Kamis, 16 November 2017

Saatnya KPK Berperang di Peradilan Melawan Setya Novanto

Saatnya KPK Berperang di Peradilan
Melawan Setya Novanto
Ajie Ramdan ;  Dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
                                                DETIKNEWS, 15 November 2017



                                                           
Pasca Putusan hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberanikan dirinya untuk menerbitkan kembali surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto. KPK menerbitkan sprindik baru tersebut pada 31 Oktober 2017. Setya Novanto selaku anggota DPR --bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto-- diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), melalui keterangan pers Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantor KPK.

Tidak terima dengan status tersangka untuk kedua kalinya, Setya Novanto melakukan serangan balik. Kuasa hukum Novanto, Frederich Yunadi, melaporkan dua pimpinan dan dua penyidik KPK ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) POLRI atas dugaan melakukan pemalsuan surat masa perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap Setya Novanto. Dua pimpinan KPK itu juga dianggap melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan, sehingga Bareskrim POLRI mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Upaya membenturkan KPK dan POLRI adalah kegaduhan dalam proses penegakan hukum. Dengan diterbitkan SPDP oleh Bareskrim POLRI, dua pimpinan dan dua penyidik KPK berpotensi menjadi tersangka. Perlawanan yang dilakukan oleh Setya Novanto harus dihentikan oleh KPK dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Selain itu, KPK harus siap berperang di peradilan melawan Setya Novanto.

Kekuatan Pembuktian

Keberanian dan komitmen KPK untuk memberantas korupsi diuji dengan secepatnya melimpahkan berkas perkara Setya Novanto ke pengadilan tindak pidana korupsi. Apabila KPK lambat dalam melimpahkan berkas perkara tersebut, berarti KPK tidak siap berperang di peradilan. KPK akan mendapatkan kecaman dari masyarakat, dan dianggap tidak mau mengakhiri kegaduhan dalam proses penegakan hukum.

Tidak boleh ada gugatan praperadilan dari Setya Novanto untuk kedua kali. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dalam hal suatu perkara sudah dimulai diperiksa pokok perkaranya oleh pengadilan tipikor, gugatan praperadilan tersebut gugur dengan sendirinya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 42/PUU-XV/2017 memberikan kekuatan baru bagi KPK untuk melawan Setya Novanto, dalam pertimbangannya alat bukti yang digunakan untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas semata. Sehingga pada dasarnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya, dan bisa digunakan untuk kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Putusan MK tersebut berbeda dengan Pasal 2 ayat (3) Perma No. 4 Tahun 2016 sebagai dasar hukum untuk mengeluarkan sprindik baru terhadap Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka dengan syarat memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti tersebut tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam peradilan. Dengan pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) berlaku dalam proses pembuktian; seorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa terdakwalah yang bersalah dan melakukannya.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Peradilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Untuk mengakhiri kegaduhan dalam proses penegakan hukum yang terjadi, Jaksa Penuntut Umum KPK harus membuktikan kesalahan Setya Novanto di pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi E-KTP. Sebaliknya, Setya Novanto sebagai terdakwa juga mempunyai hak yang sama di peradilan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi E-KTP.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam perkara korupsi. Kewenangan tersebut sering kali tidak pernah terbantahkan di peradilan. Hasil sadapan dan rekaman tersebut diakui sebagai alat bukti elektronik oleh Pasal 5 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dengan dianutnya sistem pembuktian negatief wettelijke stelsel atau sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif oleh KUHAP, seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan dapat dibuktikan, dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta terbuktinya kesalahan tersebut ditambah dengan keyakinan hakim.

Putusan Akhir Hakim

Akhir dari peperangan di peradilan antara KPK dan Setya Novanto akan terjawab dalam putusan hakim. Putusan akhir hakim harus menjawab dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam pembuktian.

Putusan dalam satu peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa, putusan hakim itu merupakan tindakan negara yang kewenangannya dilimpahkan kepada hakim, baik berdasar Undang-undang Dasar maupun undang-undang.

Dalam hal ini berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar. Asas tersebut memiliki keterkaitan dengan perbuatan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, yang mana putusan yang dijatuhkannya itu harus dianggap benar, apapun isi putusan tersebut. Sampai ada putusan pengadilan lain yang menganulirnya.

Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa putusan akhir hakim harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim. Putusan hakim tersebut berupa pemidanaan, bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum harus bisa mengakhiri kegaduhan dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi E-KTP.

Kasus korupsi E-KTP yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto harus mendapatkan prioritas oleh KPK untuk dibuktikan di pengadilan dengan tetap berpedoman pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berlaku. Sehingga, kegaduhan dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi E-KTP berakhir dengan adanya putusan akhir hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar