INVESTASI HIJAU
Bumerang Memacu Investasi
Dalam pidato ”Visi Indonesia” di Sentul City (14/7/2019), Presiden Joko Widodo sebagai presiden terpilih menyampaikan lima fokus pemerintahan barunya. Kelima fokus tersebut adalah: 1) melanjutkan pembangunan infrastruktur; 2) memperkuat pembangunan sumber daya manusia; 3) mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya; 4) mereformasi birokrasi; dan 5) menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Di satu sisi, memberi sinyal positif kepada para pemodal bahwa pemerintahan Jokowi-Amin (2019-2024) akan sangat serius mengelola dan menciptakan iklim investasi yang ramah investor sehingga akan menghasilkan investasi berbiaya rendah.
Namun, di sisi lain, pernyataan tersebut memberi sinyal negatif kepada sejumlah kementerian dan lembaga negara serta pemerintah daerah yang mengelola investasi dan masyarakat luas. Pernyataan bernada ancaman itu menimbulkan ketakutan dan kecemasan sejumlah pihak tentang nasib ”keberlanjutan” lingkungan dan masyarakat yang hidupnya tergantung daya dukung alam di wilayah yang akan jadi tujuan investasi.
Menurut penulis, pernyataan itu bisa menjadi bumerang yang mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dalam empat tahun terakhir mulai terkelola baik. Pernyataan Presiden Jokowi yang akan memacu investasi seluas-luasnya memiliki sejumlah konsekuensi serius.
Di satu sisi, pernyataan itu memberi keyakinan kepada para pemodal nasional dan asing agar segera berinvestasi di Indonesia. Juga memberikan sinyal peringatan kepada semua instansi pemerintah agar segera membenahi tata kelola investasi jika tak ingin ”dihajar”.
Namun, di sisi lain, ancaman itu bisa mendorong sejumlah instansi pemerintah dan pelaku usaha berperilaku (moral hazard) dalam penyusunan tata kelola investasi yang ramah lingkungan. Mereka bisa jadi akan mengabaikan aspek-aspek kepentingan lingkungan dan masyarakat dalam penyusunan persyaratan investasi karena khawatir akan dianggap sebagai penghambat investasi.
Sementara di benak investor, penegasan Presiden bisa dimaknai sebagai peluang investasi berbiaya rendah. Mereka bisa jadi akan menolak semua kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan yang telah diwajibkan dalam UU Perseroan Terbatas dan komitmen melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diwajibkan UU Penanaman Modal serta sejumlah regulasi lain karena dianggap membebani biaya investasi.
Padahal, sejumlah kewajiban itu selama ini disyaratkan pemda kepada calon investor dalam penyusunan dokumen amdal dan pemberian izin investasi.
Dalam amatan saya, dalam beberapa tahun terakhir kesadaran investor tentang pentingnya investasi hijau dan operasi bisnis yang ramah lingkungan terus meningkat.
Karena itu, ancaman Presiden Jokowi yang akan mengejar dan menghajar semua pihak yang dianggap menghambat investasi bisa kontraproduktif dengan berbagai upaya yang sedang dilakukan pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan ”kebahagiaan ekologis” bersama.
Bukti empiris
Hal krusial yang patut diingat Presiden dan semua pihak adalah memacu investasi secara masif untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi justru bisa menjadi bumerang karena bakal menimbulkan beragam komplikasi masalah serius. Permasalahan itu adalah timbulnya stres dan gejolak sosial serta terjadinya degradasi lingkungan di daerah-daerah tujuan investasi.
Juga akan memacu kesenjangan sosial-ekonomi antarkelompok masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat karena dipacu oleh investasi besar pada sektor-sektor usaha primer dan sekunder juga sangat rentan krisis ekonomi dan gejolak sosial-politik.
Secara empiris, bukti-bukti historis sudah memberi pelajaran berharga kepada pemerintah dan kita semua tentang adanya risiko-risiko tersebut. Misalnya, pada era pemerintahan Soeharto (1967-1998), pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 6-7 persen.
Bahkan, setelah pemerintah menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang membuka lebar pintu bagi investor asing menanam modal di Indonesia, pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 10,92 persen pada 1970.
