Kerentanan
UU Penanganan Konflik Sosial
Novri Susan, Sosiolog Konflik Universitas Airlangga,
Surabaya;
Penulis Buku Negara Gagal Mengelola Konflik (2012)
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 April 2012
Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik
Sosial sudah disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 11
April 2012 sebagai undang-undang baru (UU PKS). Lantas apakah berbagai konflik
dan kekerasan yang selama ini masih menjadi warna dominan hidup berbangsa bisa
dihapus atau direduksi secara signifikan? Menjawab pertanyaan ini, paling tidak
ada dua hal fundamental dalam perspektif tata kelola konflik negara demokratis.
Pertama, substansi materi UU PKS yang berkaitan dengan konsep dan perspektif.
Kedua, model praktek kekuasaan dari level pusat sampai daerah di Indonesia.
Perspektif tata kelola konflik secara
fundamental menjelaskan filosofi bahwa setiap relasi sosial, baik dalam
ekonomi, politik, maupun kemasyarakatan, memiliki sifat konfliktual. Setiap
manusia dan kelompok kolektif tertentu (subyek sosial), dalam relasi keseharian
yang kompleks, tidak bisa menafikan bahwa kebutuhan yang direpresentasikan oleh
pengetahuan, kepentingan, dan tujuan-tujuan tertentu dalam lingkungan hidup
bersama selalu berada dalam realitas yang relatif serta dinamis. Kebutuhan-kebutuhan
yang relatif itulah yang menyebabkan setiap relasi sosial tidak secara langsung
pada kondisi konsensual (pemecahan masalah), tapi melalui proses interaksi
dinamis dari perbedaan, pertentangan, dan persaingan dari setiap kebutuhan
subyek. Proses interaksi dinamis tersebut yang secara substantif menciptakan
variasi fenomena konflik dalam arena kehidupan sosial, seperti di pasar,
sekolah, perusahaan, dan perkantoran.
Berdasarkan filosofi tersebut, konflik
merupakan relasi sosial antar-subyek sosial yang memiliki perbedaan kebutuhan
dengan menciptakan interaksi dinamis dalam arena sosial tertentu. Pada
perspektif ini, konflik memiliki konteks, dan bukan merupakan situasi benturan
atau kekerasan fisik di antara subyek sosial. Praktek kekerasan memiliki dimensi
berbeda, walaupun bisa beririsan dengan fenomena konflik (Rules, 1988; Kalyvas
dkk, 2008). Namun, secara simplistis, dalam UU PKS pasal 1 ayat 1 disebutkan,
"Konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah benturan dengan
kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan."
Perspektif konflik ala UU PKS itu jelas akan menjadi pintu gerbang kesalahan
fundamental dalam membangun tata kelola konflik sosial.
Sebab, dalam perspektif konseptualnya, UU PKS
memiliki kecenderungan meningkatkan represi dan kekerasan negara yang dipandang
mampu menciptakan "pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan
pasca-konflik" (pasal 1 ayat 2). Secara mengada-ada dipaparkan lebih
lanjut soal kondisi keadaan konflik dalam pasal 1 ayat 7, "adalah
suatu keadaan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat atau wilayah tertentu di
mana keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, aktivitas pelayanan
pemerintahan terancam...". Jika UU PKS ini diterjemahkan dalam kebijakan
politik, konflik antara kelompok masyarakat sipil dan pihak swasta, yang pada
banyak kasus melibatkan pemerintah, bisa langsung diterjemahkan sebagai ancaman
terhadap keamanan dan ketertiban. Apalagi pada pasal 30, gubernur dan
bupati/wali kota bisa meminta bantuan sumber daya TNI untuk menangani
"keadaan konflik". Pasal ini rentan dimanfaatkan untuk kepentingan
melindungi kepentingan sempit ekonomi politik tertentu. Misal pada kasus-kasus
konflik para petani adat dengan swasta atau perusahaan milik negara (badan usaha
milik negara) bisa dengan mudah dipandang sebagai "keadaan konflik"
yang mengancam keamanan dan ketertiban. Pada banyak kasus, dengan melihat
perilaku negara selama ini, masyarakat petani kecil atau adat bisa
tersubordinasi oleh kekerasan negara.
Pada kenyataannya, fenomena konflik tidak
selalu sarat dengan praktek kekerasan fisik dan selalu membutuhkan pendekatan
kontekstual untuk memecahkan masalah di dalamnya. Respons kekerasan fisik bisa
saja merupakan respons terhadap ketidakadilan dari struktur ekonomi politik
tertentu. Adapun jika mengacu pada UU PKS, setiap konflik adalah benturan dan
kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah praktek sosial yang tercipta melalui
proses simultan antara naluri animal prone dan nalar instrumental yang
secara sengaja menggunakan kekerasan untuk mencapai kebutuhan subyek sosial.
Fenomena konflik sosial bisa dibubuhi kekerasan fisik ketika subyek-subyek
sosial masuk dalam proses simultan tersebut. Kekerasan selalu menjadi kendala
setiap relasi konflik mencapai kondisi konsensual. Karena itu, pada masyarakat
yang telah terbangun sistem sosial dan budaya cenderung terdapat kelembagaan
yang mendorong konflik-konflik para anggotanya mencapai kondisi konsensual.
Pada dunia modernitas, kelembagaan itu
disebut local wisdom (kearifan lokal) dalam pranata adat yang masih
memelihara struktur sosial dan budaya secara kuat. Posisi pranata adat secara
sosiologis menjadi sangat fundamental dalam upaya menyelesaikan berbagai
konflik sosial. Namun, walaupun UU PKS dalam pasal 37 memasukkan posisi pranata
adat sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian konflik, tidak ada penekanan
substantif bahwa konflik sosial yang disebabkan oleh kebijakan negara bisa
diselesaikan oleh mekanisme adat. Sebaliknya, sangat ditekankan bahwa semua
konflik sosial merupakan produk dari benturan kepentingan dalam masyarakat
semata sebagaimana dimuat dalam pasal 5. Padahal tidak jarang kekuasaan sering
memanfaatkan kelompok sipil untuk mengalihkan dimensi konflik vertikal menjadi
konflik sosial horizontal. Kelengahan ini pada praktek perundangan UU PKS
berpotensi menciptakan deteriorating conflict atau kondisi konflik yang
meluas ke bentuk kekerasan kolektif dalam masyarakat.
Praktek Kekuasaan
Isu kedua adalah model praktek kekuasaan dari
level pusat sampai daerah yang memiliki posisi dominan dalam UU PKS. Secara
normatif, UU PKS melalui pasal 9 mendorong pemerintah daerah, yang menjadi
aktor kuat dalam penanganan konflik sosial, menjalankan prinsip kepemerintahan
yang baik, menegakkan hukum, serta melestarikan nilai budaya dan kearifan
lokal. Tapi pasal 9 tersebut secara politis bisa saja diabaikan atau terhapus
karena materi-materi buruk lebih dominan. Pada saat bersamaan, kekuasaan
memiliki kebiasaan politik (habit) tidak demokratis yang dibentuk oleh
kepentingan sempit.
Masih banyak kekuasaan daerah yang berpihak
kepada pemodal besar dalam sengketa tanah antara masyarakat dan swasta, lebih
aktif pergi jalan-jalan ke luar kota daripada turun ke bawah menyerap aspirasi,
serta tidak sedikit pula kekuasaan daerah yang lebih memilih cara kekerasan
untuk menangani berbagai kasus konflik sosial. Kenyataannya, kekuasaan di
Indonesia, pusat dan daerah, masih memiliki kebiasaan politik buruk, seperti
sering berpihak kepada kelompok yang memberi keuntungan sendiri, menjadikan
keamanan sebagai bisnis, sampai mengabaikan aspirasi masyarakat kecil dalam
banyak isu. Maka kombinasi materi UU PKS dan kebiasaan politik kekuasaan di
Indonesia akan menciptakan kombinasi ampuh makin parahnya konflik-konflik
sosial dan meningkatnya kekerasan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar