Era
Baru Arab Saudi
Broto Wardoyo ; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional, UI
|
KOMPAS,
11 November
2017
Gejolak domestik di Arab Saudi
jadi semakin kentara setelah penangkapan beberapa tokoh penting di kerajaan
tersebut dengan alasan indikasi korupsi. Gejolak ini menarik didiskusikan
mengingat posisi Arab Saudi yang sedemikian sentral di kawasan Timur Tengah,
di dunia Islam, maupun secara global, terutama dalam politik minyak dan gas.
Ada empat faktor yang patut
dipertimbangkan menyikapi gejolak tersebut. Pertama, gejolak tersebut hadir
ketika situasi ekonomi Arab Saudi sedang terguncang. Dalam beberapa tahun
terakhir, berbagai indikator menunjukkan adanya penurunan performa ekonomi
Arab Saudi.
Beberapa indikator mengalami
penurunan yang kian tajam, seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB)
dari 4,1 persen di 2015 menjadi 1,7 persen di 2016 dan minus 0,5 persen di
2017. Pendapatan per kapita dari kisaran 25.000-an dollar AS di 2012 menjadi
20.000-an dollar AS di 2016. Sebaliknya, beberapa indikator lain menunjukkan
tren positif meski masih menunjukkan angka negatif, seperti keseimbangan
anggaran (defisit 14,8 persen dari PDB di 2015 menjadi defisit 7,3 persen dari
PDB di 2017).
Ekonomi migas
Salah satu sektor yang memiliki
kontribusi signifikan pada anggaran dan performa ekonomi secara keseluruhan
di Arab Saudi adalah pemasukan dari migas. Untuk memangkas keter- gantungan
pada sektor migas, Pemerintah Arab Saudi telah mengeluarkan Visi 2030 yang
mengarahkan pada pengembangan ekonomi nonmigas.
Rencana menggeser pilar ekonomi
dari sektor migas ke nonmigas sebenarnya bukan barang baru di kawasan Teluk.
Beberapa keemiran di kawasan ini telah memulai langkah serupa sejak beberapa
dekade lalu. Qatar, misalnya, menjadi salah satu contoh bagaimana
liberalisasi ekonomi yang dikelola negara tersebut mampu menjadikan dirinya
”Barat di Timur Tengah”.
Hal kedua adalah kebutuhan
untuk meredefinisi justifikasi kekuasaan yang dibangun oleh kerajaan sejak
pembentukannya sebagai sebuah negara modern. Upaya keemiran-keemiran di Teluk
untuk melakukan modernisasi ataupun liberalisasi tak akan pernah sama dengan
pilihan serupa yang diambil Arab Saudi.
Keemiran-keemiran di Teluk tak membangun
legitimasi kekuasaannya dengan menyandarkan diri pada justifikasi religius
seperti Arab Saudi. Dalam konteks ini, upaya memunculkan Arab Saudi yang
lebih terbuka secara ekonomi dan politik dengan menggunakan istilah moderat,
seperti didengungkan putra mahkota beberapa waktu lalu, menjadi masuk akal.
Hal ini berpotensi mengganggu relasi antara kerajaan dengan kelompok ulama
yang selama ini menjadi pilar kekuasaan Arab Saudi.
Berpijak pada apa yang pernah
terjadi di Kerajaan Arab Saudi, kelompok ulama yang menjadi pilar kerajaan,
yang selama ini lebih dikenal sebagai Wahabi, telah terbukti mampu untuk
berdamai dengan modernitas dengan tetap mempertahankan interpretasi religius
yang sering dicap konservatif. Salah satu bukti nyata adalah kemampuan mereka
membangun lembaga-lembaga modern, termasuk pendidikan di Arab Saudi dengan
memanfaatkan pendapatan migas. Bahkan, mereka mampu menyebarkan interpretasi
religius melampaui batas negara modern.
Hanya saja, ada hal berbeda
dalam adaptasi di masa lalu dengan konteks terkini. Pertama, isu modernitas
yang berkembang saat ini jelas berbeda jika dibandingkan isu modernitas di
periode sebelumnya. Kedua, sebagai implikasi, adaptasi di masa lalu tidak
benar-benar mengubah pola relasi antara kerajaan dengan ulama, sedangkan saat
ini bisa saja muncul redefinisi relasi di antara keduanya.
Hal ketiga adalah situasi
regional di Timur Tengah itu sendiri. Meski status Arab Saudi sebagai negara
kunci di dunia Arab dan dunia Islam akan sulit digoyahkan, keterlibatan mereka
dalam berbagai problem di kawasan akan memengaruhi kapasitas, terutama
ekonomi.
Arab Saudi memiliki beban di
beberapa arena konflik. Selain di Irak dan Suriah, komitmen Arab Saudi
terhadap sengketa internal di Yaman akan menjadi beban. Selain itu, Arab
Saudi juga terlibat dalam sengketa dengan Qatar yang tentu akan memperumit
kalkulasi politik domestiknya.
Perubahan konstelasi
Terakhir, hal keempat, meski
gejolak yang saat ini muncul dibungkus jargon reformasi maupun penegakan
hukum, tak bisa dinafikan adanya perubahan konstelasi kekuatan dalam politik
Arab Saudi yang muncul sejak era Raja Salman. Beberapa analis telah lama
memberikan sinyal akan adanya proses akumulasi kekuasaan sejak mangkatnya
Raja Abdullah. Proses diawali dengan pergeseran otoritas ekonomi, termasuk
migas, yang kemudian berlanjut dengan pergeseran otoritas keamanan yang
ditandai pergantian putra mahkota.
Pergeseran itu menjadi sumber
dari gejolak yang berkembang saat ini. Secara tradisional, Arab Saudi
membangun mekanisme kepemimpinan secara lambat. Calon raja biasanya menjalani
proses inisiasi yang panjang dalam posisi kunci tertentu. Pola ini membuat
akumulasi kekuasaan calon raja berlangsung pelan dan tanpa banyak gejolak.
Model munculnya pendatang baru
yang melesat dengan cepat, seperti yang terjadi pada putra mahkota saat ini
tidaklah lazim. Model regenerasi baru ini yang dipercaya menjadi sumber
gejolak yang saat ini berlangsung.
Tiga dampak
Dengan mempertimbangkan empat
faktor tersebut, ada tiga dampak yang patut disikapi ke depannya. Pertama,
seberapa lama dan sejauh mana guncangan akibat gejolak ini akan berlangsung.
Kekuatan politik putra mahkota yang cenderung semakin mapan pascapergeseran
kekuatan ekonomi dan keamanan juga didukung oleh sikap permisif negara-negara
aliansi utama Arab Saudi. Kemampuan putra mahkota membangun aliansi dengan
pemerintahan Donald Trump ditandai dengan keberhasilannya melakukan
pendekatan personal dengan menantu Trump yang secara diam-diam berkunjung ke
Arab Saudi.
Selain AS, reaksi negara-negara
kawasan juga akan menentukan guncangan tersebut. Dalam titik ini, sikap Iran
akan menentukan perkembangan ke depannya. Resistensi terhadap perubahan sikap
politik Arab Saudi akan terlihat salah satunya dalam front Qatar. Sengketa
antara Arab Saudi dengan Qatar akan memperlihatkan kapasitas regional putra
mahkota. Apalagi, pilihan ke depan yang diambil Arab Saudi memperlihatkan
niatan untuk mengimbangi peran yang selama ini diambil Qatar.
Dampak ketiga yang juga membawa
dampak pada Indonesia adalah perkembangan apa yang sering disebut ”Wahabi
internasional”. Redefinisi relasi kerajaan dengan kelompok ulama akan membawa
dampak pada perkembangan kelompok yang kedua secara internasional. Seperti
apa adaptasi yang akan dibangun kelompok-kelompok ini di berbagai negara,
termasuk di Indonesia, akan turut dipengaruhi gejolak yang saat ini terjadi.
Semua proses adaptasi akan
menghasilkan riak-riak. Apa pun hasil dari gejolak di Arab Saudi ini tidak
akan mengubah posisinya sebagai kekuatan utama di Timur Tengah, di dunia
Islam, dan dalam pergaulan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar