Pesantren
dan Kekerasan
Mohammad Guntur Romli,
AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 12 Januari 2012
Melalui pendidikan dan penguasaan terhadap pengetahuan agama, misi pesantren hakikatnya misi jihad nirkekerasan.
Sebelumnya Dimuat di BeritaSatu.Com, 11 Januari 2012
Link: http://www.beritasatu.com/mobile/blog/nasional-internasional/1303-pesantren-dan-kekerasan.html
Ada stereotip pesantren dikaitkan dengan ideologi, gerakan, dan jaringan kekerasan. Meskipun tidak menutup mata adanya beberapa alumni dan jaringan pesantren yang dipakai oleh kelompok teroris di Indonesia.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang menjadi bukti akulturasi Islam dengan budaya setempat.
Pesantren bukan istilah dari bahasa Arab, namun—yang sering dikutip oleh KH
Abdurrahman Wahid—Gus Dur—dari bahasa Pali. Ma’had yang berasal dari istilah
Arab yang dilekatkan belakangan pada pesantren adalah istilah yang baru dan
tidak terlalu populer.
Misi utama pesantren adalah mendidik para
santri (tabiyah). Inilah yang membedakan antara pesantren dengan madrasah
(sekolah) yang hanya bisa pengajaran (ta’lim). Di Pesantren para santri/siswa
diwajibkan bermukim, sehingga tidak hanya pengajaran materi di dalam kelas
namun juga pendidikan di luar kelas. Sementara madrasah (sekolah) hanya
terbatas pada pengajaran di dalam kelas.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang membumi. Saking membuminya, nama pesantren-pesantren lama membawa nama
daerah yang biasanya nama dusun atau kampung setempat. Misalnya: Pesantren
Buntet, Cirebon; Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Genggong, Probolinggo;
Pesantren Sukorejo, Situbondo; Pesantren Lirboyo, Kediri, dst.
Sedangkan nama “Arab” Pesantren Sukorejo
adalah Salafiyah Syafi’iyah atau Zainul Hasan untuk Pesantren Genggong tidak
terlalu terkenal.
“Mutafaqqih” dan “Mundzir”
Filosofi pesantren menurut KH Idris Jauhari seorang pendidik dari Pesantren
al-Amien Prenduan, Madura berangkat dari ayat 122 surat al-Tawbah: Tidak
sepatutnya bagi orang-orang beriman itu pergi (berperang) semuanya. Mengapa
tidak berangkat dari tiap-tiap kelompok di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali supaya mereka itu dapat menjaga diri.
Sebab turunnya (asbab al-nuzûl) ayat ini
adalah konteks masyarakat muslim di Madinah yang saat itu seluruhnya terpicu
berangkat ke medan perang untuk berjihad membela negeri dan agamanya dari
serbuan musuh kaum musyrik Mekkah.
Firman ini ingin mengingatkan, jangan semua
orang Islam berangkat ke medan perang untuk berjihad, tapi hendaknya ada
sebagian yang mendalami pengetahuan agama dan menjadi pengingat bagi kaumnya
setelah menyelesaikan pendidikan.
Jadi misi pesantren menurut KH Idris Jauhadi
adalah misi qurani: yakni untuk melahirkan kader yang mutafaqqih fi al-din
(menguasai dan mengeri pengetahuan agama) dan kalau mereka sudah selesai dari
pendidikan di pesantren yang selanjutnya kembali ke masyarakat mereka menjadi
mundzir (pengingat) bagi masyarakatnya. Arti mundzir di sini yang sejalan
dengan makna dai (pengajak) atau muballigh (penyampai).
Karena itu tugas tokoh agama di tengah
masyarakat adalah murabbi (pendidik), mundzir (pengingat), dai (pengajak), atau
muballigh (penyampai) saja, mereka bukanlah pemaksa dan penguasa atas nama
agama.
Filosofi peran tokoh agama sebagai pengajak
dan pendidik ini sejalan dengan misi kenabian yang disebutkan dalam Surat
Al-Ghasyiah (Hari Pembalasan) ayat 21-22, Allah menegaskan bahwa tugas
Muhammad, rasul-Nya, hanya sebagai pemberi ingatan (mudzakkir), bukanlah
penguasa (mushaythir) yang memaksa.
Hal yang lebih penting yang bisa kita ambil
dari ayat 122 surat al-Tawbah di atas, bahwa pendidikan Islam—dalam konteks
pembicaraan kita: pesantren—didirikan agar tidak semua orang Islam pergi
berperang untuk berjihad, meskipun saat itu—Nabi Muhammad dan umat Islam di
Madinah—berperang merupakan perintah yang darurat karena adanya serbuan militer
musuh. Dalam konteks yang darurat sekali pun pendidikan tidak boleh dialpakan,
apalagi saat ini di Indonesia tidak ada jihad dalam bentuk peperangan.
Oleh karena itu, dari filosofi di atas, kalau
ada pesantren yang terlibat kekerasan atau terorisme sesungguhnya telah
melanggar prinsip dan misi pesantren itu sendiri. Apalagi pesantren yang
dijadikan sebagai basis atau pelatihan militer atau perakitan bom meskipun nama
nama jihad.
Pesantren didirikan agar tidak semua orang
pergi berperang. Maka hal yang aneh kalau sekarang ada pesantren yang didirikan
untuk berjihad dalam arti peperangan dan kekerasan.
Melalui pendidikan dan penguasaan terhadap
pengetahuan agama, misi pesantren hakikatnya misi jihad nirkekerasan. Dari ayat
122 Surat al-Tawbah di atas kita dikenalkan ada dua bentuk jihad: pertama
al-qital (peperangan) di medan laga untuk mempertahakan diri dan negeri dari
serbuan militer musuh, dan kedua jihad dalam bentuk mendalami pengetahuan agama
(mutafaqqih di al-dîn) agar menjadi nantinya menjadi pengikat bagi kaumnya
(mundzir al-qawm).
Dari tinjauan sejarah pendidikan Islam secara
umum dan khususnya dunia pesantren, tidak ada lembaga pesantren yang mendukung
radikalisme, apalagi terorisme di Indonesia. Justru pesantren menjadi bukti
nyata dari proses akulturasi yang damai antara ajaran Islam dengan budaya
setempat. Karena pesantren menjalankan misi qurani berjihad tidak dalam bentuk
kekerasan fisik namun jihad intelektual yang dikenal dengan istilah ijtihad.
Kalau ada pesantren yang terlibat kekerasan
mungkin saja ia pesantren berjenis baru yang tidak ada hubungannya dengan dunia
pesantren Indonesia—kecuali pemakaian istilah yang sama—bisa jadi pesantren
tersebut bukan termasuk jaringan pesantren dan pendidikan di Indonesia, namun
jaringan organisasi global yang sering mengatasnamakan Islam untuk kegiatan
kekerasan.
Karena itu pesantren yang terlibat kekerasan
adalah pesantren yang tercerabut dari akar keindonesiaan dan bertolak belakang
dengan misi qurani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar