Penjinakan
Agraria(isme)
Gutomo Bayu Aji,
PENELITI
BIDANG EKOLOGI-MANUSIA
PADA
PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LIPI
Sumber
: KOMPAS, 16 Januari 2012
Apakah konflik sumber daya alam seperti di
Mesuji dan Sape akan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan agraria?
Pertanyaan itu mengganggu saya setelah baca
koran. Pertama, sudah puluhan tahun media tak mengangkat kasus serupa ke dalam
ranah agraria. Kedua, ada sedikit kesepahaman antara aktivis HAM dan beberapa
aparat pemerintah: menggolongkannya ke dalam masalah agraria.
Apakah keduanya pertanda bahwa pendekatan
agraria sudah diterima luas setelah lebih dari 30 tahun undang-undangnya
dipetieskan? Atau, keduanya gerah dengan situasi akan lahirnya peraturan
pemerintah yang ditunggu selama lebih dari 50 tahun?
Apa pun penjelasannya, yang terasa masihlah
persaingan ideologi lama dengan ideologi baru. Ideologi lama jelas berpijak
pada UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria; ideologi baru mengacu pada
mekanisme pasar.
Ideologi lama yang sejak era Reformasi
menjelma menjadi gerakan sosial telah
menyusupkan pasukannya ke sistem
birokrasi. Namun, ideologi baru yang menguasai perangkat sistematis
terus-menerus menjinakkan militansi gerakan sosial itu melalui negosiasi
kesejahteraan.
Persaingan memang tak seimbang. Gerakan
sosial ini bukanlah Zapatista. Adapun birokrasi telah kawin-mawin dengan
penguasa modal, pebisnis, dan mafia perundang-undangan. Telah bertahun-tahun
gerakan sosial ini dikooptasi, diserap ideologi agrarianya ke dalam sistem
kapitalisme global. Saya yakin pasukan yang disusupkannya ke dalam sistem
birokrasi itu juga mulai lembek, dijinakkan militansinya, dan dibuat kelelahan
dengan inefisiensi birokrasi.
Menghitung Kasus
Para sosiolog pedesaan meyakini bahwa agenda
agraria telah pupus dari lingkungan akademik, termasuk lembaga penelitian
pemerintah, dan diambil alih gerakan sosial itu. Ironis memang, agenda bangsa
sebesar itu hilang dari perhatian akademianya dan, tragisnya, hanya dikerjakan
segelintir aktivis.
Apakah kasus Mesuji dan Sape akan dimenangi
oleh wacana agraria? Ataukah wacana agraria lain yang sejak 2004 menjadi salah
satu agenda SBY?
Di tangan Joyo Winoto, agenda agraria tak
lebih dari agenda tersembunyi Hernando de Soto, pemikir liberal dari Amerika
Latin: menghubungkan dead capital di tangan petani miskin ke mekanisme pasar.
Sertifikat tanah dianggap sebagai aset yang bisa disulap menjadi akses menuju kesejahteraan.
Baik De Soto maupun Joyo terselimuti kabut
bahwa pemegang sertifikat tanah adalah penguasa buruh lepas dan sebagian
lainnya bukanlah petani sesungguhnya. Dalam struktur agraria di pedesaan
Indonesia, jumlah buruh lepas ini sangat besar. Memang Sensus Pertanian BPS
masih berusaha memilah antara pemilik tanah dan penggarap serta buruh tani.
Namun, dari mobilitas penduduk ke perkotaan terlihat jelas kelas mereka.
Tidakkah tebersit bahwa dengan struktur
agraria seperti itu, sertifikasi tanah memicu gelombang diferensiasi agraria,
bahkan terbesar kedua setelah dampak revolusi hijau di masa lalu?
Kritik yang secara konsisten ditekankan pada
ideologi lama adalah redistribusi, lawan diferensiasi. Sayangnya, redistribusi
tak pernah sungguh-sungguh dijadikan agenda negara. Pembangunan pertanian skala
besar dengan pola plasma seperti MIFFE di Merauke dianggap sebagai jalan
redistribusi. Namun, apa yang terjadi di Mesuji? Plasma benar- benar menjadi
makhluk lemah.
Pola PIR yang dikembangkan melalui skema transmigrasi
yang dianggap menjadi model redistribusi yang lain juga belum menjawab barisan
proletar yang terus-menerus direproduksi oleh mekanisme pasar. Menghitung
skema-skema yang ada, tampaknya kasus Mesuji dan Sape bisa dengan mudah
terlepas dari agenda redistribusi apabila tak didekati secara benar.
Pembelajaran
Kasus Mesuji dan Sape terlampau mahal
dijadikan pembelajaran karena menelan korban jiwa. Namun, apa yang bisa dipetik
dari dua kasus itu jika diletakkan ke dalam ranah agraria?
Kedua kasus memberi pelajaran bahwa kekuasaan
seorang menteri kehutanan di negeri ini sudah seperti raja. Ia menguasai tiga
perempat daratan Indonesia tanpa kenal negosiasi redistribusi dalam arti yang
sesungguhnya.
Apa yang bisa dipetik dari pengalaman
sebelumnya? Modelmodel social forestry menjembatani persoalan redistribusi.
Model-model ini sekaligus mendelegitimasi kekuasaan raja ke dalam sistem
penguasaan bersama.
Raksasa modal juga telah menerima model-model
ini sebagai bagian jiwa bisnisnya. Disadari, tanpa penguasaan bersama, kerugian
lebih besar bisa ditimbulkan akibat konflik berkepanjangan. Redistribusi dalam
arti sesungguhnya agaknya masih akan menjadi mimpi dalam ideologi lama, kecuali
negara benar-benar terkontrol oleh konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar