Krisis
untuk PSSI
Halim Mahfudz,
CEO HALMA STRATEGIC DAN PENGAJAR CRISIS MANAGEMENT DI PASCASARJANA
UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber
: KORAN TEMPO, 17 Januari 2012
Sejak
kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2011-2015
terpilih dalam kongres yang sah pada 9 Juli tahun lalu, persepakbolaan
Indonesia belum menikmati suasana tenang untuk meningkatkan kualitas. Krisis
kembali menghantam organisasi nasional milik bangsa ini. Berbeda dengan krisis
sebelumnya, krisis yang sekarang adalah krisis yang sengaja dirancang untuk
mengambil alih kontrol organisasi dengan menggulingkan pengurus, bukan krisis
karena ketidakmampuan organisasi memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas
sepak bola. Mengikuti teori krisis (Coombs, 2006), krisis yang sekarang adalah
krisis yang terjadi akibat serangan dari luar atas sebuah organisasi, dalam hal
ini organisasi sepak bola terbesar di negeri ini.
Sepak
bola adalah cabang olahraga paling digemari di Indonesia. Cabang inilah yang
mampu menarik perhatian dan menyedot penggemar. Ini menjadikan sepak bola
sebagai cabang olahraga yang seksi dan menarik minat serta kepentingan di luar
olahraga itu sendiri, seperti kepentingan politik dan duit. Jumlah penggemar
sepak bola dan penontonnya yang jauh di atas olahraga mana pun merupakan sebuah
gelanggang yang sangat menimbulkan berahi politik partai. Jumlah dana yang
berputar di olahraga ini pun, jika dikelola secara profesional, adalah jumlah
yang menggiurkan untuk diselewengkan.
Dalam
hal suap dan pengaturan skor sepak bola, Indonesia bukan satu-satunya negara
yang tertimpa. Dugaan terakhir yang tak terungkap adalah pertandingan Indonesia
versus Malaysia yang berbau skandal. Di Italia, kasus suap terkuak pada Juni
2011 ketika beberapa mantan pemain nasional diperiksa, masuk tahanan rumah,
atau telah ditahan akibat suap pengaturan skor atau pengaturan transfer pemain
yang bertentangan dengan peraturan. Di Inggris, FA harus membentuk tim
investigasi yang dipimpin Lord Stevens untuk menyelidiki berbagai dugaan kasus
sogok dan pengaturan skor sepak bola tahun 2006. Bagusnya, di Inggris, peran
media sangat membantu membongkar manipulasi dan korupsi. Penyelidikan di sana
terbantu oleh peran penting BBC yang jujur sebagai media. BBC
sempat memfilmkan beberapa orang yang sedang melakukan transaksi ilegal.
Indonesia
tak perlu lagi tertular kesalahan yang sama dengan memanipulasi olahraga
menjadi ladang perolehan uang haram dan memperlakukan sepak bola sebagai
komoditas politik. Kegagalan prestasi dan krisis di era kepengurusan yang lalu
seharusnya sudah cukup memberi pembelajaran bagi para pengelola sepak bola,
pemain, wasit, penggemar, serta pendukung klub dan media massa agar hal itu
tidak terulang. Sekarang kita hanya butuh satu saja: prestasi!
Negeri
ini butuh sesuatu yang lebih berarti untuk membangun nama baik bangsa, wadah
penyaluran bakat anak muda yang konstruktif yang dikelola dengan transparan,
dan sinergi seluruh komponen bangsa, daripada sekadar keributan pengelolaan
sepak bola. Yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah jangan lagi memberi
contoh buruk kepada orang lain dan generasi muda dengan memaksakan kepentingan
kelompok dan dengan cara menutupi kebenaran dan melanggar aturan.
Tantangan
Ketika
terpilih dalam Kongres 9 Juli 2011, tidak pernah tersirat di kalangan pengurus
yang sekarang tantangan seperti apa saja yang akan mereka hadapi. Mereka
berfokus pada lima pilar pengembangan sepak bola, yaitu pembenahan organisasi,
peningkatan kualitas kompetisi, pembinaan dini, sports science, dan
pembentukan timnas yang kuat. Tetapi gejala munculnya krisis atau disebut
dengan prodromes (Coombs, Barton, Fearn-Banks) mulai tampak ketika
mereka melihat kondisi nyata.
Setelah
unggul dalam Kongres, beberapa hal yang ditinggalkan pengurus lama mulai terasa
mengganggu kinerja, sementara program-program yang terkait dengan lima pilar
terus mendesak untuk ditangani. Hanya dua pekan setelah terpilih dalam Kongres,
Indonesia harus menghadapi pertandingan melawan Turkmenistan, padahal tim
pemain belum disiapkan oleh pengurus lama. Pengurus baru juga mendapati
kenyataan PSSI seperti ditinggalkan dalam keadaan terbengkalai, kas kosong,
bahkan menunggak pembayaran. Ini hanya sebagian dari beberapa prodromes.
Juga, PSSI bisa jadi satu-satunya organisasi yang membutuhkan lima kali kongres
untuk memilih seorang ketua umum, wakil ketua umum, dan sembilan anggota Komite
Eksekutif. Ini menunjukkan pengelompokan yang tajam antara status quo
dan reformis dalam pengelolaan sepak bola di Indonesia.
Pengelompokan
antara status quo dan kelompok reformis makin jelas dalam perkembangan
pengelolaan PSSI. Makin banyak isu yang dimunculkan dan makin lebar jarak di
antara dua kelompok ini. Isu-isu sengaja dimunculkan, termasuk antara lain
tudingan bahwa pengurus melanggar Statuta, pengurus tidak melaksanakan amanat
Kongres Bali, meski tidak jelas item yang mana, dan ternyata proses
Kongres Bali itu sendiri cacat.
Tommy
Hilfiger-Oprah
Krisis
yang ditujukan untuk menyerang organisasi atau perorangan pernah terjadi atas
diri desainer Tommy Hilfiger dan Oprah Winfrey. Pada 1996, rumor beredar di
Internet bahwa Tommy pernah memberikan pernyataan dalam Oprah Winfrey Show
bahwa dia tidak ingin pakaian rancangannya dikenakan oleh orang keturunan
Afro-Amerika, Hispanik, dan Asia. Oprah dirumorkan bertanya kepada Tommy apa
benar pernyataan tersebut, dan Tommy menjawab “yes”. Saat itulah, kata
rumor tersebut, Oprah mengusir Tommy dari show-nya. Maka, dunia media
sosial pun heboh tentang rumor tersebut. Apa yang diperoleh Tommy dari kasus
tersebut? Boikot!
Untuk
mengatasi rumor yang mengarah menjadi krisis dan meruntuhkan reputasi tersebut,
kedua orang itu menemukan cara masing-masing. Tommy dengan hati-hati menyusun
pernyataan “I want you to know the facts so that you are not the victim of a
classic ‘urban myth’ that perpetuates untruths and has no basis in reality”.
Oprah bahkan lebih kuat dengan menyatakan, “Tommy Hilfiger has never
appeared on this show. Read my lips..., Tommy Hilfiger has never appeared on
this show.” Pernyataan tersebut disampaikan live dan disiarkan oleh
televisi.
PSSI
juga harus menemukan cara yang kuat untuk meluruskan persepsi keliru tentang
rumor dan krisis yang diarahkan ke organisasi ini. Misalnya saja, menghadapi
permintaan KLB dengan alasan yang tidak jelas, PSSI mengungkapkan jumlah total
anggota adalah 588 dan yang diklaim mengajukan KLB 460 anggota. Tetapi hasil
verifikasi tahap I menunjukkan, dari 460 anggota tersebut, 11 adalah data
ganda, 80 bukan anggota atau masih calon, dan 49 sudah menandatangani pakta
integritas, sehingga hanya 320 yang sungguh-sungguh anggota sah, kurang dari dua
pertiga seperti disyaratkan oleh Statuta. Ini baru dari verifikasi tahap
pertama, belum dilanjutkan dengan verifikasi tahap II, sebuah langkah
verifikasi forensik yang lebih cermat.
Itu hanya salah satu cara keluar dari krisis,
yaitu menyampaikan yang benar dengan jujur. Isu-isu lain yang ditimpakan bisa
dicermati, dan ditemukan cara efektif untuk dituntaskan dan dimatikan. Dan
landasan paling penting dalam mengatasi krisis dan tetap menjaga reputasi PSSI
adalah transparansi dan komunikasi yang jernih ke semua stakeholders
(pemangku kepentingan). Banyak stakeholders yang kurang mendapat
informasi atau yang punya kepentingan, seperti politikus. Mereka butuh
pencerahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar