Jumat, 17 November 2017

Konflik Kepentingan dalam Promosi Meikarta

Konflik Kepentingan dalam Promosi Meikarta
Yunus Husein ;  Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera
                                                  TEMPO.CO, 16 November 2017



                                                           
Akhir-akhir ini beberapa penyelenggara negara, seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, menteri, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menunjukkan dukungannya terhadap proyek kota modern berskala internasional, Meikarta, di Cikarang. Dukungan diberikan dalam bentuk pernyataan dan kehadiran di lokasi proyek yang bernilai investasi Rp 278 triliun itu.

Hal ini terjadi tak lama setelah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyatakan bahwa proyek Meikarta masih bermasalah. Yayasan menilai proyek milik Lippo Group itu setidaknya menabrak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Etika Pariwara Indonesia. Di samping itu, terdapat keluhan konsumen yang merugi karena booking fee yang tidak dapat diminta kembali. Konsumen juga dipaksa membayar uang muka dan angsuran tanpa kepastian penyerahan unit. Atas dasar itu, Yayasan meminta konsumen menunda pembelian apartemen Meikarta. Bahkan, Wakil Gubernur Jawa Barat Dedy Mizwar meminta pengembang menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan karena belum berizin.

Imbauan Dedy itu tidak digubris sama sekali. Sebaliknya, muncul dukungan dari berbagai pejabat. Mula-mula Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menyatakan proyek Meikarta patut diapresiasi. Lalu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Manoarfa menyatakan tidak ada permasalahan serius dalam proyek Meikarta dan seharusnya semua pihak mendukung. Belakangan, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan hadir dalam acara pemasangan atap bangunan (topping off) dua apartemen Meikarta. Luhut malah mengusulkan agar light rail transit, yang direncanakan akan dibangun sampai Bekasi, diteruskan sampai Meikarta.
Dari urut-urutan waktu itu tampak bahwa pernyataan para pejabat itu bukan atas inisiatif sendiri. Bisa jadi hal itu telah direncanakan. Apakah dukungan mereka yang bernada konflik kepentingan itu diperbolehkan olah aturan atau etika?

Aturan mengenai konflik kepentingan memang masih tersebar dan belum memadai. Misalkan, perkara gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. Pemahaman tentang konflik kepentingan juga beragam dan bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi lantas menerbitkan Buku Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara Negara (2009). Menurut panduan tersebut, konflik kepentingan adalah situasi ketika seorang penyelenggara negara memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenangnya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Salah satu faktor penyebab korupsi di Indonesia adalah adanya konflik kepentingan yang dilakukan penyelenggara negara. Sering kali antara kepentingan pribadi dan kepentingan negara atau jabatan tercampur dan sulit dipisahkan. Misalnya, penyelenggara negara menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan urusan pribadinya.

Dalam kasus Meikarta, penyelenggara negara memberi dukungan terhadap pembangunan megaproyek Meikarta, yang dengan sendirinya juga mendukung penjualan apartemen Meikarta tersebut. Dukungan ini tentu ada sebabnya, entah pertemanan, gratifikasi, atau kepentingan pribadi.

Seorang penyelenggara negara seharusnya berhati-hati dalam membuat pernyataan atau bertindak karena pasti akan dikaitkan dengan jabatannya. Apalagi kalau pernyataan atau tindakan itu dapat menguntungkan diri sendiri atau pihak tertentu tetapi dapat merugikan publik. Di sinilah letak konflik kepentingan itu mudah dirasakan dan perlu dibuktikan. Untuk membuktikan adanya pelanggaran hukum diperlukan upaya dan waktu untuk melihat apakah ada transaksi keuangan atau transaksi lain antara pemilik Meikarta dan mereka.

Konflik kepentingan seperti ini banyak terjadi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat korupsi. Masalah ini tidak boleh dibiarkan, melainkan harus dikurangi atau dihapuskan. Menurut buku panduan KPK, prinsip dasar untuk menangani konflik kepentingan adalah melalui perbaikan pada nilai, sistem, pribadi, dan budaya. Walaupun perbaikan memakan waktu lama, hal ini harus dimulai sekarang dari diri sendiri secara konsisten dan berkelanjutan.

Ada beberapa prinsip yang harus selalu diperhatikan untuk perbaikan. Pertama, penyelenggara negara harus selalu mengutamakan kepentingan umum. Kedua, pemerintah menciptakan transparansi dalam penanganan dan pengawasan konflik kepentingan. Ketiga, pemerintah mendorong keteladanan dan tanggung jawab pribadi. Keempat, pemerintah menciptakan dan membina budaya organisasi yang tidak toleran terhadap konflik kepentingan. Para penyelenggara negara, yang pendapat dan fasilitasnya dibayar oleh rakyat, harus memberikan teladan yang baik dan bersikap yang menguntungkan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar