Polemik
Muka Baru di Rupiah
M Yuanda Zara ; Sejarawan,
PhD di Universiteit van Amsterdam Netherlands
|
JAWA POS, 04 Januari
2017
UANG
baru yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) memantik setidaknya tiga polemik.
Pertama, nama besar yang tidak muncul. Kedua, kadar kepahlawanan nama yang
dipilih. Ketiga, pakaian Tjut Meutia. Bagaimanakah kita sebaiknya membaca
polemik ini?
Masuk
tidaknya nama seorang pahlawan ke dalam mata uang tidak hanya soal
representasi kedaerahan atau kelompok, tapi juga soal keputusan politik dan
preferensi pemerintah terhadap pahlawan tertentu. Soekarno pernah tampil
sendiri di uang kertas. Namun, di masa Orde Baru, pemerintah memutuskan bahwa
Soekarno tidak boleh sendiri, dan harus ditemani Hatta. Tujuannya: meredam karisma
Soekarno.
Dalam
uang baru, tampak jelas bahwa pemerintah memberi penekanan besar pada arti
penting aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang loyal dalam
mengelola negara dan tidak punya citra kontroversial. Dari 12 pahlawan,
mayoritas merepresentasikan mereka yang berasosiasi dengan negara dan
pemerintahan, mulai presiden, Wapres, perdana menteri, menteri, gubernur,
tentara, dan anggota Volksraad. Aktor non-negara tidak terlalu banyak
mendapat tempat. Maka, di masa depan diperlukan partisipasi publik agar
pahlawan yang populer ataupun yang bergerak di luar negara lebih mendapat
tempat.
Yang
juga ditekankan pemerintah adalah apresiasi terhadap pahlawan dari daerah,
kelompok, suku, dan agama yang kurang direpresentasikan. Misalnya Aceh, NTT,
Papua, dan Kalimantan. Polemik tentang masuknya pahlawan dari Indonesia Timur
muncul lantaran generalisasi menyesatkan bahwa semua orang di sana di masa
lalu bekerja sama dengan Belanda. Maka, pemuatan para pahlawan ini seharusnya
dilihat sebagai upaya menunjukkan tidak semua orang Indonesia Timur
berkolaborasi dengan Belanda. Para pahlawan ini adalah Republiken, sama
seperti Soekarno-Hatta.
Sayangnya,
niat tersebut tidak ditunjang oleh edukasi publik yang memadai. Sejarawan,
yang punya akses ke berbagai kajian akademik tentang para pahlawan tersebut,
sepakat bahwa semua pahlawan tersebut berperan signifikan dalam pembentukan
negara-bangsa Indonesia. Tapi, masyarakat awam? Publikasi BI minim sekali
mengulas para pahlawan tersebut. Ada banyak orang NTT tahu dengan Bung Hatta
yang urang awak di nominal Rp 100.000 karena sudah melihat fotonya sejak SD.
Tapi, sedikit saja orang Sumbar yang tahu tentang Herman Johannes, putra NTT.
Ada
pelajaran yang bisa dipetik dari kasus yang mirip di AS. AS gempar karena
bank sentralnya untuk kali pertama akan menampilkan wajah budak, kulit hitam,
perempuan pula di pecahan 20 dolar pada 2030. Muka Harriet Tubman, seorang
budak yang lalu menjadi aktivis antibudak, akan menggantikan muka Andrew
Jackson, presiden AS yang juga seorang pemilik budak. Tapi, edukasi tentang
peranannya dalam membebaskan para budak sudah diekspos sejak sekarang, tak
hanya oleh bank sentral, tapi terutama sekali oleh organisasi-organisasi
sipil serta individu.
Tersedia
banyak waktu sebelum uangnya diluncurkan untuk memberi pemahaman kepada
publik tentang arti penting Tubman dalam sejarah AS.
Perihal
kostum, BI merujuk pada gambar di Kemensos. Namun, masalahnya, kapan pakaian
sang pahlawan, yang berpakaian berbeda dalam situasi berbeda, dianggap paling
representatif? Saat proklamasi, pahlawan proklamator Mohammad Hatta tidak
berkopiah, tapi ia digambarkan berkopiah dalam uang Rp 100.000.
Wajar
publik mempertanyakan mengapa Tjut Meutia tidak berpenutup kepala karena ia
dikenal sangat saleh. Atau, mungkin kita yang kurang banyak mencari tahu?
Sudahkah arsip perang di Den Haag atau Museum KNIL (dan Marechausée, pihak
terakhir yang berhadapan dengan Tjut Meutia) di Arnhem ditelusuri?
Dari
pengamatan saya atas berbagai gambar dan buku yang tersedia tentangnya (Yakub,
1979 [Yakub mewawancarai Teuku Raja Sabi, anak Tjut Meutia]; Talsya, 1982;
Elvire, 1986; Armand, 1993; Ahmad, et.al., 1993), adakalanya Tjut Meutia
bersanggul ala bangsawan Aceh dan ada masanya pula ia berbaju kurung, yang
tentunya dipadankan dengan tudung kepala.
Manakala
satu di antaranya dijadikan pilihan, publik jangan hanya diberi bentuk jadi,
tapi juga perlu diberi tahu perincian metode penelurusan yang dipakai dan
sejauh mana penelurusan tersebut dilakukan hingga akhirnya keputusan diambil.
Maka, apa pun desain finalnya, mereka akan lebih memakluminya.
Era
medsos membuat setiap orang bisa secara langsung mengemukakan pendapatnya.
Sejauh masih konstruktif, ini harusnya dipandang sebagai kegairahan
masyarakat untuk ingin tahu. Yang perlu dilakukan untuk merespons ini adalah
memperbanyak kajian kritis maupun edukasi tentang nilai keteladanan para
pahlawan baru dengan berbagai medium, dan tidak hanya diinisiasi oleh negara.
Partisipasi publik digerakkan untuk ambil bagian lebih banyak dalam mengenal
sejarahnya sendiri, sehingga yang muncul adalah penghargaan.
Akhirnya,
selain mempertimbangkan nama besar yang kurang terakomodasi dalam memori
bangsa, seperti Sjahrir, A.H. Nasution, atau KH Ahmad Dahlan, untuk uang di
masa depan, yang kini juga perlu dipikirkan adalah bagaimana agar makam Tjut
Meutia, yang kabarnya tak terurus, bisa lebih diperhatikan. Atau, bagaimana
agar lebih banyak tulisan yang muncul tentang Frans Kaisiepo. Dan bagaimana
supaya lahir Herman Johannes baru dalam dunia penelitian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar