Profesor
Tanpa Riset
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
13 November
2017
Ada 5 ribu orang guru besar
atau profesor di Indonesia saat ini. Berapa yang aktif meneliti dan membuat
karya ilmiah dalam bentuk publikasi riset? Entahlah. Beberapa tahun yang lalu
saya baca berita bahwa untuk perguruan tinggi sekelas UGM, hanya 30 persen
dari guru besarnya yang melakukan riset. Yang lain melakukan apa?
Ada salah kaprah yang sudah
berlumut dalam dunia akademik kita, yaitu menganggap jenjang profesor adalah
puncak karier. Bila telah sampai di situ, orang sudah boleh istirahat, atau
menikmati imbalan. Maka, orang-orang yang tadinya aktif meneliti, biasanya
berhenti saat sudah jadi profesor.
Itu sebuah ironi. Yang benar
adalah menjadi profesor itu awal untuk berkarya secara mandiri. Profesor
memiliki wewenang penuh untuk menyusun proposal anggaran, dan membimbing
mahasiswa di semua tingkat, dari S1 sampai S3. Ibaratnya, jenjang profesor
itu sebuah SIM untuk mulai melakukan riset secara mandiri dengan wewenang
penuh. Jadi, sangat aneh kalau justru berhenti riset saat menjadi profesor.
Sebenarnya itu pun masih lebih
baik. Ada begitu banyak profesor, mungkin lebih dari 70% dari yang sekarang
ada, tidak punya rekam jejak meneliti. Cobalah sebut nama guru besar di
sebuah perguruan tinggi, lalu cari nama itu dalam mesin pencari karya ilmiah
seperti Scopus atau Google Scholar. Besar kemungkinan nama mereka tidak
muncul. Atau, sekadar muncul dalam catatan di jurnal-jurnal dalam negeri
saja.
Di masa lalu jabatan profesor
memang didapat dengan rajinnya orang mengumpulkan angka kredit melalui
berbagai sertifikat, yang makna ilmiahnya hampir nol. Jadi, orang jadi
profesor bukan karena karya ilmiah, tapi semata karena rajin mengumpulkan
dokumen.
Ada juga kesalahan lain, yaitu
anggapan bahwa seorang profesor harus punya jabatan tertentu. Itu sungguh
konyol, karena profesor itu sendiri sudah sebuah jabatan. Itu jabatan
tertinggi di bidang akademik. Jadi, seorang profesor hanya perlu bekerja
meneliti, tidak perlu jabatan lain.
Akibat prinsip itu, maka
profesor lalu diletakkan pada jabatan-jabatan yang membuat ia sibuk, lalu tak
lagi bisa meneliti. Tapi benarkah jabatan itu jadi penghambat? Mungkin tidak.
Pengalaman saya sepuluh tahun kerja riset di Jepang menunjukkan bahwa apapun
jabatan yang disandang oleh profesor, ia tetap bisa melakukan kegiatan riset.
Kuncinya adalah kesadaran bahwa profesor itu melakukan riset, bukan yang
lain. Maka, apapun jabatannya, profesor akan memprioritaskan risetnya.
Kita ini memang terlalu banyak
seremoni. Pejabat kampus seperti dekan atau rektor mungkin harus
mengalokasikan 20-30% waktunya untuk seremoni. Ada acara tertentu, rektor
harus memberi pidato. Dekan harus hadir pula. Padahal acara bisa berlangsung
tanpa sambutan itu. Maka rektor, dekan, ketua jurusan, ketua lembaga,
kehabisan waktu untuk berbagai seremoni. Belum lagi berbagai seremoni di luar
kampus, bersama gubernur, atau pejabat lain. Padahal waktu itu bisa dipakai
untuk riset.
Itu pun masih lebih baik. Yang
terburuk adalah, banyak profesor yang kemudian sibuk di luar, tidak ada
kait-mengaitnya dengan kegiatan pendidikan maupun riset. Mereka sibuk jadi
konsultan, mengerjakan proyek, atau bahkan berpolitik.
Kini pemerintah melalui
Kemenristek Dikti telah melakukan tekanan terhadap para guru besar. Setiap
tiga tahun kinerja mereka akan dievaluasi. Guru besar yang tidak sanggup
menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional, satu judul setiap tahun,
akan dicabut tunjangannya.
Ini langkah bagus. Tapi
kebijakan ini masih perlu dipantau efektivitasnya. Orang-orang ini adalah
orang-orang yang sudah lihai memainkan berbagai dokumen. Jangan sampai
peraturan ini menjadi tidak efektif, karena pelaksanaannya berfokus pada
dokumen, bukan substansi.
Di luar soal regulasi, menurut
saya harus ada gerakan moral. Jabatan profesor itu harus tidak lagi
disakralkan. Seseorang yang menduduki jabatan non-akademik, harus
menanggalkan "gelar" profesornya. Karena profesor itu memang bukan
gelar. Profesor yang jadi menteri bukan lagi profesor. Maka tanggalkan
sebutan itu.
Lalu, profesor yang tidak punya
karya ilmiah, sebaiknya juga tidak lagi disebut profesor. Akan lebih baik
kalau ia mengundurkan diri saja. Profesor tanpa karya ilmiah itu ibarat orang
punya SIM tapi tak pandai menyetir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar