Anak
Mencuri, Tanggung Jawab Siapa?
Reza Indragiri Amriel,
DOSEN
PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS,
ANGGOTA ASOSIASI PSIKOLOGI ISLAM
Sumber
: KORAN TEMPO, 12 Januari 2012
Perlakuan
aparat penegak hukum terhadap seorang anak yang disangka mencuri sandal
mengundang kecaman keras dari banyak kalangan. Kegundahan publik menyaksikan
hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas pada dasarnya dapat diterima.
Diskriminasi hukum memang sukar diingkari, semakin merajalela. Namun saya
menangkap kesan, ada arus opini yang kuat bahwa ketika perilaku pelanggaran
hukum ditampilkan oleh--katakanlah--masyarakat bawah, maka pemakluman harus
diberikan. Sebagai dalih pelindungnya adalah keadilan dan hak asasi manusia.
Jadi, ketika hukum bekerja menyasar--sebutlah--orang-orang kecil yang melanggar
hukum, penegak hukum langsung dilabeli sebagai pelanggar hak asasi manusia dan
penista keadilan.
Cara
pandang seperti itu, jelas, bias. Jika salah kaprah ini dibiarkan
terus-menerus, otoritas penegak hukum semacam polisi bisa kian gamang dalam
bertugas. Apabila mereka goyah, potensi-potensi kekacauan sosial akan deras
bermunculan. Pemakluman juga dapat ditafsirkan laksana desakan agar negara
memberikan privilese kepada sekelompok masyarakat tertentu. Seakan, ketika
negara gagal membenahi kualitas hidup kelompok masyarakat tersebut, maka
fasilitas “kebal hukum” disodorkan sebagai kompensasi.
Spesifik
dalam kasus colong sandal, saya sendiri memandang, langkah penegakan hukum
terhadap anak yang disebut-sebut sebagai pencuri sandal itu sudah sepatutnya
diambil. Penegakan hukum, tak terkecuali pada kasus pencurian sandal, harus
diberlakukan guna memenuhi kaidah bahwa setiap orang sama kedudukannya di
hadapan hukum. Pemahaman ini harus ditanamkan pada semua warga sejak masa
kanak-kanak, dan kian urgen mengingat statistik yang terus meninggi dalam hal
anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
Penindakan
juga memiliki landasan ilmiah, yakni sebagai salah satu unsur yang harus ada
bagi terbentuknya efek penangkalan/jera. Dalam kasus bocah mencuri sandal,
unsur yang saya tekankan adalah keajekan. Adalah penting bagi hukum untuk
memastikan bahwa setiap tindakan keliru, apalagi yang termasuk pelanggaran
hukum, tidak luput dari incaran sanksi hukum. Radar hukum yang menyapu bersih
seluas mungkin wilayah perilaku masyarakat akan memunculkan persepsi bahwa
peluang bagi lolosnya jerat hukum ternyata terlalu sempit. Ini membuat calon
pelaku kejahatan berpikir ulang sebelum beraksi, di samping kriminal yang juga
akan tertangkal mengulangi perbuatannya.
Khusus
terhadap si anak yang dinyatakan pengadilan terbukti mencuri sandal, selain
memastikan benar-tidaknya kabar bahwa ia telah berulang kali melakukan tindakan
negatif semacam mencuri, penting pula diketahui pada usia berapa anak tersebut
melancarkan aksinya untuk pertama kali. Perilaku repetitif menandakan pelaku
sudah memahami manfaat instrumental aksinya. Motif tersebut, dan faktor usia
tadi, merupakan faktor risiko (risk factor) yang lazim dipakai untuk
meramal kemungkinan pelaku mengulangi perbuatannya. Semakin kuat asosiasi
antara motif dan keuntungan yang ia persepsikan, serta semakin dini usianya
saat berbuat “jahat” pertama kali, prediksinya adalah semakin besar
predisposisi terjadinya pengulangan aksi. Termasuk dengan sasaran aksi yang
lebih menguntungkan serta modus lebih serius lagi.
Dengan
bertitik tolak dari cermatan terhadap faktor risiko, penindakan hukum terhadap
bocah yang diduga mencuri sandal merupakan strategi untuk memutus mata rantai
perilaku “jahat”. Semakin cepat pencegatan dilakukan, semakin segera pula anak
akan memperoleh kesempatan untuk belajar ulang, yakni memperkaya perbendaharaan
perilaku positif yang ia butuhkan untuk berinteraksi di lingkungan sosialnya.
Guna
memenuhi tujuan pencegatan tersebut, relevan diperhatikan setidaknya dua unsur.
Pertama, nilai barang curian. Sebagai perbandingan, hukum potong tangan dalam
syariah Islam baru diberlakukan apabila nisab atau jumlah minimal barang curian
terpenuhi. Jadi, tidak setiap aksi pencurian serta-merta ditindak lewat
mekanisme pidana konvensional.
Kedua,
usia tersangka, yang dalam kasus pencurian sandal ini masih sangat belia.
Berdasarkan kedua unsur tersebut, penyelesaian sengketa lewat
pendekatan-pendekatan alternatif (alternative dispute resolution, ADR)
perlu dikedepankan. Banyak riset menyimpulkan keandalan ADR. Tidak hanya
dipandang lebih adil, ADR juga kerap menghasilkan solusi-solusi jitu yang kecil
kemungkinan didapat dari mekanisme konvensional. Salah satu format ADR misalnya
group conferencing (GC).
Dalam
GC, kasus pencurian sandal tidak sebatas menghadap-hadapkan si tersangka
pencuri dengan si pemilik sandal. Karena pihak yang diduga mencuri masih di
bawah umur, pelibatan orang tua bahkan guru bisa bahkan memang seyogianya
dilakukan.
Perluasan ini membingkai perilaku si pencuri tidak semata-mata
sebagai isu hukum yang disusul penjatuhan sanksi, melainkan sebagai isu
psikologis tentang disfungsi keluarga dan lembaga pendidikan (sekolah).
Introspeksi psikologis ini jauh lebih mendasar yang, sayangnya, justru
terkesampingkan dari bahasan khalayak luas.
Putusan
hakim yang mengembalikan si anak ke orang tuanya sepintas lalu terkesan
positif. Ini problematis; sesuai dengan uraian di atas, karena faktor keluarga
diduga berperan terhadap pembentukan perilaku anak, maka seberapa jauh
sesungguhnya memulangkan anak ke orang tuanya dapat berefek positif bagi diri
si anak? Tidakkah itu justru berpeluang meneguhkan perilaku-salah si anak?
Hal
tersebut meletakkan dasar bagi pentingnya pembenahan perilaku anak secara
meluas. Bukan terbatas pada anak, intervensi juga menyasar anggota keluarga,
khususnya orang-orang yang menjalankan peran sebagai pengasuh anak. Akan sangat
baik jika pengadilan (hakim) juga mengharuskan lembaga terkait, Kementerian
Sosial misalnya, memberikan laporan berkala perihal implementasi penanganan
meluas tersebut. Tanpa model pembenahan yang meluas seperti itu, memulangkan
anak ke orang tuanya malah sama artinya dengan menelantarkan kebutuhan anak
akan resiliensi berbasis keluarga.
Jadi, alih-alih berkampanye "sandal
untuk Polri", mungkin ada baiknya masyarakat juga berkampanye "rapor
untuk orang tua dan guru". Muatan pesannya adalah, "Tengoklah akibat
guru kencing berdiri!" ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar