Eksepsi
Dahlan dan Ironi Bisnis BUMD
Augustinus Simanjuntak ; Dosen
Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA POS, 30 Desember
2016
SIAPA
pun (termasuk pemerintah) yang mengubah perusahaannya menjadi badan hukum
berbentuk perseroan terbatas (PT) harus berani menyerahkan seluruh tanggung
jawab kepada pihak manajemen badan itu. Ini spirit pasal 1 angka 4 UU Nomor 1
Tahun 1995 tentang PT (lama) atau angka 5 UU Nomor 40 Tahun 2007 (baru) bahwa
direksi adalah organ perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan.
Tujuannya
ialah menciptakan tata kelola perusahaan yang progresif dan lincah. Pendirian
PT merupakan strategi bisnis demi peningkatan kinerja dan profit yang kadang
disertai risiko rugi. Jadi, pemerintah daerah (pemda) yang menjadikan
perusahaan daerah (BUMD) sebagai PT harus berani menyerahkan seluruh tanggung
jawab mengenai aksi-aksi korporasi kepada pengelola badan hukum tersebut.
Pemilik (pemda) tidak lagi boleh melakukan intervensi atas keputusan BUMD.
Karena
itulah, pasal 3 UU PT mengantisipasi intervensi dari pemegang saham (pemilik)
ke perseroan yang bermaksud memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi.
Artinya, jangan sampai kebijakan BUMD dipengaruhi oleh pemegang saham
tertentu. Kalau pemda terbukti mengintervensi direksi, ia ikut bertanggung
jawab atas kerugian BUMD.
Secara
hukum, pemda hanya berhak dalam hal kepemilikan saham, dividen, penentuan
arah kebijakan umum BUMD, dan pemilihan dewan direksi/komisaris lewat rapat
umum pemegang saham (RUPS). DPRD boleh saja mengkritisi dan meminta
pertanggungjawaban dewan direksi/ komisaris lewat forum RUPS. Prinsip
kemandirian itulah yang pernah ditekankan Dahlan Iskan ke semua BUMN sewaktu
menjabat menteri BUMN.
Bahkan,
pada 2012, Dahlan menerbitkan 12 larangan (kode etik) bagi pegawai BUMN demi
terciptanya iklim kerja yang kondusif dan profesional di seluruh BUMN. Namun,
sungguh aneh, penjualan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) pada 2003 yang
diputuskan Dahlan sebagai Dirut (menurut kejaksaan Tinggi) harus mendapat
persetujuan DPRD Jawa Timur. Itu jelas tidak sesuai dengan spirit dan aturan
main PT. Langkah Dahlan untuk memutus intervensi birokrasi pada masa lalu di
PT PWU justru disoal kejaksaan.
Eksepsi
Dahlan di pengadilan Tipikor Surabaya sudah jelas memaparkan sebuah langkah
progresif direksi (bahkan tanpa digaji) dalam mengatasi problem pelik PT PWU,
bahkan dengan menjaminkan aset pribadi. PT PWU pun akhirnya untung. Lamban
dan kacaunya gerak bisnis sebagian BUMD tidak terlepas dari keputusan direksi
yang selalu perlu mendapat izin dari pemda. Apalagi kalau usulan direksi
kepada pemda selalu direspons terlambat.
Padahal,
PT sebagai asosiasi modal memiliki tanggung jawab mandiri. Bahayanya,
intervensi berkedok ’’persetujuan’’ dari DPRD bisa berubah menjadi ajang suap
atau pemerasan. Sebagai badan hukum, BUMD membutuhkan independensi dalam
bertindak, misalnya membuat keputusan strategis, mengajukan gugatan, berutang
dan berpiutang, serta memiliki kekayaan tersendiri.
Pengawasnya
adalah dewan komisaris (vide pasal 1 angka 5 UU PT lama, angka 6 UU PT baru),
bukan DPRD. Sayang, batas tersebut sering dilanggar oknum pejabat di daerah.
BUMD sering digiring ke praktik bisnis yang tidak profesional sehingga
kondisi BUMD menjadi tidak sehat. Bahkan, BUMD berpotensi jadi sapi perahan
oleh oknum elite politik. Dalam kondisi itulah, makna ’’persetujuan’’ DPRD
berpotensi menyimpang menjadi ajang suap atau pemerasan terhadap BUMD.
Banyak
sudah BUMD yang merugi, bahkan bangkrut gara-gara birokrasi lelet dan tata
kelola yang amburadul. Misalnya, PDAM Way Bumi di Lampung bermasalah sampai
tidak sanggup membayar gaji karyawannya (2010–2012). Juga, bangkrutnya
perusahaan Aneka Industri dan Jasa (AIJ) milik Pemda Sumatera Utara. Di Jatim,
ada 10 BUMD yang ditengarai tidak sehat dan selalu merugi. Tiga di antaranya
tergolong parah. Yaitu, PT Jatim Marga Utama (JMU), PT Jatim Krida Utama
(JKU), dan PT Jatim Investment Management (JIM).
Jadi,
BUMD bermasalah justru membutuhkan orang seperti Dahlan. Kejaksaan seharusnya
mengusut dugaan intervensi ilegal dan pemerasan terhadap BUMD oleh oknum
pejabat di daerah. Jaksa bukan malah menyoal langkah progresif dan strategis
dari direksi dalam menyehatkan BUMD seperti yang dilakukan Dahlan. Selain
itu, bagi BUMD (badan hukum mandiri dan berkarakter perdata), berlaku audit
oleh dewan komisaris, bukan audit BPK.
Dalam
internal BUMD, tidak berlaku konsep korupsi, tetapi tindak pidana umum,
misalnya pencurian dan penggelapan uang perusahaan. Dengan begitu, jika BUMD
rugi atau berutang besar, pemda tidak ikut bertanggung jawab atas utang itu.
Pola tersebut penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan isu kerugian
BUMD sebagai kedok untuk mengemplang dana talangan (dari APBD) ke perusahaan.
Terkait
kerugian perseroan, bagi PT hanya berlaku perhitungan laba/rugi perusahaan
dan dividen bagi para pemegang saham (termasuk pemda). Pemda berhak menuntut
laba dan pertanggungjawaban direksi lewat RUPS yang di dalamnya terdapat
hasil audit dewan komisaris. Karena itu, kerugian BUMD tidak bisa lagi
dinyatakan sebagai kerugian negara.
Jadi,
kemandirian BUMD seharusnya didukung penuh oleh pemda demi terciptanya
manajemen bisnis perusahaan yang transparan, jujur, dan adil demi kepentingan
umum. Jika BUMD merugi akibat kesalahan manajemen, RUPS dapat mengevaluasi
kinerja dewan direksi maupun komisaris. Bahkan, RUPS bisa memberhentikan
mereka, bukan dikriminalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar