Capaian rasio kepatuhan pembayar pajak yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak, Mei lalu, cenderung terpinggirkan oleh hiruk pikuk dan dinamika proses Pemilu 2019. Padahal, ini merupakan isu krusial yang menentukan apakah kita dapat membiayai seluruh aktivitas kenegaraan dan pembangunan Indonesia ke depan.

Dari 85 persen target pemerintah pada 2018, capaian rasio kepatuhan formal pembayar pajak kita ternyata masih cukup rendah, yaitu 67,09 persen (DJP, 2019). Meskipun angka ini meningkat tipis dari capaian tahun sebelumnya, yaitu 66,74 persen, dengan tren tingkat pertumbuhan kepatuhan semacam ini, terutama pasca-penerapan kebijakan amnesti pajak tahun 2015, tampaknya akan sulit untuk membuat rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax to GDP ratio) kita bisa beranjak signifikan dari angka 11 persen jika tak ada terobosan berarti.
Di sisi lain, rasio kepatuhan pembayar pajak ternyata terkait erat dengan angka capaian indeks persepsi korupsi. Menurut sebuah kertas kerja Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjudul ”Corruption, Taxes and Compliance” (Anja Baum et al 2017), tingkat korupsi terkait secara signifikan dengan agregat kinerja penerimaan negara. Bahkan, dampak keterkaitan itu diestimasi hingga mencapai angka lebih kurang 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Hal tersebut disimpulkan setelah meneliti hubungan antara capaian angka indeks persepsi korupsi sejumlah negara yang diterbitkan Transparency International dan data parameter kepatuhan pajak, seperti tingkat kesenjangan kepatuhan pembayaran pajak, rasio pajak, rasio efisiensi Pajak Pertambahan Nilai (value added tax/VAT), dan sejumlah variabel lain.
Nyatanya, hampir semua negara dengan skor indeks persepsi korupsi yang tinggi dikenal memiliki sistem administrasi perpajakan yang baik. Negara-negara Skandinavia, misalnya, selain terkenal dengan angka indeks persepsi korupsi yang tinggi, juga memiliki tingkat kepatuhan pajak serta rasio pajak yang bagus sebagai buah sistem administrasi pajak yang baik.
Namun, yang tidak kalah menarik adalah penelitian ini juga menyimpulkan bahwa perbaikan pengelolaan administrasi perpajakan ternyata berdampak signifikan terhadap perbaikan indeks persepsi korupsi dibandingkan dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi lainnya, termasuk pembentukan lembaga antikorupsi.
Kesimpulan ini juga selaras dengan hasil kajian Johnson, Taxell, dan Dominik (2012) yang meyakini bahwa perbaikan tata kelola keuangan publik, termasuk perbaikan sistem administrasi perpajakan, jauh lebih efektif dalam mencegah korupsi. Dengan sistem administrasi pajak yang baik, tindak pidana korupsi akan mudah terdeteksi. Terlebih jika sistem itu didukung dengan perluasan iklim transparansi melalui pembangunan cashless society secara masif.
Koruptor, tipikal pengemplang pajak
Rasanya tidak sulit untuk meyakini logika bahwa hampir setiap koruptor secara alami akan menjadi pengemplang pajak. Itu karena para koruptor dan korporasi yang korup tidak mungkin akan melaporkan, apalagi membayar, pajak secara benar atas semua penghasilan yang diperoleh dan dibelanjakannya melalui cara-cara yang kotor, termasuk melalui skema pencucian uang.
Kita tentu ingat kisah Alphonse Gabriel ”Al Capone”, seorang gangster Amerika yang begitu licin menjalankan praktik kejahatan dan korupsi serta selalu berhasil lolos dari jeratan hukum karena mampu menyuap serta berkompromi dengan penguasa dan penegak hukum. Namun, sejarah menunjukkan bahwa terungkapnya semua kejahatan yang dilakukan Al Capone dilakukan dengan mengungkap semua catatan pembukuan yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan laporan pajak yang disampaikan. Dari situlah pengungkapan kejahatan-kejahatan yang lain dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Hal tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Seharusnya lebih banyak tabir korupsi yang bisa terungkap dan asset recovery serta pemenuhan hak keuangan negara yang dapat diselamatkan seandainya sistem administrasi pajak yang ada dapat berjalan beriringan dan bersikap lebih inklusif dengan penegak hukum yang lain.
Profesor Sebastien Lafrance dari Universitas Ottawa yang juga seorang jaksa senior, dalam sharing session di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018, juga menyampaikan betapa pentingnya otoritas pajak suatu negara dalam mendukung pemberantasan korupsi, terutama jika terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
Di era digital, para penegak hukum akan sangat sulit mengungkap skandal-skandal besar di dunia internasional, seperti Panama Papers dan Paradise Papers, jika tidak ada dukungan dari otoritas pajak. Terlebih saat ini, dengan dukungan kemajuan teknologi informasi dan skema pertukaran informasi secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) antar-otoritas pajak di dunia, pembuktian tindak pidana korupsi ataupun pelacakan aset (asset tracing) yang bersifat lintas negara pasti akan sangat terbantu.
Singkatnya, koruptor harus dijadikan musuh bersama bagi penegak hukum dan otoritas pajak karena koruptor secara alami hakikatnya adalah juga pengemplang pajak. Implikasinya, pemeriksaan koruptor hendaknya selalu diiringi pemeriksaan kepatuhan perpajakan untuk memastikan hak keuangan negara terpenuhi sebelum diterapkan pengenaan pasal tindak pidana korupsi sebagai ultimum remedium.
Agenda sinergi ke depan
Hadirnya sistem administrasi pajak yang mumpuni menjadi kunci peningkatan kualitas akuntabilitas masyarakat dan akan mempersempit peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi ataupun kejahatan keuangan lain. Sudah waktunya semua pihak, termasuk korporasi, yang melakukan suap atau memberikan gratifikasi dibuat tidak bisa lagi leluasa menyamarkan asal-usul uang tersebut dari laporan pajak.
Pemerintah perlu mempercepat pembangunan sistem administrasi pajak yang tidak hanya mampu mendorong peningkatan kepatuhan pajak dan penerimaan negara, tetapi juga menjadi peranti pendukung pencegahan dan penindakan korupsi. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengakomodasi berbagai fitur yang inklusif dan kolaboratif dalam mendukung peran lembaga negara lainnya dalam membantu terwujudnya kepatuhan pajak.
Sebagai contoh, Sistem Informasi Konfirmasi Status Wajib Pajak harus diperluas. Tidak hanya bersifat pengecekan pasif, tetapi juga harus mampu menerima umpan balik terkait pencabutan ataupun perbaikan perizinan yang dapat berdampak pada kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Simplifikasi dan integrasi sistem Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK dan e-filling pada DJP juga penting untuk diwujudkan. Karena hakikatnya apa yang dilaporkan di LHKPN harus selaras dengan apa yang tercantum dalam laporan daftar harta kekayaan wajib pajak yang menjadi lampiran laporan SPT.
Integrasi kedua dokumen tersebut akan memudahkan para wajib pajak ataupun wajib lapor LHKPN dalam memenuhi kewajibannya. Integrasi keduanya juga akan memudahkan para pemeriksa pajak dan analis LHKPN KPK bekerja sama dalam melakukan verifikasi dan menindaklanjuti temuan atas indikasi ketidakwajaran dalam harta kekayaan penyelenggara negara.
Terkait dengan hal tersebut, perluasan penerapan kebijakan nontunai serta perbaikan akurasi sistem single identiy number juga menjadi sangat krusial untuk mendukung efektivitas operasional sistem administrasi perpajakan yang dibangun.
Di luar pengembangan sistem, sinergi pemeriksa pajak dengan para penegak hukum, yang sejauh ini kebanyakan dibangun melalui hubungan personal, bersifat sangat terbatas dan sporadis perlu dibakukan dalam skema sinergi yang baku dan saling memperkuat.
Skema joint investigation antara aparat pemeriksa pajak dan para penegak hukum perlu diperluas dalam pengungkapan kasus korupsi dan sedapat mungkin dituangkan dalam regulasi yang jelas dan di tingkatan yang memadai.
Yang tidak kalah penting,
Presiden sebagai kepala pemerintahan harus berperan untuk memastikan sinergi aparat pajak dan penegak hukum serta instansi lain yang terkait dapat berlangsung secara konstruktif dan terbebas dari konflik kepentingan serta ego sektoral. Tanpa itu, negara kita akan selalu terjebak dalam kubangan angka indeks persepsi korupsi dan rasio pajak yang rendah. ***