Membangun Manusia Merdeka
Oleh : YUDI LATIF
KOMPAS, 16 AGUSTUS
2019
Visi Pemerintahan Joko Widodo periode kedua, yang bertekad
menggencarkan pembangunan sumber daya manusia (SDM), menuai sambutan antusias
sekaligus cemas. Mahabenar menjadikan pembangunan manusia sebagai pusat
perhatian. Soedjatmoko mengingatkan, “Manusia adalah pangkal dan ujung
pembangunan.” Kemerdekaan Indonesia dihayati sebagai berakhirnya segala bentuk
diskriminasi yang mengekang pilihan manusia untuk mengembangkan diri.
Masalahnya, membangun manusia itu tak semudah membangun
infrastruktur fisik. Ia memerlukan pemahaman (disiplin berpikir) yang lebih
dalam, pilihan kebijakan yang lebih tepat, eksekusi program yang lebih
kreatif–inovatif, serta pelaksanaan program prioritas secara berkesinambungan.
Harus diakui, 74 tahun Indonesia merdeka, pembangunan
manusia Indonesia merupakan dimensi pembangunan yang amat terbelakang. Padahal,
dalam falsafah iringan kereta berkuda, tingkat kecepatan kuda berlari tidak
ditentukan oleh kuda yang larinya paling kencang, melainkan oleh kuda yang
larinya paling lambat. Sekencang apapun pembangunan sektor lain kita pacu, laju
pembangunan secara keseluruhan akan bergerak lambat karena keterbelakangan
pembangunan manusia.
Ukuran-ukuran untuk menakar kualitas pembangunan manusia
meliputi banyak dimensi, malampaui aspek-aspek yang berkatan dengan (persiapan)
ketenagakerjaan. Dalam indikator makro, United Nation Development Program
(UNDP) menakar pembangunan manusia melalui Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia/IPM), yang meliputi indikator kesehatan (harapan hidup),
pendidikan (lama sekolah bagi orang dewasa umur 25 tahun serta harapan
bersekolah bagi anak-anak usia sekolah), dan pendapatan nasional bruto per
kapita. Terhadap HDI, ada juga yang menambahkan indeks yang berkaitan dengan
jaminan sosial dan kesehatan.
Selain itu, taraf pembangunan manusia juga bisa dilihat dari
ukuran-ukuran yang berkaitan dengan tingkat keinovasian dan usaha memajukan
sumber daya (perekonomian) berbasis pengetahuan. Ukuran yang dipakai biasanya
menggunakan Knowledge Economy Index (KEI) dan Knowledge Index (KI); Innovation
Index (II), serta indeks Economy Incentive Regime (EIR), dan Information and
Communication Technology (ICT).
Di atas itu semua, pembangunan manusia harus berjejak pada
ukuran-ukuran yang berkaitan dengan indeks modal sosial-budaya. Yakni, modal
jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang menguatkan kohesi
sosial, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust). Seperti
diingatkan oleh Jared Diamond (2019), penerimaan yang luas atas kesamaan
identitas nasional merupakan prakondisi yang diperlukan bagi pembangunan di
bidang apapun.
Oleh karena itu, perhatian terhadap variabel budaya dan
karakter kewargaan sangat penting dalam kerangka pembangunan manusia. Ukurannya
bisa menggunakan Global Social Tolerance Index, dengan menilai tingkat
pengakuan dan penerimaan terhadap yang berbeda, kesediaan menerima kesetaraan
hak, serta pengendalian diri dari sikap intoleran secara terbuka dalam isu
gender, minoritas, dan agama. Untuk melengkapinya, bisa ditambahkan Indeks
Demokrasi.
Mengaca diri
Transformasi apapun yang kita kehendaki harus dimulai dari
kesadaran bersama akan adanya krisis. Kita tak bisa melakukan perubahan, tanpa
kejujuran untuk mengakui adanya persoalan. Kita harus berhenti melebih-lebihkan
capaian kosmetik, dengan melupakan problem besar yang terus kita abaikan.
Dengan lapang dada, harus kita akui bahwa pembangunan manusia Indonesia secara
umum sangat memprihatinkan.
Semula ada anggapan bahwa keterbelakangan pembangunan
manusia itu merupakan konsekuensi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia.
Nyatanya, IPM di negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia
berjalan maju. Selain Amerika Serikat (AS), capaian tinggi dalam IPM juga bisa
dilihat dari negara-negara berpenduduk besar dalam kelompok BRICS (Brasil,
Rusia, India, China, Afrika Selatan), yang perkembangan perekonomiannya pada
tahun 2050 diperkirakan akan lebih besar dari kelompok G7.
Berdasarkan IPM tahun 2018, dari 189 negara, AS dan Rusia
masuk kategori sangat tinggi (urutan 13 dan 49); Brasil dan China masuk kategori
tinggi (79 dan 86). Cuma India yang masuk ketegori menengah bawah (130). Meski
demikian, dalam kategori yang berkaitan dengan indeks inovasi, India
menunjukkan perkembangan yang mengesankan, sebagai negara dengan pertumbuhan
teknologi tinggi yang cepat, penyedia jasa outsourcing utama, serta pemasok
transfer teknologi ke negara-negara berkembang.
IPM Indonesia masuk kategori menengah bawah. Meski IPM
Indonesia mengalami tren kenaikan, namun kecepatan pembangunan manusia di
negara-negara lain membuat peringkat Indonesia pada IPM antarbangsa cenderung
menurun (dari urutan 110 pada 2015, 113 pada 2016, dan 116 pada 2018). Harapan
hidup dan kecerdasan manusia Indonesia sudah terganggu sejak dini, karena
termasuk negara dengan banyak penderita gizi buruk akut dan kronis.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, pada tahun 2018,
30,8 persen balita negeri ini mengalami stunting. Angka itu menempatkan
Indonesia dalam kategori stunting sangat tinggi, jauh dari target Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen. Demikian juga dengan kasus balita
dengan gizi buruk dan gizi rendah, angkanya masih 17,7 persen; di atas ambang
batas 10 persen yang ditetapkan WHO.
Lama sekolah dan kualifikasi ketenagakerjaan manusia
Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan hasil Sensus Nasional 2018, rata-rata
lama sekolah penduduk Indonesia tahun 2017 adalah 8,5 tahun. Artinya, secara
rata-rata hanya mampu sekolah sampai dengan jenjang menengah pertama. Postur
tenaga kerja Indonesia hingga Februari 2018 masih didominasi oleh kalangan
berpendidikan SMP ke bawah (75,99 juta orang atau 59,80 persen dari total
tenaga kerja) dan pendidikan menengah atas (35,87 juta orang atau 28,23
persen). Bandingkan dengan tenaga kerja berlatar pendidikan tinggi yang hanya
berjumlah 15,21 juta (11,97 persen).
Keterpurukan Indonesia juga tampak pada jenis kompetensi
yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya, seperti kemampuan
literasi, numerasi, dan pemecahan masalah, yang diukur berdasarkan hasil tes
PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competence) dan
hasil tes PISA (Programme for the International Students Assessment).
Hasil terbaru dari kedua tes itu menunjukkan bahwa kemampuan
berfikir dan bernalar anak Indonesia yang berumur 15 tahun juga terpuruk di
peringkat hampir paling bawah. Sementara itu, hasil uji kompetensi guru secara
nasional, rata-rata hanya mencapai 53,02. Angka tersebut masih belum mencapai
angka standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yakni 55,0.
Ketertinggalan juga terlihat pada ukuran-ukuran yang
berkaitan dengan tingkat keinovasian dan ekonomi berbasis pengetahuan. Dari
Skor 0-10 dalam indeks KEI, KI, II, EIR, dan ICT, nilai Indonesia menurun
secara gradual dari 3,68 pada 1995, menjadi 3,11 pada 2012. Pada 2019,
situasinya belum banyak berubah. Sehingga peringkat Indonesia masih di urutan
seratusan dari 147 negara.
Beruntung Indonesia masih mewarisi sisa-sisa modal sosial
yang kuat. Sebuah bangsa multikultural yang dipersatukan dengan nilai-nilai
Pancasila dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, perkembangannya
saat ini pun mulai merisaukan dengan tren peluluhan. Peringkat Indonesia pada
Global Social Tolerance Index tahun 2017, berada di urutan 48 dari 56 negara.
Masih lebih baik dari kebanyakan negara-negara Muslim, termasuk Malaysia (51),
namun di bawah negeri jiran Vietnam (37) dan Thailand (47).
Problem peluluhan modal sosial ini lebih jelas bila menengok
Indeks Demokrasi Indonesia. Selama beberapa tahun, tingkat demokrasi Indonesia
terus berada pada kategori sedang. Pada 2017, secara umum, memang ada kenaikan
2,30 poin dari tahun sebelumnya. Namun, gerak mundur terlihat pada variabel
yang berkaitan dengan kohesi sosial, yakni pada tingkat kebebasan berkumpul dan
berserikat (-3,63), kebebasan berpendapat (-6,20), juga implikasinya bagi
variabel peradilan independen (-5,05). Gambarannya bisa lebih buruk bila
mengingat fragmentasi sosial dalam prosesi pemilihan umum selama 2018/2019.
Dengan mempertimbangkan problem-problem yang dihadapi,
tujuan pembangunan manusia adalah memperluas pilihan-pilihan warga dengan
menumbuhkan manusia Indonesia yang sehat jasmani-rohani, berkarakter kuat,
berkreativitas tinggi, berkompetensi unggul dalam penguasaan iptek dalam rangka
tata kelola dan pemecahan masalah bangsa, demi terwujudnya cita-cita nasional.
Dalam implementasinya, usaha membangun manusia Indonesia itu
tidak perlu dilakukan dengan cara reinventing the wheel. Kita bisa belajar dari
praktik-praktik terbaik yang telah terbukti mengantarkan bangsa-bangsa lain
meraih keberhasilan. Tentu saja dalam mengambil contoh dari negara-negara lain
itu harus sungguh-sungguh dipertimbangkan ketepatan kontekstualisasinya bagi
Indonesia secara filosofis, geografis, sosio-historis, dan kemajemukan
kultural.
Dalam kaitan dengan faktor-faktor yang berkontribusi
langsung terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia, perhatian bisa
diberikan pada sektor pendidikan dasar-menengah, pendidikan vokasi dan
keteknikan, serta kegiatan riset dan inovasi. Meski demikian, pembangunan
sektor ini tidak bisa berdiri sendiri; melainkan perlu jalinan keterpaduan
antara rezim pendidikan-iptek, rezim kebijakan-tata kelola, serta rezim
ekonomi-produksi.
Prioritas rezim
pendidikan-iptek
Rezim pendidikan-iptek sebaiknya memulai langkah
transformatifnya dengan membenahi pendidikan dasar, lantas bergeser ke jenjang
berikutnya. Ini adalah langkah umum yang ditempuh banyak negara, dengan contoh
suksesnya seperti Finlandia, Jepang, dan Brasil.
Pendidikan dasar bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi
manusia pembelajar dan warga negara yang baik. Sebelum memasuki Sekolah Dasar
(SD), pendidikan usia dinia menjadi wahana pembentukan karakter personal dengan
belajar mengenali dirinya dan lingkungannya, rasa ingin tahu serta sehat jasmani-rohani
dengan melatih berfungsinya panca-indra. Pada tahap ini, harus dihindari
pemaksaan dini aneka jenis hapalan dan kemampuan literasi-numerik.
Pendidikan SD harus menghindari beban kurikulum yang
berlebihan. Yang perlu ditumbuhkan adalah kecapakan (ilmu) dasar manusia
pembelajar: budaya membaca, menulis, menghitung, dan menutur. Penguasaan
keempat ilmu dasar itu dikombinasikan dengan empat wahana pembentukan karakter
dan kreativitas: olah pikir (critical thinking dan problem solving), olah rasa
(spiritualitas, etika, dan estetika), olah raga (permainan dan ketangkasan
kinestetik), serta olah karsa (kemauan/imajinasi kreatif).
Dengan empat kecakapan ilmu dasar, peserta didik memiliki
kunci untuk memasuki dunia pengetahun sebagai pembelajar yang baik. Dengan
empat wahana pembentukan karakter dan kreativitas, peserta didik memiliki kunci
untuk memasuki dunia kehidupan sebagai warga negara (dunia) yang baik.
Di tingkat SD, pengetahuan sebagai disiplin ilmu belum perlu
diajarkan. Biarkan anak menjelajahi bacaan dan bidang pengetahun apapun yang
disukainya tanpa sekat-sekat keilmuan yang ketat. Di Finlandia, misalnya,
pelajaran matematika di SD dihilangkan, digantikan pelajaran berhitung sebagai
kecakapan dasar.
Sekolah cukup menyediakan bahan bacaan terseleksi, sehingga
jenis bacaan apapun yang dipilih siswa bisa mengembangkan wawasan pengetahuan,
budi pekerti, kebangsaan dan imajinasi-kreatif. Dalam rangka mempersiapkan
siswa menjadi warga negara yang baik, bahasa pengantar di tingkat PAUD dan SD
harus menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing boleh diperkenalkan paling
cepat setelah kelas empat.
Di tingkat SLTP, berbagai mata pelajaran menurut rumpun ilmu
bisa mulai diperkenalkan, namun fungsinya sebatas mempersiapkan peserta didik
untuk menghadapi pelajaran sesungguhnya di tingkat SLTA. Sekolah sesungguhnya,
dalam arti mendalami keilmuan, dimulai pada tingkat SLTA. Meski demikian,
penjurusan pada tingkat ini belum diperlukan. Biarkan anak mengenali berbagai
ilmu, agar memiliki wawasan multidisiplin, seraya lebih menyadari bidang
keilmuan apa yang sesuai dengan predisposisinya.
Di AS, misalnya, pada umumnya tidak ada penjurusan sampai
SLTA. Meski tanpa penjurusan, sistem kurikulum harus mempertimbangkan ragam
kecerdasan insani, yang mengharuskan sekolah beringsut dari pembelajaran
berbasis kelas ke pembelaran berbasis individu.
Harap diingat, sistem kelas yang tersusun berdasarkan
kelompok umur bukanlah suatu keniscayaan, melainkan pilihan. Pada awal sejarah
pendidikan di kebanyakan negara, kelas disusun bukanlah berdasarkan kesamaan
umur, melainkan kesamaan minat akan mata pelajaran. Alhasil, orang dari ragam
usia bisa dalam kelas yang sama sejauh meminati pelajaran yang sama. Dalam
tradisi pesantren, hal itu disebut dengan praktik bandongan atau wetonan.
Sistem kelas berdasarkan kelompok usia mulai diperkenalkan
di Prusia (Jerman dan sekitarnya) pada awal abad ke-19, sebagai strategi untuk
merestorasi kekuatan militer Prusia pasca kekalahan yang memalukan dari tentara
Perancis di bawah Napoleon pada perang Jena dan Auerstadt pada 1806. Dalam
rangka menanamkan semangat tempur dan menumbuhkan kembali kebanggaan Prusia
sebagai bangsa gemar berperang, para pemimpin Prusia mengorganisasikan sekolah
seperti unit-unit militer.
Siswa dikelompokkan ke dalam peleton-peleton berdasarkan
kesamaan umur di bawah komando seorang kepala skuadron; suatu sistem
persekolahan sebagai transisi lurus menuju pelayanan militer. Karena
pertimbangan efisiensi, sistem sekolah seperti ini lantas diadopsi berbagai
negara, hingga saat ini seolah menjadi norma (Bauer, 2018).
Meski sistem kelas berdasarkan kelompok usia sulit
dihindari, sistem pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan kecerdasaan dan
preferensi siswa. Oleh karena itu, di tingkat sekolah menengah, mata pelajaran
wajib (mandatory subjects) dibuat ringkas, untuk memberi lebih banyak ruang
bagi pelajaran pilihan (elective subjects).
Dengan memberi ruang besar bagi pelajaran pilihan, siswa
juga bisa diperkenalkan dengan experiential learning dan kecakapan hidup, baik
melalui kerja kelompok minat-bakat, maupun lewat pemagangan. Di Inggris,
dianjurkan agar anak lulusan SLTA jeda sejenak, tidak langsung melanjutkan ke
perguruan tinggi (PT), agar memperoleh pengalaman kerja.
Pada tingkat PT, orientasi pendidikan bukanlah menjadi world
class universityseperti secara latah didedungkan, melainkan menjadi pilar
penting dalam mendukung pembangunan nasional. Menjadi universitas kelas dunia
hanyalah dampak ikutan manakala penyelenggaraan Tridharma dalam kerangka
pembangunan nasional itu dijalankan secara sungguh-sungguh dengan memberi nilai
tambah secara efektif, efisien, dan unggul secara berkesinambungan.
Tranformasi PT harus memperhatikan pemerataan sebaran,
perbaikan mutu, dan keseimbangan proporsi bidang studi. Dengan total penduduk
sekitar 250 juta jiwa, Indonesia memiliki sekitar 4.350 perguruan tinggi.
Bandingkan dengan China dengan sekitar 1,4 miliar jiwa, tetapi jumlah perguruan
tingginya lebih sedikit dari Indonesia (2.824).
Dengan kata lain, isu krusialnya bukanlah jumlah, melainkan
masalah pemerataan sebaran antarwilayah, serta rendahnya mutu sebagian besar PT
kita. Selain itu, proporsi mahasiswa dalam bidang sosial-humaniora jauh
melebihi mereka yang menekuni bidang sains dan teknologi (keinsinyuran).
Padahal, tranformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan memerlukan penguasaan
teknologi berbasis riset dan inovasi, yang terkait erat dengan studi-studi di
bidang keinsinyuran.
Menurut data Kemenristekdikti 2018, jumlah mahasiswa di
Indonesia ada 8,04 juta. Jumlah mahasiswa (dan lulusan) bidang keinsinyuran
hanya 14 persen dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia (sekitar 50 persen belajar
teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah paling tinggi (4,66 persen).
Bandingkan dengan proporsi lulusan bidang keinsinyuran di Korea Selatan (38
persen), China (33 persen), dan bahkan Malaysia (25 persen). Akibatnya,
Indonesia mengalami defisit insinyur. Idealnya, dalam 1.000 penduduk ada 200
insinyur.
Di Indonesia, hanya ada 2.671 insinyur per 1 juta penduduk;
bandingkan dengan Malaysia (3.333), Vietnam (9.037), Korea Selatan (25.309).
Persoalannya tambah pelik, karena dari sekitar 100.000 lulusan bidang
keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja secara profesional sesuai dengan
bidangnya. Dengan demikian, selain perlu dikeluarkan kebijakan insentif dan
afirmatif bagi mereka yang kuliah di bidang keinsinyuran, perlu juga dipikirkan
keterkaitannya dengan pembangunan sektor industri.
Meskipun rezim pendidikan-iptek perlu memberikan perhatian
lebih pada bidang-bidang keinsinyuran, mahasiswa PT secara keseluruhan harus
dipersiapkan untuk memiliki fleksibilitas dalam merespons tantangan perubahan
yang makin cepat. PT tidak dirancang untuk mencetak “batu bata”, hanya karena
melambungnya tren permintaan pasar, melainkan menyiapkan “tanah liat” yang
memiliki kelenturan menjadi apapun sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Kita bisa belajar dari China, dengan fokus kebijakannya
untuk mengubah tendensi pembelajaran spesialisasi yang berlebihan menuju
penyiapan pembelajar generalis yang mampu berpikir secara independen dan
inovatif. Hanya saja, agar tenaga-tenaga
generalis ini memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja
(kehidupan), maka para mahasiswa dibekali experiential learning lewat
pemagangan. Rumusnya adalah 2+1 (dua tahun belajar di universitas, 1 tahun
magang di perusahaan/lapangan kerja lainnya; atau 2 tahun belajar di kota, 1 tahun
belajar di desa; atau 2 tahun belajar di Wilayah Barat, 1 tahun di Wilayah
Timur).
Di luar jalur pendidikan umum, bisa disiapkan jalur
pendidikan vokasi dan spesialis, baik di tingkat sekolah menengah maupun
perguruan tinggi (politeknik). Sifat pendidikan vokasi memang menyiapkan tenaga
kejuruan yang bisa segera memenuhi permintaan pasar. Akan tetapi, kecepatan
disrupsi dalam perkembangan teknologi saat ini, memerlukan penyiapan mentalitas
yang harus ditumbuhkan pada jiwa tenaga-tenaga kejuruan ini: yakni kesediaan
menjalani pembelajaran secara berkesinambungan, lewat proses reskilling dan
upskilling.
Peningkatan keterampilan tenaga kejuruan ini bisa lewat
jalur vertikal dan horisontal. Secara vertikal, mereka bisa melanjutkan ke
jenjang pendidikan vokasi yang lebih tinggi. Secara horisontal, lembaga
pendidikan vokasi ini harus terhubung dengan balai-balai latihan kerja (BLK),
bagi mereka yang tak bisa lagi bersekolah atau sudah bekerja.
Kita bisa belajar pada India, dalam ekspansi pendidikan
vokasi dan spesialis serta perhatian besarnya pada peningkatan kualitas
lembaga-lembaga pelatihan. Target pesertanya tiap tahun terus berkembang dari 3
menjadi 11 tahun selama lima tahun terakhir. Pada 2022, ditargetkan lebih dari
500 juta orang mengikuti skill training dan retraining.
Prioritas rezim
kebijakan-tata kelola
Semua itu memerlukan sisistem manajemen tata kelola
pendidikan yang tepat. Rezim pendidikan harus memilih apakah mau mengikuti
model Perancis dengan manajemen terpusat (urusan pemerintahan pusat), atau
model Amerika Serikat yang diserahkan ke pemerintahan daerah, atau model
Finlandia yang memberikan otonomi kepada sekolah. Model Finlandia memang
efektif.
Otonomi yang diberikan ke sekolah bisa mendorong kreativitas
komunitas sekolah, seraya menciptakan ekosistem kompetisi yang sehat, yang
secara keseluruhan bisa dengan cepat meningkatkan mutu pendidikan di sana. Akan
tetapi, Indonesia adalah negara kepulauan (hampir) seluas benua, dengan
keragaman horisontal dan vertikal (level peradaban) yang kompleks.
Problem Indonesia adalah ketidakmerataan sebaran guru dan
sekolah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Menyerahkan urusan sepenuhnya
ke pusat, menyulitkan distribusi pendidikan sesuai dengan keragaman kondisi
daerah. Menyerahkan urusan sepenuhnya ke daerah, menyulitkan mobilisasi sumber
daya untuk dipindahkan dari daerah yang berlebih ke daerah yang kekurangan.
Selain itu, praktik Pilkada langsung, dengan ongkos mahal
dan tim sukses yang luas, seringkali berimplikasi pada penempatan orang-orang
yang tidak kompeten dalam rezim pendidikan daerah. Untuk itu, kita bisa meniru
model Rusia, yang menerapkan desentralisasi secara parsial. Untuk urusan
pembangunan, pengadaan dan pemeliharaan hal-hal fisik bisa diserahkan ke
daerah. Adapun untuk urusan kurikulum dan guru masih menjadi urusan pusat.
Selanjutnya, pemerintah pusat bisa menerapkan kebijakan
asimetri. Terhadap daerah dengan rasio kecukupan, sebaran dan mutu guru sudah
relatif baik, otonomi yang luas bisa diberikan ke daerah. Pemerintah juga bisa
memberikan otonomi kepada sekolah yang telah memenuhi standar akreditasi.
Pemerintah pusat hanya menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum,
selebihnya sekolah bisa mengembangkan kreativitasnya masing-masing. Terhadap
daerah yang belum memenuhi hal itu, pemerintah pusat masih harus melakukan
tugas-tugas penempatan guru, asistensi penyusunan kurikulum, peningkatan mutu
guru dan sekolah.
Untuk mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah-daerah
terbelakang, kita bisa meniru model Finlandia dan Jepang. Di kawasan
miskin-terbelakang, guru harus menangani jumlah murid yang lebih sedikit
dibanding di kawasan kaya-maju. Itulah rahasia, mengapa di dua negara itu pemerataan
mutu pendidikan lebih baik. Perlakuan sebaliknya justru terjadi di AS, yang
mengakibatkan kesenjangan kaya-miskin di AS kian tajam (Diamond, 2019). Selain
itu, perlu dorongan (insentif) kepada sekolah-sekolah yang bermutu di satu
daerah untuk mengembangkan sister school di daerah lain.
Terhadap daerah-daerah paling terpencil, terbelakang, dan
terpinggir, yang sulit dijangkau oleh sistem pendidikan konvensional, karena
kesulitan guru dan pendirian sekolah baku, pemerintah bisa mengadosi sistem “sekolah
carteran” (charter school) seperti terbukti efektif di AS. Pemerintah pusat bisa mencarter aktor-aktor
non-negara (LSM) yang berpengalaman dalam pemberdayaan (pendidikan) masyarakat
marginal untuk menjalankan pendidikan secara independen dengan menerima dana
dari pemerintah. Untuk menjaga mutu, besaran dana yang diberikan akan
disesuaikan dengan tingkat capaian sekolah itu baik dari segi kuantitas (jumlah
peserta didik) maupun kualitas.
Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, mungkin tak
bisa meniru Brasil yang menerapkan akses bebas memasuki pendidikan. Namun,
setidaknya untuk jenjang pendidikan wajib belajar, subsidi pemerintah juga
harus diberikan kepada sekolah-sekolah swasta; terutama sekolah swasta untuk
kalangan menengah-bawah dan miskin.
Dalam kaitan dengan pengembangan pendidikan vokasi dan
pelatihan keterampilan, masalah mentalitas yang dihadapai adalah kecenderungan
publik Indonesia yang memandang pendidikan vokasi dan BLK sebagai sesuatu yang
kurang prestisius dibanding pendidikan umum
(SMA atau universitas). Dampak turunannya, sekalipun jumlah peserta didik di
pendidikan vokasi masih relatif kecil, lulusan sekolah kejuruan justru
menyumbang angka pengangguran yang tinggi.
Selain itu, kelemahan lulusan sekolah kejuruan yang dilatih
terlalu spesialis, daya kreatifnya kurang fleksibel dalam menghadapi
perkembangan baru. Tendensi seperti itu
juga terjadi di China dan Rusia. Jalan keluar yang diambil China dan Rusia
adalah meningkatkan mutu pendidikan vokasi dengan menekankan keterampilan yang
tepat guna, seraya membekali peserta didik di pendidikan umum dengan
experiential learning. Dengan demikian,
kekurangan angka partisipasi di lembaga pendidikan vokasi bisa dikompensasikan
oleh kemampuan keluaran pendidikan umum yang memiliki keterampilan.
Dalam manajemen PT, otonomi luas bisa diberikan kepada
universitas. Untuk menjaga mutu, pemberian otonomi itu perlu dibarengi dengan
model China. Yakni keberadaan badan khusus untuk mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi. Setiap PT harus dilakukan penilaian kualitas tiap lima tahun, yang
dilakukan bersama oleh badan negara serta badan independen. Selain itu, ada
badan penjaga jaminan mutu, yang membantu PT meningkatkan mutu.
Untuk meningkatkan relevansi pendidikan (terutama PT) dengan
tantangan pembangunan, perlu diusahakan hubungan yang lebih erat antara PT,
lembaga-lembaga riset dan ilmu pengetahuan, serta dunia usaha/dunia kerja; juga
antara pendidikan, kebudayaan, dan kemajuan sosial. Dalam kaitan dengan
keperluan pemagangan, pemerintah memandatkan dunia usaha/dunia kerja agar mau
menerima pemagangan siswa/mahasiswa dengan memberikan insentif khusus.
Semua rancangan tata kelola itu hanya bisa dijalankan dengan
prasyarat mutu tenaga kependidikan. Peningkatan mutu guru harus menjadi
prioritas. Pertama, perlu jaminan mutu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Perlu perbaikan lembaga sertifikasi guru. Untuk menjadi guru, lulusan
non-LPTK harus mengikuti pendidikan sertifikasi guru paling sedikit selama 1
tahun—lebih utama dijalankan dalam bentuk sekolah berasrama. Ketiga,
peningkatan kompetensi guru secara berkesinambungan.
Calon-calon guru bermutu hanya bisa terjaring dengan
meningkatkan derajat guru. Di Finlandia dan Jepang, profesi guru sangat
terhormat dengan standar gaji yang tinggi, bahkan dibanding dengan profesi
lain. Di Finlandia, hanya lulusan perguruan tinggi terbaik yang bisa menjadi
guru. Menjadi guru di tingkat pendidikan dasar-menengah bahkan dipandang lebih
prestisius ketimbang dosen.
Bagi Indonesia, situasi seperti itu pernah dialami pada masa
Belanda hingga dekade awal kemerdekaan, dengan sebutan “bangsawan fikiran”,
“mantri guru” dan sejenisnya. Jika kita ingin meninggikan mutu manusia
Indonesia, maka kita harus memulihkan derajat guru setinggi itu.
Prioritas rezim
ekonomi-produksi
Untuk mencegah mismatch antara keluaran lembaga pendidikan
dengan dunia kerja, yang diperlukan bukan hanya pembenahan persekolahan, tetapi
juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri. Hanya
dengan itu, lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan pengembangan bidang
iptek dan SDM seperti apa yang menjadi area prioritas.
Untuk mengatasi jebakan kelas menengah bawah dan defisit
neraca perdagangan, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian
berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju
ekonomi berbasis industri (knowledge economy). Ukuran yang berkaitan dengan
total factor productivity dan Knowledge Economy Index menunjukkan betapa rendahnya
kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan
ekonomi.
Arah kebijakan pengembangan teknologi dan industri kita bisa
belajar dari bangsa lain, tetapi tidak perlu sama. Kita bisa memberikan
prioritas pada pengembangan iptek yang bisa memberi nilai tambah terhadap
comparative advantage (kekhasan potensi) Indonesia. Lautan yang luas menunggu
sentuhan pengembangan teknologi dan industri kemaritiman. Tanah yang relatif
subur, perlu bioteknologi dan agroindustri. Negeri yang indah perlu teknologi
dan industri kepariwisataan. Jiwa estetik yang kuat, perlu teknologi dan
industri kesenian. Kekayaan sumber energi terbarukan perlu pengembangan
teknologi dan industri energi alternatif, dan seterusnya.
Dengan prioritas pengembangan teknologi dan industri seperti
itu, lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan area prioritas apa dan jenis
SDM seperti apa yang menjadi prioritas pengembangan. Setiap tahun, Lembaga
Pengelola Dana Pendikan (LPDP) mengeluarkan begitu banyak uang untuk memberikan
beasiswa bagi bibit-bibit dan talenta muda Indonesia. Namun sebegitu jauh,
belum ada cetak biru yang jelas, area prioritas apa yang menjadi sasaran.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian harus duduk bersama, untuk merumuskan area
prioritas ini, setelah strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri
ditetapkan.
Selain itu, keterkaitan antara aktivitas riset dengan dunia
usaha juga perlu diperkuat. Problem riset Indonesia terlalu memusat pada
lembaga riset negara. Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil
riset ke jantung masyarakat. Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus
sampai ke pasar. Oleh karena itu, kegiatan riset mestinya menjadi bagian
organik dari dunia usaha.
Kebijakan yang harus ditempuh bukan dengan jalan terus
menambah birokrasi baru lembaga riset negara, melainkan harus mendorong
pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan
fiskal (insentif pajak dan permodalan). Di Amerika, misalnya, anak-anak muda
cemerlang dengan ide-ide teknologi inovatif bisa membangun start-up dengan
pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada beberapa
yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala global,
seperti Microsoft, Apple, Facebook, dan lain-lain.
Demikianlah, gambaran peta persoalan dan pilihan-pilihan
solusi yang bisa dipertimbangkan dalam kerangka merealiasikan niat luhur
membangun manusia Indonesia. Seperti slogan pemerintahan China, “manusia adalah
akar dari segala hal”. Tanpa akar yang kuat, pohon (sejarah) pembangunan apa
pun mudah tumbang diterjang angin. Untuk itu, mari kita bangun manusia
Indonesia sepenuh hati, setinggi akal, dan sedalam komitmen perbuatan.
(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www , SmsQQ , com
BalasHapusKeunggulan dari smsqq adalah
*Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
*Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
*Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
*Bonus Setiap Hari Dibagikan
*Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
*Bonus referral 10% + 10%
*Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
*Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )
Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
bosku minat daftar langsung aja bosku^^
keren tulisannya. selamat berkarya teroos. saya suka juga tampilan blognya
BalasHapusbtw, jangan lupa mampir juga ke blog saya Blog Alister N ya. sekalian krisan kalo berkenan.