Namun, godaan pertumbuhan yang tinggi itu menyebabkan rezim Soeharto terlena dan lalai dalam mengelola negara secara baik. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur serta menggerus sendi-sendi sosial dan perekonomian. Akibatnya, ketika krisis ekonomi global terjadi pada 1997-2001, ekonomi Indonesia ambruk. Pertumbuhan ekonomi pada 1998 anjlok menjadi minus 13,3 persen.
Ketimpangan sosial yang tecermin dalam rasio gini meningkat dari 0,32 (1986) menjadi 0,37 (1997). Kerusakan lingkungan kian parah. Komplikasi masalah itu menimbulkan radikalisme sosial di Jakarta dan berbagai daerah yang menyebabkan rezim Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan Indonesia berada dalam bahaya.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014, kecuali 2009 dan 2014, ekonomi Indonesia bertumbuh pada kisaran 5,5-6,5 persen. SBY terus berupaya mendorong para pemodal berinvestasi di Indonesia. Karena terlena oleh keinginan kuat memacu investasi dan capaian pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintah lalu lalai memproteksi kepentingan sosial-ekonomi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai pilar dasar dari kehidupan sosial dan ekonomi negara.
Akibatnya, riak-riak gejolak sosial terjadi di sejumlah daerah. Kerusakan dan risiko-risiko lingkungan akibat perilaku eksploitasi dari para pemodal kian serius. Rasio gini meningkat drastis dari 0,32 (2004) menjadi 0,414 (2014). Komplikasi permasalahan itu menyebabkan kinerja pertumbuhan ekonomi pada 2013-2015 terus merosot setelah diterpa krisis ekonomi global.
Indonesia beruntung bisa lolos dari badai krisis ketika pada 2015-2018 Jokowi mulai membenahi tata kelola pemerintahan dan pembangunan nasional dengan mengedepankan 17 pilar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang memadukan aspek-aspek kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara integral. Hasilnya, meski pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 4,88 persen (2015) hingga 5,17 persen (2018), dampaknya terhadap penurunan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antarwilayah, dan degradasi lingkungan cukup besar.
Investasi hijau
Berdasarkan uraian di atas, Presiden Jokowi sebaiknya ekstra hati-hati dalam mewujudkan ”godaan” untuk memacu investasi yang seluas-luasnya demi membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen pada 2019-2024. Dalam kajian saya, Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah yang ditargetkan Presiden bertumbuh di angka 7 persen sangat rentan mengalami risiko-risiko seperti diuraikan di atas.
Karena itu, arah, strategi, dan kebijakan politik pembangunan nasional periode 2014-2019 yang sudah terbukti efektif mentransformasikan Indonesia sebaiknya terus dilanjutkan untuk lima tahun ke depan dengan sejumlah akselerasi. Berkenaan dengan target memacu investasi, Presiden Jokowi sebaiknya fokus pada investasi hijau (green investment). Secara konseptual, investasi hijau adalah investasi yang ramah dan tidak merusak lingkungan, serta ramah dan tidak mengeksploitasi sumber daya ekonomi masyarakat demi kepentingan laba korporasi (Lako, 2015).
Dalam kaitan itu, investor yang diundang dan diizinkan berinvestasi di Indonesia adalah mereka yang telah punya rekam jejak yang baik sebagai green investor atau green corporation yang kehadirannya selalu memberi manfaat besar pada masyarakat, negara, serta lingkungan. Meminjam istilah dari John Elkington (The Chrysalis Economy, 2001), korporasi yang layak diundang adalah korporasi yang memiliki rekam jejak sebagai ”korporasi lebah madu”, bukan ”korporasi ulat”.
Kehadiran ”korporasi lebah madu” selalu memberi madu kepada masyarakat dan lingkungan. Selain green investor, Presiden juga bisa memberi kesempatan kepada investor lain yang memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan, CSR, dan green business dalam tata kelola investasinya.
Karena itu, reformasi tata kelola investasi dan birokrasi yang akan dilakukan Presiden Jokowi untuk memacu investasi hendaklah dalam kerangka memperkuat dan memacu investasi hijau. Hanya dengan cara itu, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, berkeadilan, dan berkelanjutan akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang.
(Andreas Lako ; Guru Besar Akuntansi Hijau; Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar