Jumat, 17 November 2017

Ini Negara Hukum!

Ini Negara Hukum!
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 16 November 2017



                                                           
Kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi benar-benar mendapatkan lawan tangguh. Biasanya KPK yang superbody itu hanya melancarkan sekali-dua kali saja pukulanjab, lawan-lawannya langsung terjungkal knock out (KO). KPK ibarat petinju Mike Tyson “si leher beton” pada masa jaya-jayanya dulu sekitar pertengahan 1980-an hingga awal 2000-an. Sudah banyak lawan yang tak berkutik menghadapi KPK. Sudah ratusan pejabat, seperti bupati, wali kota, gubernur, menteri, anggota DPR, anggota DPRD, pejabat birokrasi, pejabat kepolisian, bahkan penegak hukum semisal hakim pun, dijebloskan ke bui. Semuanya diputuskan lewat pengadilan, bukan putusan KPK.

Namun, kini lawan KPK bukan sosok sembarangan. Meskipun penampilannya tidak garang, lawan KPK ini sungguh tangguh, kuat, tahan pukulan, licin. Dipukul KPK dengan status tersangka korupsi KTP elektronik, malah memukul balik lewat kemenangan di praperadilan. Dia dianggap “sakti”. Apalagi posisinya pun luar biasa. Di parlemen pun bukan anggota biasa. Dari jumlah anggota DPR yang 560 orang, dia menduduki kursi paling tinggi. Dia memimpin DPR, salah satu institusi dalam konsep pembagian kekuasaan trias politica. Bahkan, ia satu-satunya (kemungkinan besar) yang bisa merebut kembali kursi ketua DPR yang sudah ditinggalkannya. Kalau politikus lain, jangan-jangan sudah tamat karier politiknya. Saat mundur setelah ribut-ribut kasus “papa minta saham” pada akhir 2015, dia tak lantas tamat. Bahkan bisa merebut kembali kursi tertinggi DPR dari tangan kolega yang menggantikannya waktu itu. Kata orang, dialah yang bisa mengubah hal yang mustahil menjadi tidak mustahil.

Lawan KPK ini juga Ketua Umum Partai Golkar sejak November 2016. Golkar adalah partai paling tua dan berpengalaman di gelanggang politik, yang selama lebih dari tiga dasawarsa menjadi mesin politik rezim Orde Baru. Walaupun patronnya, yaitu Presiden Soeharto, tumbang dalam gelombang reformasi tahun 1998, Golkar tetap survive menikmati hasil reformasi. Pada Pemilu 2014 Golkar menjadi pemenang kedua di bawah PDI-P. Partai-partai yang lahir dari rahim reformasi pun dikalahkan. Dan, ironinya Golkar yang mendapat kursi pimpinan DPR, yang seharusnya jatah PDI-P. Golkar memang jeli. Tak lama langsung merapat ke istana, bahkan dengan menyatakan dukungan pada Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019.

Ketangguhan lawan KPK ini adalah sosok dengan dukungan kapital besar. Sebab, dia adalah pengusaha yang malang melintang sejak Orde Baru berkuasa. Jadi, lawan KPK yang satu ini memang orang kuat. Modal politik dan modal ekonomi memang luar biasa, pengaruhnya kuat, jaringannya juga luas. Segala jurus pun dikerahkan untuk melawan KPK. Mulai melaporkan pimpinan KPK ke polisi, berlindung dengan izin presiden untuk memeriksa anggota DPR, hingga menguji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Sekarang dia mangkir dari pemeriksaan KPK sebagai tersangka KTP elektronik yang ditetapkan untuk kedua kalinya.

Ruang publik akhir-akhir ini memang didominasi berita tentang Setya Novanto, sang politikus sakti itu. Di media sosial viral tagar “the power of Setnov”. Sekarang muncul juga tuntutan hak imunitas. Namun, di negeri ini tak ada yang kebal hukum. Semua orang berkedudukan sama di mata hukum (equality before the law). Jadi, kehebatan seorang pejabat bukanlah terletak pada besarnya kekuasaan yang digenggam, bukan tinggi jabatan yang dipegang, bukan kekuatan modal yang dimilikinya. Sederhana saja, seorang politikus yang hebat justru memberi contoh kepatuhan pada hukum. Bukan berputar-putar dengan 1.001 alasan. Silakan adu kebenaran di pengadilan. Jadi, tak perlu adu kuat. Sebab, negara ini adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Apalagi, kali ini KPK tampaknya akan lebih keras. Dan, semalam KPK sudah mendatangi rumah Setya Novanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar