Rabu, 03 Juli 2019

Menjaga Muruah KPK Terancam Makin Sulit

Oleh : Kuswandi, Wartawan JawaPos.com
JAWA POS, 3 Juli 2019, 13:20:22 WIB
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (28/6) menangkap dua oknum jaksa di lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati ) Jakarta. Mereka adalah Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas. Keduanya ditangkap di dua tempat berbeda. Selain itu, ikut diamankan dua pengacara dan satu orang yang berasal dari pihak swasta.
Kasus itu makin menarik karena KPK meminta Kejati DKI menyerahkan Aspidumnya, Agus Winoto. Alasannya, dia dinilai terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana suap menyuap tersebut. Namun, Agus sempat ’menghilang’ usai dijemput Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Jan S Maringka dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan.
Ultimatum KPK agar Agus menyerahkan diri sukses. Dia menyerahkan diri Sabtu (29/6) pukul 01.00 dini hari. Kejagung melalui Jan S Maringka lantas menyerahkan Agus ke KPK. Dari pemeriksaan intensif yang dilanjutkan gelar perkara, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengumumkan Agus Winoto menjadi tersangka.
Penetapan tersangka terhadap Agus Winoto itu patut diapresiasi. Sebab, lembaga antirasuah kebanggaan Indonesia berani menetapkan seorang penegak hukum menjadi tersangka. Namun, apresiasi itu harus diikuti dengan kritik. Sebab, penanganan hukum terhadap dua oknum jaksa yang diringkus KPK justru diambil Kejaksaan.
Tentu, diambil alihnya dua oknum jaksa itu bukan karena KPK tak mampu menangani kasusnya. Tetapi lebih pada Kejagung yang sudah berkoar-koar ke media agar pihaknya saja yang menangani perilaku nakal dua jaksanya. Ucapan Jaksa Agung H.M. Prasetyo itu disampaikan setelah mendengar kabar dua anak buahnya diciduk KPK.
Permintaan Kejagung tentu diwarnai perdebatan panjang antara pejabat KPK dan Kejaksaan. Akhirnya, disepakati hanya perkara Yadi dan Yanuar yang penanganannya dikembalikan ke Korps Adyaksa. Sedangkan perkara Agus Winoto, tetap ditangani KPK.
Pengambil alihan kasus itu tentunya membuat publik bertanya-tanya. Untuk apa dua jaksa itu diambil alih Kejaksaan? apakah mereka tidak percaya dengan kualitas penanganan korupsi yang dilakukan KPK? Jika berpikiri buruk, jangan-jangan ada upaya melokalisir kasusnya agar tidak merembet kemana-mana.
Padahal jelas, berdasar Pasal 11 huruf a UU No. 20 tentang KPK, disebutkan bahwa lembaga antirasuah memiliki kewenangan dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. KPK juga dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, KPK juga merupakan lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam penjelasan UU tersebut, KPK berfungsi sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga lain menjadi lebih efektif dan efisien.
Pertanyaannya, apakah KPK masih independen dan bebas dari pengaruh pucuk pimpinan lembaga penegak hukum lain? Apalagi, ketika ada salah satu personel lembaga itu hendak atau ditangkap KPK?
Hal ini hanya bisa dijawab oleh pimpinan KPK, pimpinan Kejaksaan dan Pimpinan Polri dengan jujur. Sejatinya, dibentuknya KPK karena dua korps penegak hukum tersebut dinilai tak bersih dalam menegakkan hukum. Sehingga KPK menjadi ‘anak kandung’ reformasi itu dilahirkan. Harapannya, agar negeri ini bebas dari penyakit kroni Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Penangkapan dua jaksa, Yadi dan Yanuar yang berujung pada penetapan tersangka Aspidum DKI Agus Winoto hanya segelintir di antara penanganan perkara hukum yang dilakukan KPK. Masih segar diingatan. Usai KPK menetapkan Komjen.Pol Budi Gunawan pada 2015, KPK langsung mendapat serangan masif.
Tak tanggung-tanggung, dua komisionernya, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka oleh Polri dengan dua kasus berbeda. Penetapan tersangka itu mengulang kembali sejarah perseteruan KPK dan Polri yang dikenal dengan kasus Cicak vs Buaya jilid I yang menimpa Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Waluyo.
Keduanya kala itu ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian karena dituduh menerima suap sebesar Rp 6 miliar dari Anggoro Widjojo. Saat itu, Anggoro menjadi tersangka kasus korupsi pengajuan anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu ( SKRT) yang ditetapkan KPK pada 2009.
Dalam perjalanannya, di MK terungkap, jika tuduhan yang disematkan terhadap Bibit-Chandra hanya rekayasa yang dilakukan sejumlah oknum petinggi penegak hukum. Menindaklanjuti hal tersebut, usai Presiden RI ke-6 SBY membentuk Tim 8 untuk menyelesaikan kasus tersebut, pihak Kejagung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) bagi Bibit-Chandra.
Yang tak kalah menarik, kasus lain yang memantik perseteruan antara KPK dan Polri adalah penetapan tersangka terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan. Novel menjadi tersangka usai KPK menetapkan mantan Kakorlantas Polri Irjen. Pol. Djoko Susilo sebagai tersangka. Hingga kini, teror masih berlanjut terhadap Novel. Terakhir, dia disiram air keras di bagian matanya.
Berdasarkan data yang dimiliki KPK, hingga saat ini baru sekitar 10 penegak hukum yang ditangani dari institusi kejaksaan. Antara lain Jaksa Urip Tri Gunawan, Dwi Seno Wijanarko, Sistoyo, Subri, Deviyanti Rochaeni, Fahri Nurmallo, Farizal, Parlin Purba, Rudi Indra Pasetyo dan Agus Winoto. Sementara dari kepolisian, baru tiga orang yang pernah diusut KPK. Mereka adalah Suparman, Brigjen Pol. Didik Purnomo, dan Irjen. Pol Djoko Susilo.
Belajar dari berbagai perseteruan akibat KPK menetapkan tersangka terhadap penegak hukum, tentunya tak bijak “memaksakan” seorang pejabat polri aktif atau pejabat jaksa aktif, sebagai calon pimpinan KPK Jilid V. Jika pejabat polisi aktif atau jaksa aktif menjadi pimpinan KPK, maka berpotensi memiliki loyalitas ganda.
Di satu sisi, mereka masih terikat dengan lembaga yang membesarkan namanya. Sedangkan di sisi lain, mereka punya beban dan tanggung jawab sebagai pimpinan KPK. Posisi ini jelas menjadi dilematis. Jika dipaksakan, maka pimpinan KPK dari pejabat polri atau jaksa aktif bisa dengan mudah diintervensi oleh pimpinan lembaga asalnya.
Jika hal ini terjadi, apakah independensi KPK bisa terus terjaga?
Bukan tidak mungkin orang-orang baik di lingkungan Polri atau Kejaksaan menjadi pimpinan KPK. Mereka cuma harus ikhlas menanggalkan seragam kebesarannya di lingkungan masing-masing. Itu harus dilakukan supaya saat menjadi pimpinan KPK, mereka tidak lagi punya keterikatan dengan lembaga asal.
Ewuh pakewuh yang bisa membuat posisi KPK melemah dan membuka peluang tawar-menawar jika ada anggota korps bermasalah. Kalau tetap dipaksakan, maka jangan harap negeri ini akan bersih dari korupsi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar