“It is (Sultan) Agung’s status as both the greatest of Mataram’s Kings –as, indeed, the monarch who set the standard thereafter of what Javanese kings should be –and a pious follower of Islam which makes him the quintessential reconciler of Javanese and Islamic identities in royal traditions.” MC Ricklefs, 1998: 472  

Putusan MK menolak tuntutan pasangan Prabowo -Sandi, mengantarkan Jokowi- Ma’ruf dilantik menjadi presiden dan wakil, Oktober 2019.
Dari isi kampanye Jokowi-Ma’ruf, tampaknya proyek infrastruktur akan dilanjutkan, di samping peningkatan sumberdaya manusia. Namun melihat dinamika dan ketegangan politik—setidaknya sejak Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2019—infrastruktur yang dibutuhkan bukan hanya fisik.
Tidak kalah penting adalah infrastruktur budaya dan identitas politik bangsa. Identitas keagamaan masih menjadi pendorong ketegangan dan kekerasan. Misalnya, pengucapan kalimat Arab atau Al Quran dengan dialek kedaerahan dikesankan kurang Islami. Muncul pula ideologi khilafah yang hendak menghapus Pancasila, dan gejala hoaks endemik. Perolehan suara di tiap wilayah dalam kontestasi pilpres juga memperlihatkan kesenjangan tersebut.
Dengan kata lain, meminjam varian agama Geertz, kesenjangan antara santri, abangan, dan priyayi yang dulu menjadi faktor pembelah dalam kehidupan politik Indonesia, kini dimaknai lebih politis ketimbang budaya dan ekonomi. Varian santri, misalnya, semula dimaknai sebagai mereka yang rajin beribadah, bekerja keras serta sukses secara ekonomi dengan mengabaikan perbedaan agama, etnis maupun bahasa. Kini santri diberi arti lebih politis: mereka yang bergabung dengan organisasi massa atau partai Islam.
Karena itu, infrastruktur atau jembatan budaya dan identitas yang hendak dibangun tampaknya tidak cukup hanya retorika “tidak ada lagi 01 dan 02” melainkan harus menembus batas-batas identitas dan budaya menuju pendamaian (reconcile) atas varian-varian tersebut.
Polarisasi
Dalam bukunya Polarising Javanese Society (2007) Ricklefs menegaskan, tidak ditemukan polarisasi atau varian putihan abangan maupun santri abangan priyayi sebelum abad ke-19. Polarisasi mulai menguat 1830: tahun diterapkannya kebijakan sistem penjajahan komprehensif melalui cultuurstelsel racikan Van den Bosch; serta tahun ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Penindasan terhadap rakyat dilakukan oleh priyayi, kelas sosial ciptaan Belanda yang direkrut dari para pejabat lokal yang putus hubungan dengan keraton tetapi dapat wewenang mengawasi ketaatan rakyat dalam bayar pajak, tanam paksa, dan sebagainya.
Dalam penindasan, rakyat cenderung mendekat ke kyai melalui kelompok tarekat dan pesantren. Oleh karena itu, para kyai selalu diawasi priyayi dan Belanda karena dekat dengan rakyat. Terjadi semacam adu domba antara kyai dan priyayi (Hans Bakker, 2009).
Jika temuan Ricklefs benar, bangsa ini sesungguhnya tak punya akar konflik varian agama dan budaya, namun muncul karena rekayasa sosial politik penjajah. Maka penting kiranya mempertimbangkan pembangunan infrastruktur budaya dan identitas guna mengikis ketegangan dan eksploitasi terhadap varian-varian tersebut.
Pendamai
Sultan Agung, pendiri Mataram Islam (1613-1645), disebut sebagai Sultan terbesar terutama dalam hal kebudayaan dan spiritualitas.  Dua keistimewaan Sultan Agung adalah memindahkan pusat kekuasaaan Islam ke pedalaman Jawa dari sebelumnya di pesisir; dan menyatunya Islam dan lokalitas spiritual Jawa. Ricklefs menyebutnya sebagai “pengikut Islam yang saleh yang menjadikannya pendamai (reconciler) sejati identitas Jawa dan Islam dalam tradisi kerajaan” sekaligus pelaku islamisasi secara damai.
Ricklefs dalam tulisan lain menyebutkan, ketaatan agama Islam, spiritualitas Jawa, dan pendamai tampil dalam diri Sultan Agung. Di satu pihak, ia selalu terlihat di masjid pada hari Jumat dan rutin berkunjung ke makam Wali Islam Tembayat, namun di lain pihak Agung juga menjalin hubungan dengan Nyi Roro Kidul dan berkunjung ke Gunung Lawu sebagai bagian dari ritual spiritualitas Jawa.
Kita berharap pasangan Jokowi-Ma’ruf juga bisa tampil sebagai pendamai dalam dinamika dan ketegangan saat ini, untuk seluruh Nusantara. Beberapa capaian Sultan Agung perlu dipertimbangkan jika itu akan dilakukan.
Pertama, paham keislaman Sultan Agung tidak bisa disangkal adalah tasawuf. Islam tasawuf lebih dekat dengan paham spiritualitas Jawa atau Nusantara. Kedekatan itu ditunjukkan melalui, misalnya, sebutan sembahyang untuk sholat, Pangeran untuk Tuhan, surga dengan swarga serta sapaan Kanjeng Nabi, tidak ada konotasi negatif malah cenderung menunjukkan kedalaman.
Kedua, berdirinya Mataram Islam harus dilalui dengan terlebih dulu menundukkan kerajaan-kerajaan di pantai utara hingga Surabaya. Sultan Agung tercatat setidaknya dua kali mengirim pasukan dalam jumlah cukup besar ke Batavia untuk menundukkan VOC yang sudah menguasai pantai utara Jawa.
Meski tak bisa disebut menang secara fisik, tindakan itu membuatnya besar dan jadi teladan, bahkan membangun doktrin antipenjajahan dalam masyarakat Jawa.
Melalui argumentasi
Artinya, capaian itu perlu kerja, yaitu meyakinkan semua pihak ke luar dan ke dalam untuk bisa mendapatkan dukungan, yang ketika itu melalui perang. Kini tentu saja harus melalui argumentasi. Sisi sebaliknya juga perlu dilihat bahwa capaian Sultan Agung pernah ternodai oleh penerusnya, Amangkurat I. Ia disebut sebagai penguasa paling lalim sepanjang sejarah Jawa: membantai 4–5 ribuan kyai karena mereka diduga tidak mendukung kekuasaannya. Artinya suatu kebijakan yang baik harus didesain dengan pewarisan sistem yang baik pula supaya tidak rusak setelahnya.
Untunglah ketahanan budaya dan identitas Islam tasawuf-spiritual  Jawa terlalu kuat untuk dirusak. Karena itu lahir Pakubuwono IV. Ia dijuluki Raja-Sufi, raja sekaligus sufi. Prestasi tertinggi Pakubuwono IV adalah memberi ampunan kepada Kyai Mutamakin yang dihukum mati karena paham tasawufnya dianggap menyimpang (wahdatul wujud), karena  provokasi Katib Anom yang lebih Syariah.
Dengan demikian, perlindungan terhadap paham dan pemikiran apa pun—kecuali yang terbukti merusak dan mengancam—menjadi salah satu elemen penting.  Kita punya sejarah panjang nan kaya tentang dinamika pendamaian budaya dan identitas di Nusantara. Kini, setidaknya kita punya UU No 5/2017 tentang Kebudayaan Nasional yang bisa menjadi landasan bagi revitalisasi revolusi mental dan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). ***