Ini
Negara Hukum!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 November
2017
Kali ini Komisi Pemberantasan
Korupsi benar-benar mendapatkan lawan tangguh. Biasanya KPK yang superbody
itu hanya melancarkan sekali-dua kali saja pukulanjab, lawan-lawannya
langsung terjungkal knock out (KO). KPK ibarat petinju Mike Tyson “si leher
beton” pada masa jaya-jayanya dulu sekitar pertengahan 1980-an hingga awal
2000-an. Sudah banyak lawan yang tak berkutik menghadapi KPK. Sudah ratusan
pejabat, seperti bupati, wali kota, gubernur, menteri, anggota DPR, anggota
DPRD, pejabat birokrasi, pejabat kepolisian, bahkan penegak hukum semisal
hakim pun, dijebloskan ke bui. Semuanya diputuskan lewat pengadilan, bukan
putusan KPK.
Namun, kini lawan KPK bukan
sosok sembarangan. Meskipun penampilannya tidak garang, lawan KPK ini sungguh
tangguh, kuat, tahan pukulan, licin. Dipukul KPK dengan status tersangka
korupsi KTP elektronik, malah memukul balik lewat kemenangan di praperadilan.
Dia dianggap “sakti”. Apalagi posisinya pun luar biasa. Di parlemen pun bukan
anggota biasa. Dari jumlah anggota DPR yang 560 orang, dia menduduki kursi
paling tinggi. Dia memimpin DPR, salah satu institusi dalam konsep pembagian
kekuasaan trias politica. Bahkan, ia satu-satunya (kemungkinan besar) yang
bisa merebut kembali kursi ketua DPR yang sudah ditinggalkannya. Kalau
politikus lain, jangan-jangan sudah tamat karier politiknya. Saat mundur
setelah ribut-ribut kasus “papa minta saham” pada akhir 2015, dia tak lantas
tamat. Bahkan bisa merebut kembali kursi tertinggi DPR dari tangan kolega
yang menggantikannya waktu itu. Kata orang, dialah yang bisa mengubah hal
yang mustahil menjadi tidak mustahil.
Lawan KPK ini juga Ketua Umum
Partai Golkar sejak November 2016. Golkar adalah partai paling tua dan
berpengalaman di gelanggang politik, yang selama lebih dari tiga dasawarsa
menjadi mesin politik rezim Orde Baru. Walaupun patronnya, yaitu Presiden
Soeharto, tumbang dalam gelombang reformasi tahun 1998, Golkar tetap survive
menikmati hasil reformasi. Pada Pemilu 2014 Golkar menjadi pemenang kedua di
bawah PDI-P. Partai-partai yang lahir dari rahim reformasi pun dikalahkan.
Dan, ironinya Golkar yang mendapat kursi pimpinan DPR, yang seharusnya jatah
PDI-P. Golkar memang jeli. Tak lama langsung merapat ke istana, bahkan dengan
menyatakan dukungan pada Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Ketangguhan lawan KPK ini
adalah sosok dengan dukungan kapital besar. Sebab, dia adalah pengusaha yang
malang melintang sejak Orde Baru berkuasa. Jadi, lawan KPK yang satu ini
memang orang kuat. Modal politik dan modal ekonomi memang luar biasa,
pengaruhnya kuat, jaringannya juga luas. Segala jurus pun dikerahkan untuk
melawan KPK. Mulai melaporkan pimpinan KPK ke polisi, berlindung dengan izin
presiden untuk memeriksa anggota DPR, hingga menguji materi UU KPK ke
Mahkamah Konstitusi. Sekarang dia mangkir dari pemeriksaan KPK sebagai
tersangka KTP elektronik yang ditetapkan untuk kedua kalinya.
Ruang publik akhir-akhir ini
memang didominasi berita tentang Setya Novanto, sang politikus sakti itu. Di
media sosial viral tagar “the power of Setnov”. Sekarang muncul juga tuntutan
hak imunitas. Namun, di negeri ini tak ada yang kebal hukum. Semua orang
berkedudukan sama di mata hukum (equality before the law). Jadi, kehebatan
seorang pejabat bukanlah terletak pada besarnya kekuasaan yang digenggam,
bukan tinggi jabatan yang dipegang, bukan kekuatan modal yang dimilikinya.
Sederhana saja, seorang politikus yang hebat justru memberi contoh kepatuhan
pada hukum. Bukan berputar-putar dengan 1.001 alasan. Silakan adu kebenaran
di pengadilan. Jadi, tak perlu adu kuat. Sebab, negara ini adalah negara
hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Apalagi, kali ini
KPK tampaknya akan lebih keras. Dan, semalam KPK sudah mendatangi rumah Setya
Novanto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar