Konflik
Kepentingan dalam Promosi Meikarta
Yunus Husein ; Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera
|
TEMPO.CO,
16 November
2017
Akhir-akhir ini beberapa
penyelenggara negara, seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, menteri,
dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menunjukkan dukungannya terhadap
proyek kota modern berskala internasional, Meikarta, di Cikarang. Dukungan
diberikan dalam bentuk pernyataan dan kehadiran di lokasi proyek yang
bernilai investasi Rp 278 triliun itu.
Hal ini terjadi tak lama
setelah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyatakan bahwa proyek Meikarta
masih bermasalah. Yayasan menilai proyek milik Lippo Group itu setidaknya
menabrak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Etika Pariwara
Indonesia. Di samping itu, terdapat keluhan konsumen yang merugi karena
booking fee yang tidak dapat diminta kembali. Konsumen juga dipaksa membayar
uang muka dan angsuran tanpa kepastian penyerahan unit. Atas dasar itu,
Yayasan meminta konsumen menunda pembelian apartemen Meikarta. Bahkan, Wakil
Gubernur Jawa Barat Dedy Mizwar meminta pengembang menghentikan penjualan dan
segala aktivitas pembangunan karena belum berizin.
Imbauan Dedy itu tidak digubris
sama sekali. Sebaliknya, muncul dukungan dari berbagai pejabat. Mula-mula
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menyatakan proyek
Meikarta patut diapresiasi. Lalu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso
Manoarfa menyatakan tidak ada permasalahan serius dalam proyek Meikarta dan
seharusnya semua pihak mendukung. Belakangan, Menteri Koordinator Kemaritiman
Luhut Pandjaitan hadir dalam acara pemasangan atap bangunan (topping off) dua
apartemen Meikarta. Luhut malah mengusulkan agar light rail transit, yang
direncanakan akan dibangun sampai Bekasi, diteruskan sampai Meikarta.
Dari urut-urutan waktu itu
tampak bahwa pernyataan para pejabat itu bukan atas inisiatif sendiri. Bisa
jadi hal itu telah direncanakan. Apakah dukungan mereka yang bernada konflik
kepentingan itu diperbolehkan olah aturan atau etika?
Aturan mengenai konflik
kepentingan memang masih tersebar dan belum memadai. Misalkan, perkara
gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
perubahannya. Pemahaman tentang konflik kepentingan juga beragam dan bisa
menimbulkan penafsiran yang berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi lantas
menerbitkan Buku Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara
Negara (2009). Menurut panduan tersebut, konflik kepentingan adalah situasi
ketika seorang penyelenggara negara memiliki atau diduga memiliki kepentingan
pribadi atas setiap penggunaan wewenangnya sehingga dapat mempengaruhi
kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Salah satu faktor penyebab
korupsi di Indonesia adalah adanya konflik kepentingan yang dilakukan
penyelenggara negara. Sering kali antara kepentingan pribadi dan kepentingan
negara atau jabatan tercampur dan sulit dipisahkan. Misalnya, penyelenggara
negara menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan urusan pribadinya.
Dalam kasus Meikarta,
penyelenggara negara memberi dukungan terhadap pembangunan megaproyek
Meikarta, yang dengan sendirinya juga mendukung penjualan apartemen Meikarta
tersebut. Dukungan ini tentu ada sebabnya, entah pertemanan, gratifikasi,
atau kepentingan pribadi.
Seorang penyelenggara negara
seharusnya berhati-hati dalam membuat pernyataan atau bertindak karena pasti
akan dikaitkan dengan jabatannya. Apalagi kalau pernyataan atau tindakan itu
dapat menguntungkan diri sendiri atau pihak tertentu tetapi dapat merugikan
publik. Di sinilah letak konflik kepentingan itu mudah dirasakan dan perlu
dibuktikan. Untuk membuktikan adanya pelanggaran hukum diperlukan upaya dan
waktu untuk melihat apakah ada transaksi keuangan atau transaksi lain antara
pemilik Meikarta dan mereka.
Konflik kepentingan seperti ini
banyak terjadi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat
korupsi. Masalah ini tidak boleh dibiarkan, melainkan harus dikurangi atau
dihapuskan. Menurut buku panduan KPK, prinsip dasar untuk menangani konflik
kepentingan adalah melalui perbaikan pada nilai, sistem, pribadi, dan budaya.
Walaupun perbaikan memakan waktu lama, hal ini harus dimulai sekarang dari
diri sendiri secara konsisten dan berkelanjutan.
Ada beberapa prinsip yang harus
selalu diperhatikan untuk perbaikan. Pertama, penyelenggara negara harus
selalu mengutamakan kepentingan umum. Kedua, pemerintah menciptakan
transparansi dalam penanganan dan pengawasan konflik kepentingan. Ketiga,
pemerintah mendorong keteladanan dan tanggung jawab pribadi. Keempat,
pemerintah menciptakan dan membina budaya organisasi yang tidak toleran
terhadap konflik kepentingan. Para penyelenggara negara, yang pendapat dan
fasilitasnya dibayar oleh rakyat, harus memberikan teladan yang baik dan
bersikap yang menguntungkan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar