Sukses
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 November
2017
Belakangan perasaan iri hati
saya kambuh lagi. Perasaan iri terhadap kesuksesan orang lain dalam membangun
usahanya. Bahkan ketika masa sulit seperti sekarang ini, mereka tetap masih
bertahan dengan gegap gempita.
Beberapa klien saya dan seorang
sahabat saya yang bekerja di hotel berbintang lima mengakui bahwa angka
pendapatan mereka tahun ini jauh lebih baik daripada tahun lalu.
Tokek
Saya tak memungkiri bahwa
setelah membaca surat kabar belakangan ini, beberapa perusahaan besar pun
terimbas untuk menutup usahanya. Saya makin keder. Perusahaan raksasa saja
bisa tumbang, bagaimana yang seukuran semut seperti usaha yang saya miliki
bisa bertahan?
Semenjak iri hati dan rasa
khawatir itu timbul dalam waktu yang bersamaan, maka saya mulai memanjatkan
doa meminta bantuan Yang Mahakuasa untuk turut campur agar usaha saya jangan
sampai gulung tikar. Mengapa baru sekarang meminta bantuannya? Karena selama
ini kekhawatirannya masih bisa ditanggung sendiri.
Hidup saya selama ini yaaa.
seperti itu. Kalau lagi perlu berdoa, ya saya berdoa. Kalau merasa mampu
tanpa doa, yaa… saya tak berdoa. Kadang kalau sedang dalam keadaan waras,
saya ini berpikir bahwa kehidupan spiritual yang saya jalani itu mirip
seperti aksesori semata. Hanya sebagai pelengkap. Kadang dipakai, kadang
tidak. Bergantung pada “baju” yang dikenakan.
Contohnya seperti ini. Kalau
lagi di rumah ibadah ada yang nyelak mengambil tempat duduk, saya bisa
memaafkan meski dongkolnya setengah mati. Kalau mendengar khotbah pendeta
yang membosankan, saya bisa bertahan duduk meski sambil mengucek mata supaya
tak ketiduran.
Tetapi coba, kalau ada yang
menyelak di dalam kehidupan sehari-hari atau mendengar seminar dengan
pembicaranya yang mendatangkan rasa bosan, Anda saya yakini tahu, apa yang
akan saya lakukan.
Saya mungkin seperti seseorang
yang sedang mengendarai sepeda motor yang kalaupun melakukan kesalahan, bisa
lebih galak dari korbannya, dan tidak akan meminta maaf atas kesalahan yang
dilakukan. Padahal, saya ini diajarkan kalau salah harus dengan berani
mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Ajaran itu kalau sudah ada di
rimba kota besar macam Jakarta ini, langsung hilang dari ingatan. Hajar saja
dulu, mengancam saja dulu. Nah. nanti kalau sedang celaka dan sakit keras,
maka baru mulai untuk minta ampun. Siklus itu terus berjalan seperti itu.
Hajar, ampun, hajar, ampun. Bisa dikatakan mirip tokeklah.
Tabur “seimprit”, tuai segunung
“Makanyaaaa. hidup tuh yang
bener. Mau sukses di dalam usaha itu hidup elo tuh juga mesti bener, bro….”
Demikian nasihat yang disuarakan oleh seorang teman yang sekarang menjadi
pendeta. Sejujurnya tak pernah terlintas di kepala kalau perbuatan saya dalam
kehidupan sehari-hari itu dapat memengaruhi kesuksesan dan keberuntungan
usaha yang saya jalani.
Saya selalu berpikir saya ini
belum beruntung dalam usaha yang saya jalani karena tak punya bakat menjadi
pengusaha, tak punya bakat menjadi pedagang. Seperti acap kali saya tuliskan,
saya ini juga tidak pandai berhitung.
Saya berpikir bahwa kesuksesan
sebuah usaha itu semata-mata karena aktivitas duniawi. Mengatur keuangan yang
benar, modal yang cukup, strategi pemasaran yang jitu, jeli melihat peluang,
dan memiliki para profesional yang bekerja secara profesional.
Tak sekalipun terlintas dalam
benak saya bahwa perselingkuhan saya, kemunafikan dalam berbagai bentuk yang
saya lakukan, kecerdikan dan kejelian saya menipu, ketidakhormatan saya
kepada orangtua, kejelian saya melihat peluang untuk menipu, kesombongan saya
yang dibungkus seperti serigala berbulu domba itu akan memengaruhi sebuah
kesuksesan usaha.
Bahkan saya ini berpikir, kalau
Tuhan itu tahu pasti kalau saya ini hanya manusia yang lemah dan sering jatuh
dan jatuh dalam kesalahan yang sama, meski ada yang membuat pepatah jangan
jatuh dalam kesalahan yang sama.
Dan, Tuhan itu pasti memaafkan
kalau saya ini hanya manusia yang lemah, yang sering jatuh dan jatuh dalam
rayuan dunia. Oleh karena itu, saya tak merasa bersalah menjadi manusia yang
sangat kikir untuk bisa menjadi sukses dan kaya raya.
Membuang sangat sedikit untuk
mendapatkan hasil yang sangat banyak. Jadi, bukan mengikuti konsep tabur
tuai. Kalau menabur sedikit yaa… tuai sedikit. Saya maunya menaburnya seiprit
dapatnya segunung. Mengapa saya berpikir begitu?
Karena dalam kehidupan
sehari-hari, kok, kayaknya yang berselingkuh di mana-mana, yang menipu dan
yang menabur seiprit-iprit tetap sukses dan tambah kaya raya. Jadi saya
merasa bahwa kombinasi menjadi manusia seiprit dan strategi pemasaran serta
perhitungan keuangan yang akurat, yang akan mengantar saya menuju puncak
gunung.
“Woee. bisa diem enggak.
Daripada elo ngabisin waktu buat nyindir melulu, mending elo bebenah diri
kayak bebenah rumah aja, gih. Yang kotor dibersihin, yang gak guna dibuang.
Siapa tahu abis berbenah diri usaha elo beneran bisa sukses seperti nasihat
temen elo yang pendeta itu.” Demikian nasihat nurani bawel yang tiba-tiba
nimbrung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar