Polemik
UGM dan
Pintu
Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Wisnu Al Amin ; Keluarga Alumni Jamaah Shalahuddin UGM
|
REPUBLIKA,
08 November
2017
Tulisan ini sebagai respons
terhadap tulisan Tuan Rizal Mallarangeng yang berjudul “Kontroversi di UGM: What’s Wrong With That?”.
Saya ingin mengawali dengan
rasa hormat, karena beliau adalah senior saya di Kafispolgama (Keluarga
Alumni Fisipol UGM). Saya mendapatkan tulisan tersebut di grup WA Shalahuddin
UGM generasi muda. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya akan menggunakan
perspektif lain dalam kontroversi penerimaan mahasiswa baru UGM. Bahkan
persoalan ini menjadi isu hangat di lingkaran keluarga besar Universitas
Gadjah Mada khususnya.
Saya mulai dengan melihat
potret UGM. Publik bersepakat kalau kampus tersebut sebagai Kampus Nasional.
Universitas yang memiliki visi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu
suasana sosialnya harus dibangun berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Sehingga tidak boleh UGM berpihak kepada satu golongan baik ras, suku maupun
agama tertentu.
Lebih dari itu, Ia juga menjadi
lembaga pendidikan. Orientasinya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dimensi-dimensi
tersebut yang dapat dijadikan alasan untuk rekayasa sumber daya manusia di
UGM. Sehingga kalau menggunakan kaca mata kebijakan, ada yang disebut input –
process – output. Kaidah tersebut sebagai pisau analisa dalam tulisan ini.
Polemik penerimaan mahasiswa
berdasarkan Seni Baca dan Hafalan Kitab Suci. Mari tidak memandangnya secara
normatif. Kalau yang menjadi parameter hanya Seni Baca dan Hafalannya semata,
banyak pihak juga berat untuk mengatakan sepakat. Artinya, Seni Baca dan
Hafalan tersebut baru membuka pintu pertama agar menjadi mahasiswa UGM.
Sedangkan pintu kedua selayaknya ada pengukuran kemampuan akademik. Hal ini
supaya mahasiswa tersebut dapat mengikuti proses belajar di masing-masing fakultas.
Terakhir adalah pengukuran
potensi akademik untuk melihat daya nalarnya serta psikologisnya. Tiga pintu
itulah yang harus dilalui sebelum secara resmi menjadi mahasiswa di Kampus
Biru. Oleh karena itu, kriteria Seni Baca dan Hafalan disikapi sebagai
instrumen pemberian kesempatan bagi mereka yang memiliki bakat dan prestasi
di bidang terkait.
Masalahnya adalah apakah hal
tersebut menunjukkan keberpihakan pada agama tertentu? Jawaban
konvensionalnya adalah iya, karena yang dimaksud adalah agama Islam. Tapi
jawaban kritisnya belum tentu, karena ada faktor-faktor agar melihatnya lebih
luas. Apabila dilihat dari cara pandang kedua, sesungguhnya kampus negeri
semisal UGM, UI, ITB, IPB boleh jadi
membutuhkan mahasiswa yang memiliki skill dan prestasi di bidang Kitab
Suci—Alquran.
Ada klise yang saya dapatkan
ketika dahulu sedang berada di Direktorat Kemahasiswaan, “Kalau UGM Juara
PIMNAS itu biasa, tapi kalau UGM juara MTQ itu yang luar biasa”. Maksudnya,
bahwa salah satu kompetisi yang diselenggarakan oleh DIKTI secara kontinu
adalah MTQ MN.
Tidak dipungkiri, lima kampus
terbaik di Indonesia juga berhasrat menjadi yang terbaik di ajang perebutan
prestasi tersebut. Apalagi kualitas universitas salah satunya diukur
berdasarkan record prestasinya. Ini adalah aksioma. Dengan demikian, boleh
jadi adanya mahasiswa yang memiliki
keahlian di bidang Alquran dapat menjadi salah satu kekuatan strategis UGM.
Inilah dimensi input sumber daya manusia yang harus diletakkan secara bijak.
Berkaitan dengan input dan
proses saya akan mengaitkan dengan potensi UGM menjadi Kampus Strategis dalam
pengembangan keilmuan. Di UGM ada Madzab Bulaksumur. Sebuah gaya pemikiran
yang khas terlahir dari intelek-intelek UGM dalam menyoroti persoalan ekonomi
dan agraria utamanya. Penggeraknya ada Sartono Kartodirdjo, Masri
Singarimbun, Mubyarto, dan lainnya.
Di dalam dunia universitas ini
adalah prestasi yang melebihi prestise kompetisi-kompetisi. Dalam dinamika
keilmuan di Kampus Pancasila, ada sosok Kuntowijoyo. Salah satu intelektual
yang berhasil memberikan sumbangsih pemikiran di lingkungan akademis UGM.
Gagasannya adalah Islam Sebagai Ilmu melalui Ilmu Sosial Profetik. Pak Kunto
telah meletakkan batu Paradigma Keilmuan di Universitas Gadjah Mada. Oleh
karenanya, gagasan ini menjadi potensi besar untuk dikembangkan ke depan.
Bersyukurnya, gagasan Pak Kunto
ini tidak ditelan zaman. Karena ada Pak Heddy Shri Ahimsa-Putra, dkk yang
turut melanjutkan gagasan ini. Beliau mengembangkan ke arah yang lebih
paragdimatik dan operasional. Sehingga kini dikenal dengan Paradigma Profetik
Islam. Apakah hal tersebut menunjukkan UGM terjebak dengan gaya keagamaan?
atau UGM perlu juga mengembangkan gagasan serupa dari agama lain?
Yang pertama, terlalu naif jika
memandangnya demikian. Yang kedua, selama itu dalam koridor pengembangan
keilmuan saya pikir apa salahnya UGM mempersilahkan. Selama hal tersebut
dapat ditarik ke dalam dimensi epistemologis dan metodologis yang dapat
dipertanggungjawabkan di dunia akademis.
Pengembangan keilmuan seperti
itulah yang sebenarnya perlu dihidupkan dan dilestarikan oleh Kampus
Kerakyatan. Agar Ia memiliki pisau analisa sendiri yang dirumuskan di rumah
sendiri. Jangan sampai menjadi “kampus pak turut” atau “kampus pengekor”.
Bukankah ini yang kita saksikan di kampus-kampus terbaik di dunia?
Bukankah Soekarno juga
berpesan, “Gadjah Mada adalah mata airmu, Gadjah Mada adalah sumber airmu,
tinggalkanlah kelak Gadjah Mada ini bukan untuk mati tergenang dalam rawanya
ketiadaan amalan atau rawanya kemuktian diri sendiri. Tetapi mengalirlah ke
laut, tujulah ke laut, lautnya pengabdian kepada negara dan tanah air, yang
berirama, bergelombang, bergelora”.
Artinya, muara universitas ini
adalah negara dan rakyat. Kalau kita mau bersikap objektif bahwa dasar negara
Indonesia adalah Pancasila. Sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, pengembangan Paradigma Profetik di dalam nuansa keilmuan
Kampus Gadjah Mada tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan
rakyat. Lantas apa kaitannya dengan penerimaan mahasiswa baru berdasar Seni
Baca dan Hafalan Kitab Suci?
Sekali lagi, Seni Baca dan
Hafalan Kitab Suci hanya pembuka pintu pertama. Apabila ada calon mahasiswa
yang berhasil membuka pintu kedua dan ketiga, maka ia menjadi input strategis
bagi UGM untuk diproses agar menjadi kontributor mengembangkan salah satu
nuansa keilmuan khas UGM, yakni Paradigma Profetik. Berdasarkan Paradigma
ini, ayat-ayat Alquran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif
yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan
subjektif. Itu berarti Alquran harus dirumuskan dalam bentuk
konstruk-konstruk teoritis (Kuntowijoyo, 2006: 16).
Lebih lanjut jelaslah kalau
hubungan agama dan ilmu pengetahuan dapat ditarik ke arah yang lebih objektif.
Dengan demikian, berdasarkan paradigma ini juga nantinya bukan hanya orang
muslim saja yang dapat mengaplikasikannya. Orang di luar Islam sangat mungkin
menggunakannya.
Toh, nyatanya dimanakah kita
menemukan ada masyarakat muslim yang melarang orang di luarnya untuk membuka
dan mempelajari Alquran? Oleh karena itu, dalam konteks UGM terlalu sederhana
jika kita memandang penerimaan mahasiswa berdasarkan seni baca dan hafalan
sebagai bentuk kebijakan yang pro-Islam, tidak adil terhadap umat-umat beragama,
bahkan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Sebab, persoalannya UGM punya
proyek Paradigma Ilmu yang bersifat futuristik. Siapa menyangka 10-20 tahun
ke depan Paradigma Profetik dari UGM ini diperbincangkan di Internasional
bahkan diterapkan di kampus-kampus terbaik dunia.
Maka dari itu, saya memandang
argumen mengenai agama dan ilmu sebagai dua elemen kehidupan yang
masing-masing memiliki sifat dan cara pandangnya sendiri (sebagaimana dalam
tulisan Tuan Rizal Mallarangeng) bertentangan dengan kehidupan keindonesiaan.
Argumen tersebut akan benar jika masyarakatnya adalah masyarakat yang
anti-agama, seperti di Barat.
Faktanya, falsafah negara
Indonesia ditopang oleh worldview agamis. Dalam hal ini, kalau yang menjadi
sorotannya adalah Islam. Maka kita harus melihat Islam itu sendiri secara
objektif. Islam terdiri dari unsur Tsawabit (tetap) dan Mutaghayyirat
(fleksibel). Pertama adalah perkara mengenai ibadah atau yang langsung
berhubungan dengan Tuhan. Kedua adalah muamalah atau yang berhubungan dengan
umat manusia. Ilmu pengetahuan (sains) letaknya di ruang kedua. Dengan ini,
agama dan ilmu tidak bertentangan.
Saya tidak tahu bagaimana di
dalam agama lain. Saya tidak memiliki hak ataupun otoritas untuk berpendapat
karena saya tidak menganut agama selain Islam. Konkretnya, dalam nilai-nilai
saintifik kita dilarang memanipulasi data. kita harus objektif terhadap
realitas empiris. Justru dalam kaca mata agama tercela kalau mengaburkan data
dan fakta.
Tragedi Saintis yang dialami
Galileo Galilei (1546-1642), Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Giodano
Bruno (1548-1600), kalau dipandang secara objektif maka agamanya itulah yang
salah. Lantas bagaimana jika agamanya yang benar? Apakah tragedi serupa
terjadi? Dengan demikian, dimanakah kita dapati sifat dan cara pandang ilmu
pengetahuan dan agama yang bertentangan. Kalau kita melihat
universitas-universitas di Eropa bisa maju karena menanggalkan agama di ruang
publik. Kemudian mereka ilmu bertumbuh secara pesat. Mungkinkah UGM, membuat
mainstream pembaharuan wacana dan realisasi, kalau ilmu pengetahuan juga bisa
berkembang pesat bersama dimensi religiusitas-moralitas?
Oleh karena itulah, penerimaan
mahasiswa berdasarkan seni baca dan hafalan dalam dalam konteks UGM perlu
disikapi secara komprehensif, strategis dan futuristik. Karena UGM pun punya
prinsip melahirkan sumber daya manusia yang bermutu. Inilah outputnya.
Barangkali prosedur seleksi tersebut dapat menjadi komponen tambahan
menciptakan output yang berkualitas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
berdasarkan Pancasila. Bahkan bukan hanya manusianya, tetapi juga
paradigma-paradigma ilmu pengetahuan yang dapat mencerahkan khalayak umum.
Maka, inilah sesungguhnya cita-cita agung sebagai universitas nasional.
Pandangannya tidak melihat perbedaan sebagai sumber konflik, melainkan sumber
potensi untuk pengembangan dan pengabdian.
Penutup, pernyataan seorang
Saintis sekaligus Astronom Amerika Serikat Carl Edward Sagan layak menjadi
refleksi “Science is not perfect. It
can be misused. It is only a tool. But it is by far the best tool we have,
self-correcting, ongoing, applicable to everthing”.
Perjalanan ilmu pengetahuan di
Indonesia masih akan menyusuri jalan panjangnya. Universitas-universitasnya
menjadi pengemudinya. Bahaya besar ketika kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia terlepas dari
falsafah hidup manusia Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945. Semoga
universitas-universitas tersebut dapat berpikir ulang terhadap relasi
strategis sains—manusia—agama—negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar