Utang Pemerintah dan Disiplin Fiskal
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Utang pemerintah
merayap naik, seiring dengan kelesuan ekonomi. Rasio utang pemerintah
terhadap produk domestik bruto akan naik dari 26,8 persen (2015) menjadi 27
persen (2016). Utang luar negeri pemerintah dan bank sentral 151,31 miliar
dollar AS, sedangkan utang luar negeri swasta 164,67 miliar dollar AS.
Seluruh utang luar negeri Indonesia mencapai 315,98 miliar dollar AS, atau
36,5 persen terhadap produk domestik bruto (Kompas, 24/5).
Kenaikan utang ini
bisa dimengerti, seiring kelesuan perekonomian, yang ditandai dengan
penurunan pertumbuhan ekonomi dari 5,04 persen pada triwulan IV-2015 menjadi
4,92 persen pada triwulan I-2016. Maka, pemerintah harus “mengambil alih
kemudi”. Pertumbuhan ekonomi harus didorong dari inisiatif pemerintah
(fiskal) karena swasta kesulitan.
Pada 2016, sektor
swasta masih lesu. Tanda-tandanya tampak dari pelemahan permintaan kredit
pada industri perbankan. Ekspansi kredit sangat lemah karena bank-bank harus
ekstra berhati-hati mengantisipasi peningkatan kredit bermasalah.
Situasi ini
mengingatkan kita pada mazhab pemikiran ekonomi Keynesian yang digagas John
Maynard Keynes (1936). Dalam situasi depresi ekonomi dunia pada 1930-an,
kebijakan moneter dianggap mustahil bisa efektif. Keynes menyarankan belanja
fiskal pemerintah menjadi solusi.
Tatkala Amerika
Serikat (AS) terkena krisis ekonomi (2008), Presiden Barack Obama mendorong
banyak belanja fiskal. Tujuannya, mendorong permintaan barang dan jasa, yang
selanjutnya menggalang pertumbuhan ekonomi. Pada 2008-2016, perekonomian AS
berangsur pulih. Indikator terpenting adalah level pengangguran dapat
diturunkan dari 10 persen menjadi 4,8 persen.
Namun, belanja fiskal
yang terlalu agresif juga bisa menimbulkan malapetaka. Demi memberikan
jaminan sosial yang terbaik bagi rakyatnya, Yunani menggenjot defisit APBN
sampai level yang tidak masuk akal, yakni minus 17 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB). Jelas saja perekonomian Yunani sakit parah.
Kasus terbaru adalah
jatuhnya Presiden Brasil Dilma Rousseff. Brasil berambisi menjadi tuan rumah
perhelatan akbar Piala Dunia sepak bola pada Juli 2014 dan Olimpiade pada
Agustus 2016. Pembangunan infrastruktur dihela cepat. Ini sebenarnya bagus
karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, yang terjadi adalah besar
pasak daripada tiang.
Dalam dua tahun
terakhir, defisit Brasil 10,34 persen (2015) dan 6,7 persen terhadap PDB
(2014). Sebelumnya, defisitnya 3,25 persen terhadap PDB (2013). Inilah rekor
defisit APBN tertinggi dalam sejarah Brasil (Bloomberg, The Economist, April 2016). Padahal, batas aman
defisit rekomendasi ekonom dunia 2 persen.
Presiden Rousseff
merasa kebijakannya menurunkan tarif pajak efektif mendorong gairah
perekonomian. Belanja pemerintah digenjot untuk memberi stimulus. Namun, yang
terjadi sebaliknya. Defisit justru semakin melebar sehingga terjadilah krisis
fiskal terburuk, yang bahkan menyebabkan Presiden Rousseff jatuh.
Ini menjadi pelajaran
penting bagi kita. Sejauh ini, defisit fiskal kita masih dapat dipertahankan
2,5 persen terhadap PDB. Tidak ada tanda-tanda pemerintah “tergoda”
melampauinya. Meski demikian, kita perlu mengingatkan, jika disiplin fiskal
ini dilanggar, bisa jadi angka ini akan mengarah ke 3 persen terhadap PDB,
atau menuju batas tertinggi yang diizinkan konstitusi.
“Godaan” lain adalah
mencetak uang. Meski belum ada laporan resmi, inflasi di Brasil yang
melampaui 10 persen diduga disebabkan ketidakdisiplinan menjaga uang beredar.
Dalam kasus Indonesia,
pemerintah mempunyai belanjaan cukup tinggi. Selain membiayai proyek-proyek
infrastruktur yang mendesak, pemerintah juga masih mempunyai beban menanggung
program jaminan sosial kesehatan dan pendidikan (BPJS), bahkan gaji ke-13 dan
ke-14. Di sisi lain, kondisi penerimaan pemerintah tidak sesuai dengan
ekspektasi. Tahun ini pemerintah berharap mendapat dana dari program
pengampunan pajak untuk menutup defisit fiskal.
Faktanya, pengalaman
negara-negara lain tidaklah sesuai dengan ekspektasi. Pada 2015, India di
bawah PM Narendra Modi ternyata hanya berhasil membuat 638 warga India di
luar negeri melakukan repatriasi, senilai 575 juta dollar AS. Ini cukup jauh
dari target setidaknya 5 miliar dollar AS. Kasus Indonesia sangat mungkin
akan mirip.
Dengan kans amnesti
pajak belum cukup mujarab mengatasi defisit fiskal, pemerintah harus
berhati-hati dalam pembelanjaan defisit. Utang luar negeri merupakan hal yang
tak terhindarkan. Misalnya pembangunan pelabuhan baru di Kabupaten Subang Rp
40 triliun, yang akan mengatasi kepadatan Tanjung Priok, jelas memiliki
urgensi tinggi yang harus dikerjakan.
Pemerintah harus lebih
berhati-hati dan kian tajam membuat prioritas belanja. Ruang fiskal sudah sesak.
Kuncinya, menjaga disiplin. Disiplin fiskal (defisit tidak melebihi 3 persen
terhadap PDB) dan tak tergoda mencetak uang (sehingga inflasi terkendali)
akan membuat lembaga pemeringkat asing mempunyai keyakinan tinggi terhadap
iklim investasi kita. Dari sini, pertumbuhan ekonomi bakal bisa dihela untuk
mengatasi penyempitan ruang fiskal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar