Jangan
Pernah Lupa Semangat Rekonsiliasi
Ferry Mursyidan Baldan, KETUA PANSUS RUU PEMERINTAHAN ACEH TAHUN
2006
Sumber
: SINAR HARAPAN, 13 Januari 2012
Perjanjian damai yang ditandatangani di
Helsinki, Finlandia, disambut gempita seluruh rakyat Aceh. Perjanjian ini
sekaligus menutup periode kelam konflik berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kondisi damai ini pada kenyataannya memang
dirasakan rakyat Aceh. Namun, perdamaian itu kini terusik pemilihan umum kepala
daerah (pilkada). Bahkan, kondisi Aceh kini semakin mencemaskan.
Apa artinya ini semua? Ini semakin menegaskan
proses Pilkada tidak ditempatkan sebagai bagian dari proses rekonsiliasi yang memperkokoh
perdamaian di Aceh.
Sejak awal persiapan pelaksanaan pilkada
sudah diingatkan, untuk membentuk qanun sebagai landasan hukum pelaksanaan
pilkada, sebagaimana diamanatkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Secara norma, hal tersebut menjadi penting
karena terdapat pengaturan yang bersifat khusus yang memerlukan wadah. Selain
itu, jika ada norma dalam UU lain yang tidak diatur dan tidak bertentangan
dengan UU PA dapat dimuat dalam qanun sebagai pengaturan yang melengkapinya.
Amanat yang sesuai UU PA ini penting karena
sejak awal UU itu sudah menempatkan secara proporsional semangat untuk mufakat
dari banyak elemen masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, pengabaian pembentukan qanun
menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan, ditambah lagi ketika ada uji materi
ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 256 UU PA yang tentang Calon Independen. Ini
kemudian ditambah lagi dengan gugatan TA Khalid ke MK tentang SK Komisi
Independen Pemilihan (KIP) Aceh.
Bahkan, dalam putusan sela MK atas gugatan TA
Khalid tersebut, dalam pertimbangannya MK menyebut, "adanya ketidakpastian
hukum" berkaitan belum dibentuknya qanun yang baru. Seharusnya semua
putusan tersebut menjadi bahan permufakatan untuk diakomodasi dalam qanun
tentang pilkada.
Pembentukan qanun baru yang menggantikan
Qanun No7/2006 menjadi semakin penting dan mendesak karena prosesnya dilakukan
DPRA dan gubernur. Namun, elemen masyarkat Aceh dapat memberi masukan. Dengan
demikian, pilkada sejak awal pembentukan aturan mainnya, tetap menjalankan
spirit rekonsiliasi bagi kokohnya perdamaian di Aceh.
Namun, keengganan untuk membentuk qanun baru
pilkada dan semata melandaskan pada SK KIP (yang sering kali berubah), memberi
gambaran tidak kokohnya pelaksanaan pilkada di Aceh.
Belum lagi para pihak senantiasa mengutip
Pasal 2 dalam UU lain yang terkait dengan pilkada berdasarkan versi
masing-masing. Dalam keterangan saya di MK, pasal ini saya sebut sebagai
"potensi konflik regulasi". Kondisi ini tentu semakin tegang karena
hajat pilkada tentu menghendaki para pihak tetap terjaga peluangnya untuk ikut,
bahkan tidak dirugikan dalam pelaksanaan pilkada.
Keliru
Permohonan pemerintah yang diwakili Mendagri
untuk dapat mengakomodasi Partai Aceh (PA) dalam pilkada adalah keliru.
Apalagi, keterangan pemerintah dalam sidang-sidang di MK terkait Pilkada Aceh
tidak menunjukkan semangat yang kuat untuk menengahi pro-kontra yang ada.
Jadi, ini bukan soal waktu pendaftaran
pilkada. Jika hanya terkait pendaftaran calon, sejak awal PA sebagai pemenang
pemilu di Aceh sudah dapat mendaftarkan diri.
Namun, PA menginginkan adanya pengaturan
pelaksanaan pilkada yang semuanya dituangkan dalam qanun, sebagaimana
diamanatkan UU Aceh. Meski belum dapat dikatakan sempurna, UU Aceh setidaknya
sudah menampung dan dibahas dalam spirit terbangunnya rekonsiliasi serta
langkah-langkah reintegrasi masyarakat Aceh pascaperdamaian Helsinki.
Jika Pilkada bertujuan menciptakan Aceh yang
damai, maju, dan sejahtera, pilkada harus ditempatkan dalam spirit
rekonsiliasi. Jangan pula dilupakan, damai di Aceh baru berjalan enam tahun
setelah konflik puluhan tahun.
Untuk itu, saatnya semua kembali pada spirit
damai dan rekonsiliasi dalam mewujudkan Aceh sebagaimana yang dicita-citakan
bersama. Bukan pelaksanaan pilkada yang menjadi tujuan, namun proses dan hasil
pilkada yang harus tetap dalam koridor penguatan rekonsiliasi yang mengokohkan
perdamaian Aceh.
Untuk itu, segera akhiri ketidakpastian
regulasi dalam pelaksanaan pilkada karena jika tetap dilaksanakan tanpa
landasan qanun baru, sesungguhnya "kekerasan" regulasi telah
dibiarkan untuk menciptakan kerumitan dalam pelaksanaan pilkada.
Tokoh dan masyarakat Aceh memiliki kemauan
dan kemampuan untuk bermufakat, maka lakukan itu untuk tetap menjaga perdamaian
Aceh. Tidak ada yang harus dimenangkan, sebaliknya juga tidak ada yang harus
dikalahkan. Hal yang harus dilakukan adalah memberi hak hidup wajar dan damai
dalam rajutan rekonsiliasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar