Korea
Utara Setelah Kim Jong-il
Makarim Wibisono,
DIPLOMAT SENIOR
Sumber
: KORAN TEMPO, 18 Januari 2012
Puncak
upacara berkabung atas meninggalnya Kim Jong-il pada 28 Desember 2011 telah
meninggalkan beberapa pertanda. Pertama, upacara prosesi yang diselimuti awan
mendung tampak mengharukan warga Korea Utara dan mengingatkan akan proses yang
sama sewaktu menghantarkan Kim Il-sung disemayamkan di Istana Kumkusan,
Pyongyang, meskipun tidak tampak tamu asing yang hadir seperti pada 1994.
Kedua, serangkaian upacara yang diselenggarakan sejak meninggalnya Kim Jong-il
pada 17 Desember 2011 sampai puncak acara 11 hari kemudian dirancang untuk
menggambarkan bahwa proses transisi kepemimpinan ke generasi ketiga pendiri
Korea Utara, Kim Jong-un, berjalan lancar-lancar saja. Dan ketiga, ada upaya
pencitraan bahwa Kim Jong-un, yang wajahnya mirip Kim-Il-sung, muncul sebagai
pemimpin baru Korea Utara yang kompak didukung oleh Partai Pekerja Korea, dan
Tentara Rakyat
Korea yang menjadi tulang punggung bangsa Korea Utara.
Meskipun
demikian, masih timbul pertanyaan di kalangan pengamat, apakah betul Kim
Jong-un, yang berusia 29 tahun dan belum berpengalaman dalam politik domestik,
benar-benar mampu menguasai pemain-pemain politik andal di Korea Utara?
Kesangsian ini wajar mengingat ayah yang digantikannya memegang kendali
berbagai posisi politik penting, seperti Pemimpin Tertinggi Korea Utara,
Sekretaris Jenderal Partai Pekerja Korea, dan Ketua Komisi Pertahanan Nasional.
Persiapan
Struktural
Proses
transisi kepemimpinan Korea Utara dari Kim Jong-il ke Kim Jong-un sebenarnya
telah dimulai segera setelah Kim Jong-il mengalami serangan stroke pada
2008. Elite politik di Pyongyang telah siap secara psikologis menghadapi
pergantian pemimpin mereka setiap saat. Dinamika persaingan antara kelompok
pendukung keluarga Kim dan kelompok ortodoks yang memperjuangkan sistem
keutamaan negara semakin meruncing. Puncaknya terjadi dalam Konvensi Partai
Pekerja Korea, 28 September 2010, di mana pendukung keluarga Kim menjadi
pemenangnya.
Kim
Jong-un secara resmi dipilih sebagai calon pengganti, dan berbagai tokoh
pendukungnya telah terpilih sebagai anggota Politbiro, misalnya Kim Kyung-hui,
adik kandung Kim Jong-il. Ipar almarhum Kim Jong-il, Jang Song-taek, telah
diberi posisi sebagai Wakil Ketua Komisi Pertahanan Nasional, suatu kedudukan
strategis yang mengendalikan Tentara Rakyat Korea. Jabatan-jabatan strategis di
Politbiro, Sekretariat Partai Pekerja Korea, dan Komisi Pusat Militer diisi
oleh pendukung-pendukung setia keluarga Kim. Misalnya, Marsekal Madya Rhee Yong
Ho telah diangkat menjadi anggota Politbiro dan sekaligus menjadi Wakil Ketua
Komisi Pusat Militer bersama Kim Jong-un.
Sebagai
pemimpin baru Korea Utara, Kim Jong-un menjalin jaringan politiknya dengan
alumnus Akademi Militer, Kim Il-sung, yang melahirkan tokoh-tokoh militer
nasional. Selain Rhee Yong Ho, alumnus Akademi Militer lainnya, seperti
Marsekal Madya Kim Young Chun dan Jenderal Kim Jong Gak, telah mendapatkan
posisi penting dalam Komisi Pusat Militer. Selain itu, para teknokrat yang
dekat dengan industri pertahanan Korea Utara juga diangkat untuk memperkuat
Komisi Pusat Militer. Ini berarti telah terjadi pergeseran pusat gravitasi
politik dan keamanan Korea Utara dari Komisi Pertahanan Nasional di zaman Kim
Il-sung ke Komisi Pusat Militer. Basis politik Kim Jong-un berakar di Komisi
Pusat Militer.
Konsep
Songun Sansang
Apabila
Kim Il-sung merumuskan konsep Juche sebagai ideologi nasional yang
menjadi dasar dari perjuangannya membangun bangsanya, Kim Jong-il merumuskan
konsep songun sansang, yaitu ideologi nasional yang mengutamakan militer
sebagai sokoguru revolusi. Konsekuensinya, militer memperoleh prioritas dalam
kegiatan dan anggaran pemerintah. Sedangkan negara-negara komunis Eropa di
zaman Perang Dingin menganggap kaum proletar atau Mao Ze Dong memilih kaum
pekerja (peasantry) sebagai sokoguru revolusi mereka.
Menurut
Kim Jong-il, kebijaksanaan untuk mengutamakan unsur militer dalam kebijakan
nasional sangat diperlukan mengingat ketidakpastian kondisi keamanan
internasional. Ini yang mendorong Korea Utara menjadi negara dengan kekuatan
militer keempat di dunia dengan kekuatan personel lebih dari 1,2 juta jiwa dan
sekitar 20 persen penduduknya yang berusia antara 17-54 tahun menjadi personel
angkatan bersenjata. Korea Utara, karena itu, kemudian memiliki senjata nuklir,
peluru kendali antarbenua, pasukan khusus terbesar di dunia, dan pemilik
senjata kimia terbesar ketiga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar