Pemberdayaan
Masyarakat Madani dan Demokrasi
Romanus Ndau Lendong ; Pimpinan
Pusat Kolektif Kosgoro 1957, Jakarta
|
KOMPAS, 02 Januari
2017
Mobilisasi
massa, baik demi membela agama maupun keutuhan bangsa, beberapa waktu lalu
menyingkap persoalan serius tentang masa depan demokrasi di negeri ini. Kalkulasi
rasional, supremasi hukum, norma-norma sosial, dan kelembagaan politik gagap
dan gagal berhadapan dengan tekanan massa. Pada saat bersamaan, polarisasi
kultural dan ideologis semakin meluas. Tanpa antisipasi, demokrasi sebagai
konsensus bangsa menjadi taruhannya.
Kekhawatiran
beralasan karena civil society sebagai penopang penting demokrasi belum
berfungsi. Merujuk pengalaman negara-negara maju, civil society merupakan
kekuatan pokok yang berperan untuk mencegah totalisasi kekuasaan negara di
satu sisi dan memberadabkan masyarakat di sisi lain. Dengan itu, civil
society mampu mencegah berkembanganya dua musuh utama demokrasi, yakni
totaliterisme negara dan anarkisme massa.
Melimpah, tetapi terbelah
Alexis
de Tocqueville memahami civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan
(self-generating), keswadayaan (self-supporting), kemandirian, dan
keterikatan dengan norma-norma serta nilai-nilai hukum (Hikam, 1992, dan
Culla, 2005). Nilai-nilai itu merupakan prasyarat penting demokrasi.
Mengacu
pada pandangan tersebut, civil society mencakup semua organisasi masyarakat
sipil (OMS) yang visi dasarnya semata-mata untuk mencerdaskan dan
memberdayakan masyarakat. Organisasi dimaksud meliputi LSM, ormas sosial dan
keagamaan, paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan, media massa, dan
sebagainya.
Secara
kuantitatif, OMS terus tumbuh dan melimpah, terutama setelah kejatuhan Orde
Baru. Liberalisasi politik merupakan ranah subur bagi tumbuhnya OMS. Berbagai
sumber mencatat bahwa jumlah OMS saat ini 139.957 buah. Jumlah itu tersebar
di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri,
serta Kementerian Hukum dan HAM. Jika diakumulasi dengan yang belum terdaftar
di lembaga-lembaga pemerintah, jumlahnya tentu lebih fantastis lagi.
Sekiranya pendirian berbagai OMS murni untuk memajukan masyarakat, maka
kehadirannya akan menjadi kekuatan yang menentukan bagi mekarnya demokrasi.
Wadah- wadah masyarakat untuk berhimpun dan berkembang tersedia di mana-mana.
Negara juga mendapat kemudahan menemukan mitra dalam menjalankan
fungsi-fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan.
Akan
tetapi, persis di sinilah persoalannya. Banyak OMS didirikan tanpa visi yang
jelas, persiapan matang, dan melibatkan aktor yang benar-benar kompeten.
Tidak sedikit OMS yang keberadaannya hanya indah di atas kertas karena memang
tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan berbagai aktivitas.
Yang paling menggelisahkan, banyak OMS didirikan semata-mata untuk
menganalisasi hasrat politik dan ekonomi kelompok tertentu.
Fenomena
serupa dialami media massa dan kelompok cendekiawan. Beberapa media tak lagi
fokus pada aspek informasi dan edukasi, tetapi juga menyediakan diri sebagai
alat untuk menekan lawan politik. Penggiringan berita dan opini sudah menjadi
lazim. Begitu pula kelompok cendekiawan, terutama lembaga survei dan
pendidikan tinggi. Rasionalitas dan obyektivitas survei dikorbankan demi
kepentingan sesaat. Sama halnya, kewibawaan kelompok cendekiawan tergerus
akibat praktik korupsi di dunia pendidikan.
Beragam
persoalan itu menyulitkan OMS untuk berdialog, saling belajar, menyatukan
visi, dan menyinergikan program. Sebaliknya, berbagai OMS terus berada dalam
iklim persaingan kurang sehat, saling mencurigai, membenci dan mengancam.
Ujungnya, OMS terpecah belah dan sulit dikoordinasikan akibat rendahnya rasa
saling percaya ataupun saling membutuhkan.
Pembenahan mendasar
Mengingat
pentingnya OMS bagi demokrasi, pembenahan atasnya merupakan kebutuhan
mendesak. Langkah ini penting untuk memberdayakan civil society agar terbiasa
berpikir kritis dan otonom sehingga mampu menyikapi berbagai persoalan secara
rasional dan bijaksana.
Di
atas segalanya, pembenahan tersebut dibutuhkan agar OMS tidak lagi dijadikan
obyek mobilisasi kelompok tertentu untuk kepentingan politik sempit berjangka
pendek.
Setidaknya
ada dua strategi pembenahan civil society, yakni secara internal dan
eksternal. Secara internal, civil society perlu melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap kiprah dan kinerjanya, terutama pada era reformasi.
Selain
untuk melihat kekuatan dan prestasi civil society dalam kerangka demokrasi,
evaluasi tersebut juga berperan untuk memetakan persoalan-persoalan yang
membuatnya kurang berdaya guna memajukan demokrasi. Pemetaan tersebut menjadi
dasar bagi civil society untuk menyusun strategi dan agenda bersama demi
perbaikan pada masa mendatang.
Langkah antisipatif
Secara
eksternal, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipatif, terutama
terhadap OMS yang secara ideologis dan praksis terbukti bertindak melawan
kesantunan sosial dan mengembangkan mekanisme kekerasan dalam menyikapi
berbagai persoalan.
Pertama,
penertiban ideologi OMS. Pancasila sudah menjadi konsensus nasional untuk
menjadi ideologi bangsa. OMS yang terbukti menganut ideologi lain harus
dinyatakan terlarang dan dibubarkan. Untuk itu, revisi UU No 17/2013 tentang
Ormas, terutama pengaturan soal pembubaran yang terkesan bertele-tele,
mendesak dilakukan.
Kedua,
perketat syarat pendirian OMS. Perlu dikaji mendalam ideologi, visi, program,
dan aktor-aktor yang terlibat. Pemenuhan syarat-syarat tersebut mutlak perlu
agar kehadiran OMS benar-benar didayagunakan untuk kemajuan demokrasi
sekaligus mencegah tindakan- tindakan yang bertentangan dengan semangat
kebangsaan.
Ketiga,
perketat pembinaan dan pengawasan. Pemerintah perlu mengintensifkan
agenda-agenda pembinaan terhadap berbagai OMS agar benar-benar bisa
diandalkan sebagai kekuatan pemberdayaan civil society di Indonesia. Secara
simultan, pemerintah perlu terus mengawasi OMS sebagai skenario untuk membuat
demokrasi semakin terkonsolidasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar