Mengapa
RI Kalah dari Thailand?
Suyoto Rais ; Ketua
Umum Formasi-G (Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global); Anggota Dewan Pakar IABIE (Ikatan Alumni
Program Habibie)
|
JAWA POS, 02 Januari
2017
KEKALAHAN
Indonesia dalam ajang Piala AFF 2016 dari Thailand masih terasa menyakitkan.
Bahkan membuat insan Indonesia putus asa karena selama ini kita selalu
dikalahkan Thailand. Thailand mampu lima kali menjadi juara AFF, sedangkan
kita hanya runner-up. Kalau kita amati, kekalahan kita dari Thailand di
kancah global tidak hanya terjadi di lapangan sepak bola.
Cobalah
kita lihat beberapa perbandingan dua negara ini. Dari 11 indikasi
perbandingan yang bisa dikaitkan dengan tingkat daya saing ini, angka
Indonesia hanya lebih besar di lima indikasi pertama, selebihnya milik
Thailand di indikasi yang justru menentukan. Angka produksi dan penjualan
mobil, misalnya. Pasarnya lebih besar Indonesia, tetapi kita kalah dalam
jumlah produksi. Artinya, Thailand berorientasi ekspor, sedangkan Indonesia lebih
hanya memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Kalah Gesit Menarik
Investor
Lebih-lebih
dalam hal kegesitan menarik investor asing, banyak indikasi yang membuktikan
ketertinggalan kita dari Negeri Gajah itu. Kita lihat Jepang yang merupakan
tujuan ekspor utama dan investor terbanyak di kedua negara tersebut. Sampai
dengan dekade 90-an, Indonesia masih di atas Thailand. Tetapi, sejak 2000-an
kita telah disalip dan cenderung melebar.
Hal
yang sama terjadi pada angka ekspor ke Jepang. Dulu Indonesia berada jauh di
atas Thailand dan sampai 2010 kita masih masuk sepuluh negara importer
terbesar di Jepang. Tetapi, pada tahun terakhir 2015, kita sudah tidak berada
di sepuluh besar, sedangkan Thailand masuk di nomor 8. Lagi-lagi kita disalip
Thailand. Karena itu, kalau melihat angka ekspor-impor bilateral kedua
negara, sangat wajar kalau angka surplus menjadi milik Thailand. Faktor
Kekalahan dan Harapan Berdasar data-data, sebenarnya Indonesia pernah menang
dari Thailand hingga 1990-an. Tetapi, dalam perjalanan waktu kemudian, mereka
telah melampaui kita.
Tentu
masalahnya sangat kompleks dan tidak mudah disimpulkan.
Menurut
penulis, minimal ada tiga faktor kekalahan kita. Pertama, kita lengah dan
tidak bisa memahami kekuatan lawan-lawan kita. Gesekan internal juga
meningkat pasca dibukanya keran pendirian partai-partai baru dengan bebas dan
kelompokkelompok yang notabene selalu memprioritaskan kelompok sendiri.
Buat
orang-orang Indonesia umumnya, mungkin hal itu dianggap dinamika yang wajar
karena iklim yang lebih bebas dan demokratis. Tetapi, bagi para pesaing kita,
itu adalah kesempatan emas untuk menyalip di tikungan. Pemerintah pasti
selalu berkata sudah berusaha maksimal dan kita berkembang baik. Namun, kalau
mau melihat lebih objektif, memang benar kita sudah berjalan ke depan, tetapi
para tetangga kita sudah berlari.
Faktor
kedua, kita kekurangan negosiator/promotor yang mampu ’’menjual’’ Indonesia
di kancah global. Para diplomat dan ujung tombak promosi produk-produk
Indonesia di luar negeri umumnya dipenuhi mereka yang berpengalaman sebagai
administrator dan birokrator. Sedikit sekali yang berpengalaman sebagai
profesional bisnis yang tahu apa yang harus dilakukan terhadap para calon
pembeli.
Dalam
contoh di Jepang, Thailand punya empat kantor cabang Thai Trade Center Japan
(http://japan. thaitrade.com/), kepanjangan tangan Ministry of Commerce of
Royal Thai di Jepang. Sementara itu, Indonesia hanya punya satu ITPC
(Indonesia Trade Promotion Center), kepanjangan tangan Kemendag di Osaka
(http:itpc.or.jp).
Kalau
mau tata cara promosi dan kinerja di dalamnya dibandingkan, kekalahan kita
semakin terlihat jelas. Misalnya, lihat dua website itu. Tanpa mengerti
bahasa Jepang pun, Anda segera tahu bahwa isi dan cara promosi Thailand lebih
mengena serta diminati publik Jepang.
Ketiga,
terlalu banyaknya trader atau broker yang tidak memberikan nilai tambah pada
produk yang dijual. Itu terjadi di mana-mana dan kadang melibatkan orang
dalam yang untouchable sehingga
rantai produk sampai ke pemakai akhir makin panjang dan harganya makin mahal.
Bahkan, gas yang di salah satu produsen terkemuka dunia ini bisa lebih mahal
jika dibandingkan dengan negara lain yang impor dari kita (detik.com, 21
Desember 2016). Hal itu masih ditambah biaya logistik di Indonesia yang lebih
mahal. Karena itu, tidak heran kalau para importer dan buyer lebih senang
membeli barang-barang dari Thailand daripada Indonesia. Tanpa bermaksud
mendiskreditkan para diplomat dan promotor Indonesia di luar negeri, harus diakui,
kita sudah kalah banyak dari Thailand.
Selama
seperempat abad berada di luar Indonesia, saya tahu banyak apa saja kekalahan
kita. Saya pun ingin ikut memberikan usul solusi penyelesaiannya. Namun,
ketika saya menawarkan untuk duduk bersama mendiskusikannya, hampir semua
pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah, menolak. Mereka tidak biasa
menerima kritik. Itu alasan utamanya. Kalau kita melihat hasil saat ini, saya
merasa pasti ada sesuatu yang perlu dikritisi sambal mencari solusinya.
Tetapi, saya masih punya harapan. Ke depan,
suatu saat Indonesia mampu kembali berjaya di ASEAN, minimal kembali
mengalahkan Thailand. Saya yakin orang-orang di pemerintahan dan para pejabat
nanti, pelan tapi pasti, menyadari atau mau menerima masukan mengenai
kelemahan diri sendiri agar bisa memperbaikinya. Kalau tidak bisa berubah,
waktulah yang akan mengubah orang-orang itu. Musuh kita bukanlah sesama insan
Indonesia, tetapi globalisasi dunia yang harus disikapi dengan benar agar
menjadi anugerah, tidak malah bikin gerah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar