Dialog
Antarumat Beragama
Achmad Fauzi, AKTIVIS MULTIKULTURALISME,
ALUMNUS UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA (UII) YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA KARYA, 13 Januari 2012
Buku Samuel
Phillips Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1998)
banyak dibahas dan dibaca secara kritis. Tak pelak, buku itu membuat banyak
orang kesal dan geram. Bukan karena asumsi, susunan teori ilmiahnya, definisi,
metodologi dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya. Buku itu tampak hadir di
tengah dunia yang rumit ini seperti sebuah kutuk bagi semua orang di muka bumi.
Menurut penuturan Huntington, benturan civilisasi tidak dapat dihindari.
Setelah perang dingin
dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan
benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial
dunia, sendi-sendi kehidupan dan hubungan antar-bangsa, yakni peradaban, budaya
dan agama akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi.
Tampaknya dalam skala
lebih kecil tesis Huntington relevan jika disandingkan dengan konflik keagamaan
yang terjadi di Indonesia. Konflik antar-kelompok yang mengklaim keyakinannya
sebagai realitas tunggal atas kenyataan agama lain yang bercorak plural adalah
pola benturan sebagaimana yang dilukiskan Huntington.
Huntington boleh salah
ngomong' dan dianggap tidak memahami peta kekuatan dunia. Namun sialnya, suka
atau tidak suka, sebagian atau beberapa bagian dari yang disalah-omongkan' itu
telah benar-benar terjadi.
Berpijak dari persoalan
itu, dialog antar-umat beragama (interfaith dialogue), sebagaimana Indonesia
telah menjadi partisipan dalam dialog antar-penganut agama di beberapa negara
seperti Beograd, Serbia dan Athena, Yunani menjadi urgen digalakkan supaya
nalar kekerasan yang dipicu oleh truth claim dan pemahaman teologi yang sempit
tidak bersemayam dalam tubuh agama. Dialog mengajak partisipan untuk secara
radikal membuka diri dan saling memahami keberadaan agama lain sehingga budaya
ketertutupan dan prasangka teologis dapat dihindarkan.
Problem eksklusivisme
agama, mengklaim agamanya sebagai yang paling benar dan menganggap agama lain
sesat adalah cara berteologi yang merusak tatanan agama. Dalam cara ini, umat
beragama selamanya tidak akan mampu mendefinisikan diri di tengah kehidupan
keagamaan yang plural, karena kaku dan menutup diri dari budaya luar. Ini
persoalan kuat-lemahnya metodologi yang merumuskan bagaimana cara menerima atau
menolak budaya lain di luar diri kita.
Secara normatif sah-sah
saja mengatakan agama yang dianut paling benar, superior dan sempurna, namun
pada tataran fenomenologis klaim itu akan berbenturan jika mengatakan agama
lain sesat, inferior dan tidak sempurna. Oleh karena itu, diperlukan sikap
saling mempelajari, memahami dan menghormati ko-eksistensi agama lain guna
mencapai titik temu (common platform).
Proses perjumpaan
antar-iman mustahil terjadi dalam paradigma teologi yang eksklusif. Orang akan
terjebak dalam perdebatan teologis yang sengit dan klaim kebenaran yang
bersifat nomatif. Perjumpaan antar iman bertujuan untuk saling mengeksploitasi'
kekayaan spiritual sehingga membutuhkan inklusivisme. Partisipan dapat
berjumpa, bertukar pikiran dan menyelami jantung agama-agama, kemudian kembali
lagi ke agama yang dianut tanpa harus merusak kedigdayaan teologis agama yang
dianut.
Dialog pada aras mondial
membicarakan pola-pola dialogis hubungan antar umat beragama dalam mengelola
pluralitas peradaban, budaya dan agama agar tidak berbenturan. Dialog menjadi
pilihan paling elegan mengingat bentuk pendefinisian diri antar kutub-kutub
peradaban dan agama akhir-akhir ini cenderung tidak beradab.
Oleh karena itu, dalam
konteks hubungan antar bangsa dan bernegara, Indonesia dan mitra dialog, memang
seharusnya memikirkan dan mesti mencari keseimbangan yang wajar sehingga
benturan peradaban, budaya dan agama dapat ditakar dan dihentikan pada
waktunya, yaitu ketika kerusakan sudah tidak dapat tertanggungkan. Barat yang
mendominasi peradaban, kebudayaan dalam bentuk modal, tekhnologi dan
organisasi, penguasaan terhadap media, perlu diajak dialog guna memulai sikap
baru di zaman pluralisme ini.
Proses globalisasi,
pluralisme, dan dominasi agama selayaknya ditanggapi secara demokratis dengan
memberi kesempatan untuk hidup bagi kelompok-kelompok kecil dan lemah.
Demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan fair antar komponen
pluralisme. Dialog adalah sebuah usaha untuk menghalangi tindakan apapun yang
melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk membunuh
satu sama lain.
Indonesia, Serbia dan
Yunani adalah tiga negara yang memiliki kemiripan sejarah tentang
perselingkuhan agama dan politik. Perselingkuhan itu telah melahirkan kekerasan
dari masa ke masa. Bukankah kita memiliki catatan yang panjang betapa
simbol-simbol agama kerap digunakan partai politik untuk mencari dukungan massa
dari penganut agama. Sehingga, pada saat kefrustasian masyarakat memuncak,
masing-masing pemeluk membuat firqoh-firqoh yang mau tidak mau agama juga
terseret dalam gelanggang kekerasan tersebut.
Kini, agama sudah
sewaktunya menarik diri dari gelanggang politik praktis. Tatacara mensucikan
diri dari ingar-bingar politik kekuasaan adalah pertama, mengembalikan agama
sebagai norma, referensi sikap hidup dan panduan batin. Kedua, menghindari
politik berazaskan agama demi mendulang suara. Ketiga, agama bukan lagi dalam
lingkup politik ketatanegaraan, melainkan politik keseharian yang mengurusi
persoalan moral, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketika agama
dikembalikan ke khitahnya, maka penguatan basis dialogis antar pemeluk agama
sangat mudah terbentuk.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar