Hakim, Suap, dan
Kesejahteraan
Achmad Fauzi, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALSEL, ALUMNUS UII YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA KARYA, 1 Desember 2011
Sorotan publik terhadap
hakim akhir-akhir ini sangat tajam. Produk putusan yang dinilai tidak memenuhi
rasa keadilan disinyalir memiliki kandungan kecurangan dan unsur kejahatan
hukum di dalamnya. Di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), misalnya, vonis
bebas dianggap petaka yang harus segera ditelusuri, baik dari segi materi
putusan maupun kemungkinan keterlibatan oknum hakim dalam praktik jual beli
hukum.
Penulis sesungguhnya
tidak setuju jika putusan pengadilan direcoki oleh otoritas non-yudisial karena
bisa menjadi petaka bagi kemerdekaan hakim dalam mengadili suatu perkara.
Sementara entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya
imunitas yudisial dan independensi hakim. Oleh karena itu, kita harus kembali
kepada undang-undang yang memberikan saluran tersendiri sehingga ketidakpuasan
terhadap putusan pengadilan ditempuh melalui upaya hukum yang lebih tinggi.
Kendati demikian
masyarakat tetap memiliki ruang yang luas untuk memantau kinerja peradilan.
Iklim keterbukaan peradilan yang selama ini dibangun serta rencana pendirian
jejaring Komisi Yudisial (KY) di daerah sebagaimana termaktub dalam UU Komisi
Yudisial yang baru, sangat membantu masyarakat dalam memantau dan melaporkan
oknum hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan mengurangi
timbangan keadilan. Ini kemajuan menggembirakan.
Lihat saja, data hukuman
disiplin berikut ini. Sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung merilis setidaknya
ada 110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum
berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Sedangkan hukuman
disiplin periode Januari-September 2011 yang dijatuhkan kepada hakim berjumlah
35 orang Pelanggaran kode etik yang dikategorikan berat, salah satunya adalah
praktik jual beli hukum.
Banyak pakar berasumsi
bahwa praktik jual beli hukum tumbuh subur karena kran informasi di pengadilan
tersumbat, sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos
kerja aparat peradilan. Namun, asumsi itu tidak sepenuhnya benar.
Mahkamah Agung melalui
KMA 1-144/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, telah membuka
akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai
dari publikasi putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum,
standar operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang
tidak puas atas pelayanan peradilan.
Bahkan hasil penelitian
Pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap layanan pengadilan di Indonesia,
beberapa waktu lalu, menunjukkan persepsi positif. Sebanyak 70% masyarakat
Indonesia menyatakan puas jika berurusan dengan birokrasi di pengadilan. Meski
ada beberapa aparat peradilan yang tersangkut kasus suap dan pelanggaran kode
etik lainnya, namun masyarakat menilai mekanisme kerja yang dibangun MA telah
memenuhi syarat terwujudnya good sustainable development governance.
Sebab Utama
Penulis melihat bahwa
persoalan utama praktik jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh
dua faktor, yakni moral dan finansial. Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh Mahfud MD
dalam seminar "Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan
Hukum" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia
(UII), baru-baru ini mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif
dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.
Suap bagi hakim
merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim
kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap.
Para penyuap kadangkala paham membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau
keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial.
Oleh karena itu, untuk
membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral dan
keimanan yang kokoh. Kesadaran itu tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan
dari lingkungan keluarga yang notabene menjadi komunitas terkecil dalam
masyarakat berbangsa.
Ada ajaran kebajikan
yang mengatakan, jika ingin menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah
perilaku pemimpinnya. Jika ingin memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban
masyarakatnya. Jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah
moral keluarganya. Jika moral keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan
masyarakatnya, kualitas pemimpinnya, dan martabat bangsanya.
Semangat untuk
menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan
pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim,
seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim dalam UU
disebut sebagai pejabat negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak
mencerminkan pejabat negara.
Ketika PNS setiap tahun
naik gaji, hakim tidak demikian. Banyak hakim di daerah yang harus mengontrak
rumah petak, lantaran tidak memiliki rumah dinas. Ke kantor naik becak, angkot
atau jalan kaki karena tidak ada kendaraan dinas. Sungguh sangat
memprihatinkan. Mereka sangat rentan menerima suap jika tidak memiliki
kesadaran moral yang tinggi.
Mantan Ketua KPK
Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan
bisa dilakukan, salah satunya dengan pemuliaan hakim. Yaitu, jadikan hakim
sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan
dan fasilitas terbaik bagi hakim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar