Apakah
PP No 72/2016 Diterbitkan
untuk
Legalisasi Penghancuran BUMN?
Agus Pambagio ;
Pemerhati Kebijakan Publik dan
Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS, 17 Januari
2017
Sejak
Kabinet Kerja mulai bekerja pada akhir tahun 2014, Kementerian BUMN sangat
semangat dan rajin menggelorakan penggabungan (holding BUMN) seluruh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi beberapa perusahaan holding, seperti
holding BUMN Energi atau Migas, holding BUMN Pertambangan, Holding BUMN
Kemaritiman dan sebagainya. Indonesia memiliki seratus lebih BUMN dengan
beragam kondisi keuangan dan manajemen.
Dengan
holding BUMN, aset memang akan membesar dan memudahkan untuk mencari
pinjaman. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan hodingisasi keuntungan juga
bisa bertambah dan mampu bersaing di manca negara, seperti Temasek Singapura
atau Khazanah Malaysia? Ini yang masih perlu diuji. Pertanyaan lain, apakah
holding BUMN mempunyai payung hukum yang kuat, sehingga kita tidak akan lagi
kehilangan BUMN, apalagi BUMN strategis yang sedang untung dan terdaftar di
Bursa Internasional maupun Indonesia?
holding
BUMN BUMN harus mempunyai payung hukum yang jelas. Ada beberapa peraturan
perundang-undangan utama yang harus menjadi pertimbangan saat akan melakukan
holding BUMN, seperti UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, UU No. 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara dan
PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal
Negara Pada BUMN.
Revisi
PP No. 44 Tahun 2005 sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada
tanggal 30 Desember 2016 dan menjadi PP No. 72 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan
Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT). Jadi secara
legal holding BUMN dapat dilakukan, masalahnya PP tersebut bertentangan
dengan UU di atasnya, yaitu UU BUMN, UU PT dan UU Keuangan Negara. Ini satu
bukti bahwa penyelenggara negara kurang berhati-hati dalam mengeluarkan
sebuah kebijakan strategis.
Permasalahan PP No.
72/2016 sebagai Payung Legal Holding BUMN
PP
No. 72 Tahun 2016, menurut saya jika dilihat dari kontennya ada 2 hal yang
bermasalah. Pertama, persoalan perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN
dan PT. Perubahan ini tidak dapat langsung dikerjakan oleh Pemerintah karena
harus dibahas dengan DPR (Komisi VI dan Komisi XI). Artinya PP ini menabrak
UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Keuangan Negara.
Kedua,
sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, anak perusahaan BUMN bukan
BUMN. Jadi anak perusahaan BUMN tidak dapat diperlakukan sama dengan BUMN
dalam hal penugasan dan pengelolaan sumberdaya strategis. Secara konstitusi
(UUD 45 Pasal 33), seluruh aset strategis nasional harus dikelola oleh negara
melalui BUMN.
Lalu
Pasal 2A ayat ( 3 dan 4), penyertaan modal negara di BUMN berubah menjadi
kekayaan BUMN atau PT. Selanjutnya di Pasal 2A ayat (7), tentang
memperlakukan anak usaha BUMN. Anak usaha BUMN bukan BUMN. Menurut saya
secara kebijakan langkah terbitnya PP No. 72 Tahun 2016 inkonstitusional.
Patut diduga PP No. 72 Tahun 2016 ini sengaja diterbitkan untuk menghindari
campur tangan DPR ketika akan ada pengalihan kekayaan negara, berupa a. dana
segar, b. barang milik negara, c. piutang negara pada BUMN atau PT, d. saham
milik negara pada BUMN atau PT dan/atau, e. aset negara lainnya.
Artinya
sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Keuangan Negara, bila ada
perubahan peruntukan dana yang berasal dari APBN harus melalui pembahasn
dengan DPR. Mari coba kita analisa lagi beberapa Pasal dan ayat di PP No. 72
Tahun 2016 ini.
Pada
Pasal 2A ayat (1) PP No. 72 Tahun 2016, disebutkan bahwa "penyertaan
modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada
BUMN atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN
atau PT lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme
APBN". Artinya DPR diabaikan.
Pada
Pasal 2A ayat (2): "dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara
pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan
penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham tersebut
dimiliki oleh BUMN lain , maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN
dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur
dalam anggaran dasar".
Pada
Pasal 2A ayat (3): "kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau PT,
bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN atau PT tersebut".
Kemudian
Pasal 2A ayat (4): "kekayaan negara yang bertranformasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), menjadi kekayaan BUMN atau PT".
Berdasarkan
Pasal 2A ayat (4) di atas, terlihat bahwa mekanisme inbreng (pemasukan barang
sebagai modal perusahaan-red) kekayaan negara berupa saham di suatu BUMN,
misalnya asset BUMN X dipindahkan ke BUMN Y, sehingga BUMN Y berubah menjadi
swasta atau PT dan harta kekayaan negara dapat berubah menjadi kekayan BUMN
atau bahkan PT.
Perubahan
tersebut bila dilihat secara hati-hati patut diduga merupakan proses mengubah
BUMN menjadi PT dan mengubah kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha.
Jika dikaitkan dengan Pasal lainnya menyatakan bahwa untuk merubah kekayaan
negara, misalnya melalui mekanisme privatisasi (BUMN menjadi PT), tidak lagi
diperlukan pembahasan dengan DPR. Patut diduga ini menjadi bentuk pencucian
kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha.
Langkah ke Depan yang
Harus Dilakukan
BUMN
bukan hanya merupakan tempat berinvestasi atau berusaha dengan menanamkan
modal tetapi memiliki fungsi strategis sebagai alat negara untuk menjalankan
fungsi penguasaan negara dalam aspek pengelolaan. Terutama di sektor
strategis. Hal terpenting bagi negara adalah kuasai hajat hidup orang banyak,
sehingga BUMN tidak boleh dianggap sebagai korporasi biasa (PT).
Kementerian
Keuangan pernah menyatakan bahwa holding harus dievaluasi dan disetujui oleh
DPR. Namun sepertinya dengan PP No. 72 Tahun 2016 ini menjadi cara pintas
untuk menghindari proses di DPR. Secara konten PP No. 72 Tahun 2016 ini
bertentangan dengan UU di atasnya dan secara substansi berbahaya karena
membuka peluang pengalihan kekayaan negara dan mengubah BUMN menjadi swasta
tanpa kendali DPR.
Untuk
itu sebaiknya lakukan uji materi (judicial review) PP No. 72 Tahun 2016 ini
di Mahkamah Agung (MA) terhadap UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang
Keuangan Negara.
Waspadai
PP No. 72 Tahun 2016 supaya negara tidak kehilangan lagi BUMN-BUMN strategis.
Waspadai lobby para rent seekers (makelar) Jika tidak, kasus hilangnya BUMN,
seperti Indosat akan kembali terjadi dengan pola yang berbeda. Semoga
Presiden menyadari akal bulus kelompok tertentu di balik terbitnya PP No. 72
Tahun 2016 ini. Sekali lagi ini tulisan ini merupakan kajian kebijakan bukan
kajian hukum. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar