Kesetaraan
Agama dan Aliran Kepercayaan
Gunoto Saparie ; Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia Jawa Tengah
|
MEDIA INDONESIA, 14 November 2017
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mencatat
sejarah penting lewat putusan mereka terkait dengan pengakuan terhadap
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. MK belum lama ini
mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan agar boleh mengisi di kolom agama
pada kartu tanda penduduk (KTP). Putusan itu diketuk sembilan hakim
konstitusi secara bulat.
Tidak ada perbedaan
pendapat dalam putusan tersebut. Kesembilan hakim konstitusi itu ialah Arief
Hidayat, Anwar Usman, Manahan Sitompul, Wahidudin Adams, I Dewa Gede Palguna,
Maria Farida Indarti, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Aswanto. Majelis hakim
konstitusi juga menganggap Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 dalam UU Administrasi
Kependudukan (Adminduk) bertentangan dengan UUD 1945.
Mereka sepakat kepercayaan
memiliki kedudukan setara dengan agama. Dengan demikian, dalil para pemohon
tentang inkonstitusionalitas Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan beralasan menurut hukum. Gugatan atas Pasal 61 ayat
(1) dan Pasal 64 ayat (1) dalam UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24/2013 diajukan Nggay
Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan kawan-kawan. Gugatan itu
dilakukan agar para penghayat kepercayaan bisa menulis kepercayaan mereka di
kolom KTP.
Pasal yang digugat itu
hanya menyebutkan kata agama sebagai elemen data kependudukan yang harus
dimuat di dalam kartu tanda penduduk (KTP). Lebih lanjut dalam Pasal 61 ayat
(2) dan Pasal 64 ayat (5) disebutkan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum
diakui atau bagi penghayat kepercayaan, elemen data kependudukan terkait
dengan agama tidak perlu diisi.
Dalam aturan
perundang-undangan, para penghayat kepercayaan atau penduduk yang agamanya
‘belum diakui’ diminta untuk tidak mengisi kolom agama dalam kartu tanda
penduduk (KTP), ‘tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan’. Akan tetapi, kenyataan di lapangan, para penghayat kepercayaan
yang mengosongkan kolom agama di KTP tidak mendapatkan pelayanan yang setara
sebagaimana warga negara pada umumnya, bahkan mengalami diskriminasi.
Beberapa dari perlakuan
diskriminatif yang menimpa para pemohon berupa ketidaksetaraan dalam akses
terhadap pekerjaan, akses terhadap hak atas jaminan sosial, dan tidak
diakuinya perkawinan adat mereka yang berimbas pada akta kelahiran anak dan
pendidikannya. Dalam beberapa kasus juga ditemukan stigma-stigma dalam
kehidupan sosial mereka. Dalam kasus lain ditemukan ada yang terpaksa mengisi
kolom agama dengan agama yang bukan kepercayaannya agar administrasi
pembuatan KTP ‘lebih mudah’. Di era Orde Lama agama didefinisikan dengan
sangat eksklusif, yaitu yang memiliki kitab suci, nabi, dan pengakuan
internasional. Pemerintah Orde Lama bahkan membentuk Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat (Pakem) pada 1953.
Departemen Agama pada
waktu itu melaporkan bahwa pada 1953 telah ada 360 organisasi
kebatinan/kepercayaan. Setelah terwadahi dalam Badan Koordinasi Kebatinan
Indonesia (BKKI), organisasi-organisasi kebatinan itu berhasil
menyelenggarakan kongres pertama pada 1955 dengan ketuanya, Mr Wongsonegoro,
salah satu perumus UUD 1945.
Pada 1965 lahir penetapan
presiden (yang nantinya menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama) yang
ingin melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan. Kemudian pada
1970 Golkar membentuk Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan (SKK). BKKI lalu
bertransformasi menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian
Kebatinan Indonesia (BK5I). Pada 1973 Tap MPR tentang GBHN menyatakan agama
dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama
‘sah’, dan keduanya ‘setara’.
Namun, pada 1978 keluar
ketetapan MPR yang menyatakan kepercayaan bukanlah agama, melainkan
kebudayaan. Tap MPR Nomor 4 Tahun 1978 itu juga mengharuskan adanya kolom
agama (yang wajib diisi dengan salah satu dari 5 agama) dalam formulir
pencatatan sipil.
Pada era pascareformasi,
dengan masuknya klausul-klausul HAM dalam instrumen legal negara, para
penganut kepercayaan kembali mendapat pengakuan. Dengan instrumen HAM, para
penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama
‘resmi’. Akan tetapi, diskriminasi masih ada, yaitu dengan adanya Pasal 61 UU
Adminduk 2006: identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama.
Tentu saja dikabulkannya
permohonan judicial review terkait dengan kolom agama bagi penghayat
kepercayaan patut disyukuri dan diapresiasi. Meskipun demikian, upaya itu
sebenarnya belum menyentuh pada akar masalah sesungguhnya, yakni pada
dasarnya negara masih bersikap diskriminatif dalam hal pengakuan agama-agama
yang ada di Indonesia.
Hal itu bisa dilihat dari
kelompok agama Baha’i, Sikh, Yahudi, Saksi Jehova, Eden, Zoroaster, Milla
Abraham, dan agama lainnya yang tidak memiliki ruang dalam produk legal di
Indonesia, termasuk hasil putusan MK di atas. Aliran kepercayaan yang diakui
secara definitif baik pada UU No 24 Tahun 2013 jo UU No 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan dan peraturan turunannya, hingga Peraturan Bersama
Menbudpar dan Mendagri No 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hanyalah aliran kepercayaan yang
berasal dari tradisi lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar