Ada
Apa dengan Arab Saudi?
Mahmudi Asyari ; Peneliti pada International Conference of
Islamic Scholars (ICIS)
|
REPUBLIKA,
08 November
2017
Sejak Raja Salman bin Abdul
Aziz memecat putra mahkota (PM) Muhammed bin Nayef, perubahan demi perubahan
menyangkut pola suksesi dan pengelolaan pemerintahan seperti diakselarasi
dengan sangat cepat.
Betapa tidak, dalam hitungan
bulan sejak sang raja mengamendemen ketentuan huruf “B” (bahasa Arab huruf
Ba’) yang memuat ketentuan pelarangan mengangkat anak kandung sebagai PM dan
dengan amendemen itu selain memecat keponakannya yang berdarah separuh Jilwa
(faksi kedua terkuat di dalam keluarga Saud), ia mengangkat anaknya Pangeran
Muhammad bin Salman sebagai PM.
Apa yang terjadi di Arab Saudi
saat ini bisa dikatakan sebagai sebuah 'kudeta' terhadap tatanan yang berlaku
sejak meninggalnya Raja Abdul Aziz Al Saud yang sesuai ketentuan huruf “B”
raja dilarang mengangkat anaknya sebagai PM.
Maka itu, seperti yang terekam
di dalam sejarah, pengganti raja selalu dari saudara tirinya selain Raja
Khalid yang menggantikan kakak kandungnya. Tujuannya tentu untuk menjaga
hubungan dengan para suku berpengaruh di mana lewat perkawinan Raja Abdul
Aziz aliansi bisa terbangun.
Dan, aliansi itu harus tetap
terjaga sepeninggalnya melalui pemberian kesempatan untuk menjadi raja bagi
keturunan kepala suku yang mencengkeram setelah Raja Fahd bin Abdul Azizi
menempatkan lima adik kandungnya di sejumlah posisi kunci.
Maka, tidaklah mengherankan
jika Barat menyebut Saudi di bawah cengkeraman “Band of Sudayri” (Kelompk
Sudayri). Posisi faksi Sudayri tetap tidak tergoyahkan meskipun posisi raja
beralih ke Abdullah bin Abdul Aziz dari faksi lain (bukan juga Jilwa).
Karena sejumlah jabatan kunci
sudah berada di bawah cengkeraman faksi tersebut, sehingga sang raja tidak
begitu leluasa. Dan, ketidakberdayaannya semakin terlihat ketika dia harus
terus-menerus menunjuk PM dari faksi Sudayri sampai akhirnya yang menjadi
raja saat itu.
Ini menunjukkan bahwa faksi
Sudayri memang sudah mencengkeram Saudi. Dan, cengkeramannya semakin
diperkuat ketika PM sekarang memang benar-benar berdarah Sudayri tulen
dibandingkan mantan PM Muhammad bin Nayef yang masih mempunyai darah Jilwa.
Menurut penulis, penangkapan
sejumlah pejabat dengan dalih korupsi tidak lebih dari upaya untuk meneguhkan
faksi Sudayri sebagai pemonopoli kekuasaan ke depan. Sebab, faktanya pengeran
yang ditangkap dan ditahan adalah dari faksi-faksi kuat di internal keluarga
Saud, termasuk mereka yang dekat dengan raja sebelumnya.
Islam moderat
Selain korupsi yang telah
dijadikan dasar penangkapan terhadap sejumlah pangeran dan orang-orang yang
dekat raja sebelumnya, hal lainnya adalah masalah wajah keislaman yang sedang
digulirkan oleh penguasa kerajaan tersebut.
Sebelumnya, PM Muhammad bin
Salman dalam sebuah wawancara dengan reporter Aljazirah terkait Islam
moderat, menteri luar negeri Saudi sudah memberikan sinyalemen bahwa negeri
itu sedang berupaya membersihkan negerinya dari radikalisme Islam.
Hal tersebut, ia ucapkan saat
berada di Rusia ketika mendampingi Raja Salman dalam kunjungan ke Moskow.
Meskipun, terkait hal itu, Menlu Saudi tidak pernah menjelaskan apa yang
dimaksud radikal oleh negeri itu. Beberapa kawan, sempat berdiskusi dengan
penulis yang intinya apa negeri itu ingin meninggalkan Wahabisme?
Ketika sejumlah kalangan masih
bertanya-tanya terkait maksud radikalisme yang diucapkan menlu negeri itu,
keinginan untuk melawan Islam radikal kembali diperkuat sang PM ketika
diwawancarai oleh Aljazirah.
Penulis memang belum bisa
menangkap arah yang jelas terkait penegasannya. Hanya, kalau itu--seperti
sejumlah kawan yang berdiskusi dengan penulis--mengaitkan dengan keinginan
untuk meninggalkan Wahabisme, menurut penulis, sangat sulit jika tidak ingin
dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil.
Sebab, jika benar seperti yang
ada di benak sejumlah pihak, tidak ubahnya seperti keinginan sejumlah
keinginan anak bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dengan itu seperti
pernah ditwitkan Prof Mahfud, seperti ingin mendirikan negara baru.
Penilaian tersebut sangat masuk
akal, karena “perkawinan” negara Arab Saudi dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
tidak ubahnya perkawinan abadi yang tidak bisa diceraikan. Sebab, seperti
disebutkan di dalam buku-buku sejarah, faktor ajaran Muhammad bin Abdul
Wahhab-lah yang telah menjadikan Al Saud menjelma menjadi penguasa besar yang
tadinya hanya berupa kepala suku kalahan dari para pesaingnya.
Maka, ketika terkait lontaran
Islam moderat seperti yang telah digelindingkan sang PM kemudian diartikan
tidak ingin melanggengkan “perkawinan” dengan Wahabisme, penulis kira hampir
mustahil. Meskipun bukan tidak mungkin juga seiring hasrat untuk menarik
investasi dalam rangka terbebas dari belenggu minyak supaya para investor
merasa bebas dari stigmatisasi radikal yang selama ini selalu disematkan ke
Wahabisme.
Analisis lain yang bisa
dimajukan terkait lontaran Islam moderat tersebut adalah dalam rangka
merespons tudingan yang telah dilakukan sekutu dekat Saudi, yaitu Amerika
Serikat, yang beberapa waktu lalu Presiden Donald Trump telah menuding Iran
sebagai radikal?
Kalau Iran radikal, bagaimana
dengan Saudi yang ketika peristiwa 9/11 banyak pelaku yang dituding terkait
dengan ajaran Wahabisme? Penulis kira, dalam rangka menolak tudingan balik
itu, Saudi perlu menegaskan ketidakberpihakannya kepada Islam radikal.
Meskipun begitu, istilah
kembali ke Islam moderat seperti ditegaskan PM tidak tepat, karena faktanya
sejak berdiri sebagai akibat “perkawinan” memang belum ada jejak moderatnya.
Dengan kata lain, Islam moderat
seperti yang PM lontarkan--menurut penulis--masih harus dicermati. Sebab,
bukan tidak mungkin hal itu sekadar untuk tidak disamakan dengan Iran yang
oleh Amerika Serikat dicap radikal.
Langkah tersebut juga sekaligus
untuk mengurangi kritik arah absolusitas yang dengan beberapa tindakan
belakangan ini menjadikan raja saat ini dan penggantinya kelak akan lebih
berkuasa ketimbang Raja Abdul Aziz Al Saud sang pendiri kerajaan Arab Saudi.
Bahkan, bisa jadi Raja Abdul
Aziz masih kalah berkuasa, karena selain harus menjaga keseimbangan
antarsuku, juga harus berbagi dengan para ulama Wahabi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar