028 kasus, tercatat 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah
terlibat korupsi.
Kasus
paling `anyar' mengenai korupsi ialah penahanan beberapa anggota DPRD Riau
terkait dengan suap dana PON di Pekanbaru dan Wali Kota Semarang Soemarmo
karena terlibat suap dalam pembahasan RAPBD 2012 oleh KPK.
Sebagai akibat dari
meratanya korupsi di tingkat pusat dan daerah, publik menggugat manfaat serta
kemaslahatan otonomi daerah. Padahal, hakikat otonomi daerah yang pertama dan
terutama ialah pemerataan dan peningkatan kesejahteraan serta keadilan
masyarakat di daerah dengan mengelola pemerintahan secara otonom.
Merampok APBD
Sebagian
besar dana yang dikorupsi di daerah berasal dari APBD. Data BPK tentang
komitmen APBD selama masa reformasi di lebih dari 200 kabupaten dan kota
se-Indonesia memperlihatkan rasio yang timpang. Besaran dana pembangunan daerah
ternyata hanya mencapai 17%-29%. Artinya, hampir sebagian besar uang rakyat dan
kekayaan negara selama era otonomi daerah terserap untuk membiaya semua unsur
pemerintahan daerah. Hal itu bisa terjadi karena belanja yang besar dan
pembiayaan tinggi terhadap aparatur pemerintahan termasuk pengeluaran yang
tidak seharusnya serta adanya penyimpangan.
Korupsi
di mana pun dan oleh siapa pun pada dasarnya disebabkan dua hal, yakni perilaku
manusia dan sistem yang memberikan peluang. Menurut KPK, pemerintahan daerah
yang paling sering terlibat korupsi ialah dari unsur anggota dan pimpinan DPRD
serta pemerintah daerah (gubernur atau bupati/wali kota dan jajarannya).
Modus
yang paling sering dilakukan DPRD ialah memperbesar mata anggaran untuk
tunjangan dan fasilitas anggota DPRD, menyalurkan dana APBD bagi anggota
parlemen daerah melalui yayasan fiktif, memanipulasi perjalanan dinas, menerima
gratifikasi, dan menerima suap. Modus yang paling sering dilakukan unsur
pemerintah daerah ialah pengadaan barang dan jasa dengan cara mark-up dan pengubahan spesifikasi
barang, penggunaan sisa anggaran tanpa pertanggungjawaban dan tanpa prosedur,
penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah, pemanipulasian
sisa APBD, pemanipulasian dalam pengadaan/perizinan dan konsesi hutan,
gratifikasi dari BPD penampung dana daerah, bantuan sosial tidak sesuai
peruntukannya, penggunaan APBD untuk keperluan keluarga dan kroninya,
penerbitan perda untuk upah pungut pajak, tukar guling aset daerah secara mark down, penerimaan fee bank, dll. Selain
itu, menurut BPK, modus korupsi yang dilakukan di daerah mencakup tiga hal,
yakni penggelembungan dana program, program fiktif, dan investasi dana daerah
pada lembaga keuangan yang tidak prudent. Beberapa kabupaten di Provinsi Papua,
misalnya, pernah mengalami kebangkrutan karena defisit APBD yang parah.
Selain
itu, sudah menjadi hal lumrah kalau pemda tertentu di Indonesia menunggak
pembayaran listrik yang menjadi kewajiban dan pembayaran biaya rumah sakit
daerah bagi pasien penerima Jamkesmas dll karena salah urus atau bahkan karena
anggarannya telah dikorupsi.
Salah
satu penyebab mengapa korupsi demikian marak di daerah ialah ongkos politik
pemilu kada yang sedemikian mahal. Kesenjangan antara dana kampanye pemilu kada
dan gaji kepala daerah membuat korupsi berjalan secara masif. Dana yang
dihabiskan calon gubernur atau bupati/ wali kota untuk kampanye mencapai puluhan
bahkan ratusan miliar rupiah.
Seorang
gubernur, misalnya, dalam lima tahun masa jabatannya maksimal hanya bisa
mengumpulkan Rp6 miliar. Ambil contoh, seorang Gubernur DKI Jakarta, misalnya,
bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp100 juta per bulan dari gaji plus
tambahan penghasil an lainnya sehingga dalam setahun mencapai Rp1,2 miliar,
dalam lima tahun periode pemerintahannya maksimal hanya terkumpul Rp6 miliar. Kondisi
gaji pokok yang diterima saat ini untuk gubernur hanya berkisar Rp8,6 juta dan
gaji bupati atau wali kota sekitar Rp6,2 juta. Pertanyaannya, bagaimana
menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama masa kampanye pemilu kada? Karena
itu, bukan mustahil kepala daerah dapat menghalalkan segara cara termasuk
korupsi untuk balik modal.
Melihat
praktik serta modus korupsi yang sedemikian parah karena menggerogoti hampir
semua keuangan daerah yang notabene diperuntukkan bagi kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat, rasanya tepat adagium yang menyatakan korupsi membawa
kehancuran kepada suatu bangsa. Oleh karena itu, penanganan kasus korupsi di
semua tingkatan dan kepada siapa saja yang terlibat, apakah di tingkat pusat
maupun di daerah, senantiasa dilakukan tanpa pandang buluh apalagi tebang
pilih.
Kejahatan Kalkulasi
Mengingat
pula bahwa praktik korupsi di daerah yang tidak kalah canggih dengan praktik
korupsi di tingkat pusat, upaya luar biasa hendaknya juga harus diterapkan
dalam pemberantasan korupsi di daerah. Oleh karena ujung tombak pemberantasan
korupsi ada pada penegak hukum, ke depan kita berharap penegak hukum
benar-benar tidak main mata dengan koruptor. Semoga kita tidak mendengar lagi
berita tentang bebasnya koruptor melalui putusan pengadilan baik oleh
pengadilan tipikor di daerah maupun oleh pengadilan umum. Selain itu, hukuman
yang berat bagi koruptor perlu diterapkan.
Hukuman
paling berat bagi koruptor yang berlatar belakang kepala daerah selama ini baru
menimpa Bupati Lampung Timur Satono. Ia dihukum penjara selama 15 tahun
berdasarkan putusan kasasi MA pada awal tahun ini, walaupun belum dapat
dieksekusi karena yang bersangkutan kabur dan sekarang menjadi salah satu buron
yang paling dicari.
Sementara
kepala daerah lainnya yang terlibat korupsi mendapat hukuman kurang dari itu,
bahkan ada yang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama seperti Wali Kota
Bekasi (Pengadilan Tipikor Bandung), walaupun kemudian dihukum penjara sesuai
dengan putusan pengadilan di tingkat MA. Ide memiskinkan koruptor kiranya hanya
bukan wacana, melainkan sudah layak untuk segera diterapkan. Bila perlu, buat
UU khusus tentang pemiskinan koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar