Menyongsong
Tahun Penuh Harapan
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS, 03 Januari
2017
Berbagai
peristiwa politik mondial, regional, dan nasional, apabila dinarasikan, untuk
menggambarkan keseluruhan kejadian tahun 2016 adalah tahun malapetaka politik
(annus horribilis). Berbagai macam
ungkapan satir dan kecemasan untuk mengekspresikan tragedi politik tahun
lalu. Misalnya, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika
Serikat, dilakukan dengan memelesetkan lagu sangat populer dari The Bee Gees
tahun 1960-an bait pertama, ”I started
a joke, which started the whole world crying” menjadi ”Trump started a joke
which started the whole world crying” (Julia Suryakusuma, The Jakarta Post, 16 November 2016).
Sementara
itu, pada tataran domestik, kegalauan politik Indonesia tak hanya dirasakan
warga Indonesia. Kecemasan juga merambat ke tataran mondial sebagaimana
diungkapkan dalam kolom Banyan, The Politics of Taking Offence. Dalam menutup
kolomnya, majalah bergengsi yang sudah terbit sejak 1843 itu mengkhawatirkan
pemilihan gubernur DKI Jakarta mempunyai risiko konflik komunal berdarah,
seperti terjadi dua dekade sebelumnya. Maksudnya, peristiwa Mei 1998 (The
Economist, 24 Desember 2016).
Namun,
di balik pekatnya langit politik Indonesia, sebenarnya memancarkan juga sinar
terang yang tidak hanya mampu mengusir kegelapan, tetapi bahkan dapat
menjadikan tahun 2017 sebagai annus mirabilis. Tahun yang penuh harapan,
sukacita, dan berkah yang melimpah.
Mengapa?
Karena, justru dalam kegelapan bangsa Indonesia dapat melihat dengan terang
benderang rajutan silang-menyilang realitas politik yang menjadi tantangan
untuk menyusun agenda prioritas menyongsong kejayaan bangsa. Kegelapan telah
membongkar realitas politik yang mencerahkan.
Pencerahan
paling penting adalah menyadarkan bangsa Indonesia tentang merebaknya
fenomena neonasionalisme atau nasionalisme eksklusif yang mengancam proses
demokrasi. Hal itu karena nasionalisme tersebut merupakan adonan berbagai
macam unsur suku, agama, ras, sejarah, budaya, kepercayaan, mitos kedigdayaan
nenek moyang, dan lain sebagainya.
Gejala
tersebut perlu dicermati dinamikanya karena berdasarkan studi yang dilakukan
Jack Snyder (Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan
Konflik Nasionalis, 2003), nasionalisme eksklusif seperti itu dapat dijadikan
senjata para elite politik yang terganggu kenyamanannya karena perkembangan
demokrasi. Mereka yang terancam kepentingannya, mengatasnamakan rakyat,
mengobarkan semangat nasionalisme sempit untuk menggalang kekuatan massa dan
melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil.
Keberhasilan
mereka juga didukung oleh kekuatan modal yang dapat mendominasi media.
Akibatnya, bursa gagasan sarat kepentingan elite karena hanya dipasok oleh
kepentingan subyektif. Wacana publik yang tidak merawat kewarasan, diskursus
publik justru akan melemahkan kekuatan masyarakat sipil (civil society).
Elite manfaatkan populisme
Para
elite politik menggiring rakyat untuk loyal kepada institusi primordial yang
mengakibatkan segregasi sosial, bukan kepada nilai-nilai dan lembaga politik
yang inklusif yang menjanjikan kemakmuran, kesetaraan, serta keadilan
bersama. Beberapa negara yang terancam proses demokrasinya karena mobilisasi
nasionalisme eksklusif antara lain di negara-negara Balkan (Romania,
Bulgaria, dan Albania), Kaukasus (Armenia, Georgia, dan Azerbaijan), serta
Baltik (Estonia, Latvia, dan Lituania).
Dalam
konteks kekinian, fenomena tersebut menjadi sangat signifikan pengaruhnya
karena munculnya semangat populisme yang antara lain disebabkan merosotnya
kepercayaan publik terhadap manfaat globalisasi serta pasar bebas.
Lembaga-lembaga politik, terutama partai politik sebagai lembaga yang
menghubungkan rakyat dengan negara, dianggap mubazir karena kebijakan negara
dirasakan kurang menyentuh rakyat bawah dan pinggiran. Fenomena populisme
menjadi semakin mudah dimanfaatkan oleh elite politik karena kecanggihan
teknologi digital yang antara lain melahirkan media sosial.
Pencermatan
tersebut tampaknya cocok untuk meneropong lanskap politik Indonesia 2016
serta proyeksi ke tahun berikutnya. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
mengalami ujian berat menghadapi gerakan massa yang terkontaminasi oleh
semangat neonasionalisme yang eksklusif. Bukan rahasia lagi konsistensi
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menerapkan prinsip- prinsip pengelolaan
negara yang baik, terutama dalam memberantas korupsi, telah menggoyahkan
kenyamanan dan kemapanan elite politik tertentu menikmati hasil korupsi.
Mereka antara lain mengobarkan spirit eksklusif serta mempergunakan ”kartu
komunalisme” untuk membangun basis massa guna mempertahankan imperium
politiknya.
Namun,
jurus tersebut tidak mempan. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla didera
berbagai isu bohong dan ujaran kebencian, tetapi survei yang dilakukan SMRC
(22-28 November 2016) menegaskan bahwa persepsi publik terhadap arah
perkembangan bangsa telah benar. Presiden mempunyai tingkat legitimasi
politik yang tinggi, kinerja positif, rakyat percaya dan menaruh harapan
besar kepada pemerintahan sekarang ini. Karena itu, meski kinerjanya belum
memuaskan, rakyat masih memberikan kepercayaan.
Maka,
tahun 2017 harus dirayakan sebagai annus mirabilis, tahun penuh harapan.
Karena, pemerintah akan terus bekerja keras, hukum ditegakkan, silaturahim antartokoh
masyarakat, terutama dengan para ulama, harus dilanjutkan. Bangsa Indonesia
harus percaya diri karena sekarang ini dipimpin oleh presiden dan wakil
presiden yang otentik dan bekerja untuk rakyat, bukan sosok yang santun dan
penuh basa-basi sekadar membungkus kepalsuan demi kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar