Saatnya
KPK Berperang di Peradilan
Melawan
Setya Novanto
Ajie Ramdan ; Dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
|
DETIKNEWS,
15 November
2017
Pasca Putusan hakim tunggal
praperadilan Cepi Iskandar akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
memberanikan dirinya untuk menerbitkan kembali surat perintah penyidikan
(sprindik) untuk Setya Novanto. KPK menerbitkan sprindik baru tersebut pada
31 Oktober 2017. Setya Novanto selaku anggota DPR --bersama-sama dengan Anang
Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto-- diduga dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, disangka
melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55
ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), melalui keterangan pers
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantor KPK.
Tidak terima dengan status
tersangka untuk kedua kalinya, Setya Novanto melakukan serangan balik. Kuasa
hukum Novanto, Frederich Yunadi, melaporkan dua pimpinan dan dua penyidik KPK
ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) POLRI atas dugaan melakukan pemalsuan
surat masa perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap Setya Novanto. Dua
pimpinan KPK itu juga dianggap melakukan tindak pidana penyalahgunaan
wewenang jabatan, sehingga Bareskrim POLRI mengeluarkan surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP).
Upaya membenturkan KPK dan
POLRI adalah kegaduhan dalam proses penegakan hukum. Dengan diterbitkan SPDP
oleh Bareskrim POLRI, dua pimpinan dan dua penyidik KPK berpotensi menjadi
tersangka. Perlawanan yang dilakukan oleh Setya Novanto harus dihentikan oleh
KPK dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Selain itu, KPK harus siap
berperang di peradilan melawan Setya Novanto.
Kekuatan Pembuktian
Keberanian dan komitmen KPK
untuk memberantas korupsi diuji dengan secepatnya melimpahkan berkas perkara
Setya Novanto ke pengadilan tindak pidana korupsi. Apabila KPK lambat dalam
melimpahkan berkas perkara tersebut, berarti KPK tidak siap berperang di
peradilan. KPK akan mendapatkan kecaman dari masyarakat, dan dianggap tidak
mau mengakhiri kegaduhan dalam proses penegakan hukum.
Tidak boleh ada gugatan
praperadilan dari Setya Novanto untuk kedua kali. Berdasarkan Pasal 82 ayat
(1) huruf d KUHAP dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa pokok
perkaranya oleh pengadilan tipikor, gugatan praperadilan tersebut gugur dengan
sendirinya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 42/PUU-XV/2017 memberikan
kekuatan baru bagi KPK untuk melawan Setya Novanto, dalam pertimbangannya
alat bukti yang digunakan untuk menetapkan kembali seseorang sebagai
tersangka adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan
tidak bersifat formalitas semata. Sehingga pada dasarnya alat bukti dimaksud
telah menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya, dan
bisa digunakan untuk kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Putusan MK tersebut berbeda
dengan Pasal 2 ayat (3) Perma No. 4 Tahun 2016 sebagai dasar hukum untuk
mengeluarkan sprindik baru terhadap Putusan Praperadilan yang mengabulkan
permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka dengan syarat memenuhi
paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti
sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah
menentukan secara limitatif alat yang sah menurut undang-undang. Di luar alat
bukti tersebut tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa
yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: (a) keterangan saksi, (b)
keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa
Pembuktian merupakan masalah
yang memegang peranan dalam peradilan. Dengan pembuktian ditentukan nasib
terdakwa. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld)
berlaku dalam proses pembuktian; seorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Pasal 183 KUHAP
menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa
terdakwalah yang bersalah dan melakukannya.
Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Peradilan tidak
boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Untuk mengakhiri kegaduhan
dalam proses penegakan hukum yang terjadi, Jaksa Penuntut Umum KPK harus
membuktikan kesalahan Setya Novanto di pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi E-KTP. Sebaliknya, Setya Novanto sebagai terdakwa juga mempunyai hak
yang sama di peradilan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah
melakukan tindak pidana korupsi E-KTP.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1)
huruf a UU No. 30 Tahun 2002, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan dalam perkara korupsi. Kewenangan tersebut sering kali
tidak pernah terbantahkan di peradilan. Hasil sadapan dan rekaman tersebut
diakui sebagai alat bukti elektronik oleh Pasal 5 UU No. 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dengan dianutnya sistem
pembuktian negatief wettelijke stelsel atau sistem pembuktian menurut
undang-undang yang bersifat negatif oleh KUHAP, seorang terdakwa baru dapat
dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan dapat dibuktikan, dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta terbuktinya
kesalahan tersebut ditambah dengan keyakinan hakim.
Putusan Akhir Hakim
Akhir dari peperangan di
peradilan antara KPK dan Setya Novanto akan terjawab dalam putusan hakim.
Putusan akhir hakim harus menjawab dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
KPK dalam pembuktian.
Putusan dalam satu peradilan
merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat berwenang yang diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum, dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri
sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang
akan menyelesaikan sengketa, putusan hakim itu merupakan tindakan negara yang
kewenangannya dilimpahkan kepada hakim, baik berdasar Undang-undang Dasar
maupun undang-undang.
Dalam hal ini berlaku asas res
judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus
dianggap benar. Asas tersebut memiliki keterkaitan dengan perbuatan hakim
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, yang mana putusan yang
dijatuhkannya itu harus dianggap benar, apapun isi putusan tersebut. Sampai
ada putusan pengadilan lain yang menganulirnya.
Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa
putusan akhir hakim harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ditambah dengan keyakinan hakim. Putusan hakim tersebut berupa
pemidanaan, bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum harus bisa mengakhiri
kegaduhan dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi E-KTP.
Kasus korupsi E-KTP yang diduga
dilakukan oleh Setya Novanto harus mendapatkan prioritas oleh KPK untuk
dibuktikan di pengadilan dengan tetap berpedoman pada KUHAP sebagai hukum
acara pidana yang berlaku. Sehingga, kegaduhan dalam proses penegakan hukum
tindak pidana korupsi E-KTP berakhir dengan adanya putusan akhir hakim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar