Melupakan
Pertanian Skala Kecil
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
KORAN SINDO, 17 Januari
2017
Indonesia
memiliki kekuatan ekonomi domestik luar biasa, salah satunya kekuatan
pertanian kecil. Sekarang kekuatan ini cenderung dilupakan. Ada pelajaran
menarik soal ini di masa lalu.
Ketika
harga cabai naik tak terkendali tahun 1995/1996, dalam suatu sidang kabinet,
Presiden Soeharto membawa tanaman cabai dalam pot yang sedang berbuah ranum
warna-warni, ada hijau muda, merah, dan ungu. Menteri dari luar Jawa
terheran-heran, menteri dari Jawa merasa akan ada marah besar dari Presiden.
Ternyata
Presiden menjelaskan cara bertanam cabai dalam pot. Mulai menyiapkan pot,
tanah, bibit, pupuk, hingga cara menanam dan memeliharanya. Presiden Soeharto
menganjurkan ibu-ibu rumah tangga di perkotaan diajari menanam cabai dalam
pot. Saat ada gejolak harga cabai, ibu-ibu tidak ikut berebut di pasar.
Itulah
cara Presiden Soeharto “marah”. Ia memberikan solusi dengan sasaran rumah
tangga perkotaan. Penanaman cabai dalam pot jadi program Dharma Wanita, suatu
organisasi istri PNS. Kantor Menteri Negara Pangan mencetak brosur penanaman
cabai dalam pot dan membuat pelatihan.
Lalu,
Bulog melakukan operasi pasar cabai di Pasar Induk Kramatjati. Meskipun tidak
ada yang menawar cabai—karena pasar sudah dikuasai pedagang tertentu—Bulog
terus bekerja sama dengan petani untuk menanam cabai agar mengetahui
liku-liku penanaman dan perdagangan cabai.
Kementerian
Pertanian mengatur pertanaman cabai antardaerah supaya tidak ada kekosongan
pasokan antarwaktu. BPS melakukan analisis untuk melihat gejolak harga
antarwaktu dan antardaerah dengan seri waktu yang panjang. Cerita ini
dituturkan Sekretaris Menteri Negara Pangan 1993-1999 Sapuan Gafar (2013).
Moral
penting dari cerita ini adalah suatu gejolak harga pangan, apakah cabai dan
bawang merah seperti saat ini atau komoditas pangan lainnya harus ditangani
serius antarkementerian, melibatkan daerah, perlu ada terobosan penyelesaian
jangka pendek dan jangka panjang, dan dilakukan secara konsisten.
Tidak
seperti pemadam kebakaran. Pesannya, kekuatan pertanian kecil (hanya menanam
cabai dalam pot) dapat mengurangi gejolak harga. Jadi sebenarnya pertanian
kecil itu tidak hanya indah, tetapi juga hebat. Di tingkat dunia, peran
pertanian skala kecil diakui resmi banyak pihak.
FAO
menjelaskan, pertanian keluarga (baca: pertanian kecil) berperan amat penting
dalam memberantas kelaparan dan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi,
meningkatkan mata pencarian, pengelolaan sumber daya alam, melindungi
lingkungan, dan mencapai pembangunan berkelanjutan, khususnya di perdesaan.
Selama
ini peran itu diabaikan. Pertama, sampai saat ini 75% warga miskin adalah
petani kecil. Porsi petani kecil di Asia mencapai 85%, di Indonesia mencapai
55%. Menggenjot investasi pada pertanian skala kecil tidak hanya memberi
pangan dunia, tapi juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan.
Kedua,
500 juta dari 570 juta petani di dunia adalah petani skala kecil. Sekitar 70%
kebutuhan makan lebih 7,4 miliar penduduk Bumi saat ini disumbang oleh mereka
(Lowder et. all, 2014). Sisanya diproduksi industri (MNC) yang membentuk
sistem rantai pangan (agrifood chain).
Bumi
akan dilanda kelaparan akut tanpa pertanian skala kecil. Ketiga, hasil
risetriset ekstensif menunjukkan pertanian keluarga/ kecil jauh lebih
produktif dari pertanian industrial, karena mengonsumsi sedikit energi,
terutama apabila produksi pangan diperdagangkan di tingkat lo kal/regional
(Rosset, 1999).
Keempat,
bukti-bukti menunjukkan pertanian skala kecil dan terdiversifikasi bisa
beradaptasi dan pejal (resilience), ini sekaligus suatu model keberlanjutan
yang lebih ramah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Sejak 1960-an,
petani mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman.
Pada
saat yang sama, industri pemulia tanaman hanya mengembangkan 72.500 varietas.
Kelima, pertanian skala kecil lebih ramah terhadap perubahan iklim (Altieri,
2008). Di Indonesia, peran pertanian skala kecil luar biasa. Peran mereka
bisa dihitung secara sederhana. Produksi padi pada 2015 sebesar 75,55 juta
ton gabah. Bila dikalikan Rp4.500/kg nilainya Rp339,97 triliun.
Produksi
jagung 20,67 juta ton. Bila harganya Rp4.000/kg nilainya Rp82,6 triliun.
Produksi kedelai 0,998 juta ton dengan harga Rp7.500/kg nilainya Rp7,48
triliun. Produksi gula 2 juta ton, dengan harga Rp9.000/kg nilainya Rp18
triliun. Hanya dari empat komoditas, jika usaha tani dianggap korporasi,
omzetnya Rp448,05 triliun.
Apakah
ada kekuatan korporasi di Indonesia sebesar itu? Hebatnya lagi, mereka pakai
modal sendiri, bahkan jika gagal panen ditanggung sendiri. Apa peran negara
dalam membantu petani kecil? Boleh dikatakan minimal, kalau tidak disebut tak
ada. Petani dibiarkan gurem. Akses terhadap lahan nyaris tertutup.
Bendungan,
irigasi, dan jalan desa rusak. Transportasi dan rantai pasok yang amburadul
membuat produk pertanian tak terangkut. Kalaupun terangkut harganya selangit,
dan tak mampu bersaing dengan produk serupa dari luar negeri. Petani dan
pertanian dicap tidak layak bank. Kredit tidak mengalir ke desa, ironisnya
justru terjadi pelarian modal dari desa ke kota.
Subsidi
pupuk dan bibit sering salah sasaran. Saat terkena puso, ganti rugi tak
memadai. Ujung semua itu, produksi petani mahal dan dituding tidak mampu
bersaing. Padahal itu terjadi bukan sebab, tapi akibat: akibat kebijakan yang
meminggirkan. Sebaliknya, peran negara dalam membantu korporasi swasta cukup
besar.
Salah
satunya bisa dilihat dari perkebunan sawit. Lewat Program Perkebunan Besar
Swasta Nasional awal 1980-an, perkebunan kepala sawit mendapatkan subsidi
suku bunga, kemudahan lahan dan penyediaan tenaga kerja tak langsung lewat
program transmigrasi. Selama 1991- 2011, lahan perkebunan sawit besar naik
dari 288.000 ha jadi 5,23 juta ha (naik 14%/tahun).
Sebaliknya,
total luas lahan perkebunan rakyat hanya naik dari 10,7 juta ha jadi 15,4
juta ha (naik 1,7%/tahun). Ironisnya lagi, sebagian kebun sawit dimiliki
asing. Data ini menunjukkan pengelolaan lahan bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960.
Mengundang
investor, termasuk asing, dan memberi lisensi ribuan ha tak salah. Tapi
menutup akses lahan petani itu salah besar dan mengusik nurani. Apa makna
dari fenomena ini? Selama 400 tahun terakhir evolusi pembangunan selalu
dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subjek pembangunan.
Premis
dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi
dari petani. Padahal, bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. “Sesat
pikir” ini hanya bisa diakhiri apabila pertanian dan petani kembali dipandang
sebagai pelaku utama, yang tidak saja jadi tulang punggung ekonomi puluhan
juta warga, tapi juga penjaga stabilitas sosial-politik dan keutuhan NKRI.
Lengsernya
Soekarno dan Soeharto, diakui atau tidak, disulut oleh perut warga yang
lapar. Apa jadinya jika jutaan petani (kecil) emoh bertani? Agar itu tidak
terjadi, pertanian skala kecil dan para petani gurem harus diberdayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar