Menjadi
Produsen di Era Digital
Nyoman Pujawan ; Profesor Bidang Supply
Chain Engineering di ITS;
Ketua Umum Indonesian
Supply Chain and Logistics Institute (ISLI), dan
Anggota Tim Sistem
Logistik Nasional
|
KOMPAS,
17 November
2017
Pada 3 November 2017, Perdana
Menteri Malaysia Najib Razak bersama pemimpin Alibaba.com, Jack Ma,
meresmikan apa yang mereka sebut sebagai digital free trade zone. Fasilitas
baru ini dibangun sebagai pusat logistik produk-produk yang akan
diperdagangkan secara daring.
Seperti halnya pada model
kawasan perdagangan bebas konvensional, digital free trade zone (DFTZ) bisa
menerima, mengimpor, memberikan nilai tambah, dan mengekspor kembali produk-produk
dengan perlakuan khusus, yakni keringanan dari sisi bea cukai dan kemudahan
izin ekspor impor. Ada dua keuntungan strategis yang bisa diambil oleh
Malaysia dari proyek ini.
Pertama, DFTZ ini akan membantu
produk-produk usaha kecil menengah (UKM) mereka memasuki pasar dunia lewat
perdagangan daring. Kedua, DFTZ akan jadi pusat logistik untuk menopang
perdagangan digital di Asia Tenggara. Dengan perlakuan khusus di wilayah
DFTZ, aliran barang akan lebih lancar dan biaya yang harus dibayar juga lebih
murah. Pada akhirnya, ini akan memberikan daya saing bagi produk-produk yang
akan dijual secara daring, terutama produk-produk yang dihasilkan oleh UKM.
Ekonomi digital memang telah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dewasa ini. Berbagai macam produk
bisa kita peroleh melalui pemesanan secara daring, mulai dari buku,
barang-barang konsumsi, furnitur, komputer, obat, tiket pesawat, jasa
angkutan barang, bahkan sampai jasa desain kartu nama dan logo perusahaan.
Pelaku bisnis digital pun
sangat banyak, baik yang tumbuh dari inisiatif warga Indonesia maupun
perpanjangan usaha dari negara lain. Nama-nama seperti Kaskus, OLX Indonesia,
Jualo, Lamudi, Lazada, Matahari Mall, Bhinneka, Bukalapak, dan sederet pelaku
bisnis digital yang sudah tak asing bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Mereka mengikuti jejak pemain, seperti Amazon, Alibaba, dan eBay, yang sudah
mapan di pasar daring global.
Nilai transaksi perdagangan
daring ini akan terus meningkat pesat di masa mendatang. Perkembangan
teknologi telepon pintar serta gaya hidup generasi milenial mendorong
pertumbuhan ekonomi digital secara masif. Indonesia adalah salah satu negara
yang pertumbuhan bisnis digitalnya sangat tinggi. Berbagai prediksi
menyebutkan, transaksi e-dagang Indonesia pada 2016 mencapai Rp 65 triliun-Rp
70 triliun. Studi yang dilakukan Nomura Research juga menyebutkan bahwa nilai
transaksi e-dagang di Indonesia mencapai sekitar 1,2 persen dari nilai
transaksi ritel secara keseluruhan di 2016.
Dibandingkan dengan produk
domestik bruto (PDB) Indonesia, kontribusi e-dagang memang belum mencapai 1
persen. Namun, angka ini akan naik dengan cepat dan diperkirakan menjadi
sekitar Rp 2.000 triliun pada 2025. Secara matematis ini mencerminkan
pertumbuhan per tahun rata-rata di atas 40 persen, jauh di atas pertumbuhan
PDB yang moderatnya di sekitar 5 persen per tahun.
Jika prediksi tingkat
pertumbuhan tersebut mendekati kenyataan, kontribusi e-dagang terhadap PDB
pada 2025 akan mencapai 10 persen. Sebuah angka yang cukup fantastis, yang
mengharuskan kita, terutama pemerintah, untuk menyiapkan ruang yang memadai
agar bangsa Indonesia bisa berperan dan menikmati angka ini: bukan hanya
sebagai pasar, melainkan juga sebagai penghasil produk-produk yang dipasarkan
melalui e-dagang.
Peluang menjadi negara produsen
Ketika kita membahas
perdagangan daring, biasanya ada dua isu yang banyak menarik perhatian.
Pertama, masalah model bisnis berbasis teknologi. Kedua, masalah pengiriman
lini akhir yang biasa disebut dengan last mile delivery. Memang dua hal ini banyak
mengubah model bisnis konvensional serta menjanjikan peluang bisnis luar
biasa bagi mereka yang mau terjun ke bisnis digital. Berbagai platform
teknologi informasi berkembang untuk memperkenalkan, melakukan transaksi jual
beli, memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk memberikan peringkat dan
review, serta memproses pembayaran. Di sisi lini pengiriman akhir bermunculan
para pemain lama maupun baru, termasuk ojek berbasis aplikasi sebagai
pelengkap proses bisnis digital.
Sebaliknya, yang relatif sepi
dari perhatian adalah bagaimana kita menata sisi produksi dari barang yang
akan dijual secara daring. Pasar kita sudah pasti tumbuh dengan sendirinya.
Pasar juga dimanjakan oleh pilihan-pilihan yang lebih banyak. Persaingan juga
akan sangat ketat bagi para produsen. Kalau kita ingin negara berjaya di era
perdagangan daring ini, maka perhatian juga harus tertuju ke bagaimana agar
produk-produk dalam negeri bisa masuk secara kompetitif di era ekonomi
digital ini. Pemerintah dan asosiasi pengusaha perlu secara proaktif
melakukan aksi-aksi keberpihakan kepada sisi produksi. Di sisi hulu, rantai
pasokan ekonomi digital ini ada para penyedia dan penghasil barang, termasuk
para petani, nelayan, dan perajin yang membutuhkan pembinaan agar produk
mereka bisa merambah pasar yang lebih luas melalui perdagangan daring.
Kalau kita menengok laman
Alibaba.com, kita bisa melihat etalase produk- produk dari sejumlah negara.
Mereka menyebutnya dengan istilah pavilion. Ada Pavilion Indonesia, Pavilion
Malaysia, Pavilion Thailand, dan sebagainya. Melalui laman ini produk-produk
Indonesia bisa dipromosikan di sana dan bisa dibeli oleh siapa saja dan dari
mana saja selama alamatnya terjangkau jaringan pengiriman. Ini artinya bisnis
digital tidak hanya memanjakan pelanggan dengan kemudahan berbelanja, juga
memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen dan
mengekspor produk-produknya.
Menyikapi peluang ini,
pemerintah harus lebih giat menumbuhkan iklim sebagai negara produsen dengan
produk-produk yang inovatif, berkualitas, dan bersaing dari sisi harga.
Ketika peluang pasar mulai muncul, pertarungannya adalah pada kemampuan
produksi, baik dari sisi kualitas barang dan kemampuan memenuhi target
produksi serta waktu pengiriman. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih
proaktif mendorong inovasi produk, terutama yang bernuansa khas Indonesia.
Gubernur dan bupati harus memiliki target dan program mengangkat komoditas
lokal untuk dikemas sedemikian rupa sehingga layak dijual melalui jaringan
perdagangan daring global.
Di samping itu, pemerintah
perlu rajin melakukan misi dagang ke pelaku e-dagang global maupun lokal.
Kalau di era konvensional kita banyak mengandalkan kegiatan pameran secara
fisik di luar negeri melalui atase perdagangan RI di negara sahabat, kini
saatnya pemerintah membuat tim perdagangan digital untuk mempromosikan
produk-produk domestik kepada para pelaku e-dagang. Tim ini harus membawa
produk-produk Indonesia, seperti batik, produk herbal, produk rumput laut,
kerajinan tempurung, dan furnitur ke pasar digital dunia. Tim ini harus
berjuang menjadikan perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi gold supplier
atau preferred supplier bagi perusahaan e-dagang sehingga berpeluang tampil
di halaman depan laman mereka, atau muncul lebih atas ketika ada pelanggan melakukan
pencarian produk sejenis. Mereka juga harus berkeliling Indonesia membantu
para bupati dan gubernur untuk mengangkat potensi lokal masuk ke pasar daring
dunia.
Relevansi pembangunan infrastruktur
Persepsi yang salah adalah
mengasosiasikan ekonomi digital hanya dengan perangkat teknologi informasi
dan melupakan sisi fisiknya. Ekonomi digital memang mengubah secara drastis
model bisnis, terutama yang menyangkut model pertemuan di antara penjual dan
pembeli, model promosi, model pembayaran, model penangkapan, dan pengolahan
informasi pelanggannya. Kita tidak boleh lupa bahwa sesungguhnya kegiatan
produksi, transportasi, penyimpanan, dan reparasi barang akan tetap
berlangsung secara fisik, walaupun akan ada berbagai perubahan karena
perkembangan teknologi produksi dan transportasi.
Implikasi penting dari
kenyataan ini adalah bahwa kita tetap butuh infrastruktur fisik untuk
mendukung kegiatan ekonomi digital. Bagaimana mungkin masyarakat yang ada di
Maluku, NTT, Jambi, Kalimantan, dan semua wilayah lain di Indonesia bisa
memperoleh manfaat dari ekonomi digital kalau fasilitas fisik untuk
pergerakan barang-seperti jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta, dan
pergudangan-tidak terbangun dengan baik. Bagaimana mungkin UKM di sejumlah
wilayah Indonesia bisa menjual produk-produknya secara kompetitif jika mereka
tidak bisa mengangkut produk-produk yang dihasilkannya secara mudah, cepat,
dan ekonomis menuju ke area pusat distribusi yang dikelola oleh perusahaan
e-dagang. Produsen barang maupun pengguna barang sama-sama membutuhkan
infrastruktur fisik ini.
Apa yang dilakukan pemerintah
sekarang dengan menggenjot pembangunan infrastruktur adalah keharusan apabila
kita ingin memfasilitasi masyarakat Indonesia untuk menapaki pergerakan ke
arah ekonomi digital di masa mendatang. Kita perlu memberikan apresiasi
kepada pemerintah yang menaikkan anggaran pembangunan infrastruktur secara
drastis dalam tiga tahun ini, mulai 14,2 persen dari APBN pada 2015 menjadi
15,2 persen pada 2016, dan 18,6 persen pada 2017.
Sebagian dari infrastruktur ini
akan sangat terkait dengan peningkatan kelancaran arus barang, yang artinya
juga meningkatkan daya saing produk-produk domestik untuk bersaing di era
ekonomi digital. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu secara lebih
cermat melihat kebutuhan infrastruktur logistik untuk menopang ekonomi
digital. Kita tidak hanya butuh kawasan perdagangan bebas digital, seperti
yang dibangun di Malaysia, tetapi juga jaringan pengumpul secara bertingkat
sehingga produk dari berbagai wilayah bisa secara efisien mengalir menuju ke
pusat distribusi yang dikelola perusahaan pelaku e-dagang.
Peran pemerintah sangatlah
vital dalam menciptakan dan menjaga daya saing produk-produk domestik agar
bisa berjaya di pasar domestik maupun di pasar global. Semua kementerian
terkait-mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta Kementerian Kelautan dan
Perikanan-harus bersama-sama membentuk tim penguatan sisi produksi. Kemudian
Kementerian Perdagangan membantu penguatan hubungan dengan pelaku e-dagang.
Sementara Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan tetap harus membuka
akses yang lebih baik bagi produk-produk domestik kita melalui infrastruktur
fisik yang lebih memadai. Semoga Indonesia dengan kekayaan alam dan kekhasan
produk-produknya bisa memasok pasar dunia di era ekonomi digital ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar