Ujian Sentralitas ASEAN di LTS
Arfin Sudirman ;
Dosen Hubungan Internasional;
Direktur Eksekutif Pusat Studi
ASEAN FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Para pemegang
kebijakan di ASEAN saat ini sedang menunggu hasil keputusan Mahkamah
Arbitrase Internasional terkait status legalitas klaim sepihak Tiongkok yang
terkenal dengan istilah nine dash line (sembilan garis putus) di Laut
Tiongkok Selatan.
Pertanyaan menarik
adalah, di tengah masifnya modernisasi alutsista militer Tiongkok di kawasan,
apa langkah yang harus dilakukan ASEAN? Terlepas dari hasil keputusan
Mahkamah Arbitrase Internasional terkait legalitas nine dash line yang
diklaim secara sepihak oleh Tiongkok, dunia lagi-lagi harus berhadapan dengan
unilateralisme suatu negara yang sulit dicegah oleh rezim internasional mana
pun.
Unilateralisme
sebelumnya terjadi ketika Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada 2003
dengan dalih mencegah senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD), yang hingga saat ini tidak
ditemukan, tanpa restu dari PBB. Jika menilik jauh sebelumnya pun kita tahu
ketidakberhasilan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mencegah Jerman dan AS keluar dari
keanggotaan LBB sehingga mengakibatkan pecahnya Perang Dunia (PD) II pada
1939 yang dipicu oleh unilateralisme Jerman yang menginvasi Polandia.
Sejarah pun terulang
kembali. organisasi internasional yang seharusnya menjadi tata kelola
supranasional yang memiliki otoritas untuk mengatur negara-negara di dunia
menjadi tidak efektif karena ulah satu atau dua negara yang memiliki
kapabilitas relatif lebih kuat ketimbang negara-negara di sekelilingnya.
Kompleksitas keamanan
Tahun ini, anggaran
militer Tiongkok sudah mencapai 146,67 miliar dollar AS. Bandingkan dengan
total anggaran militer seluruh negara ASEAN yang hanya 37,8 miliar dollar AS.
Melihat kenyataan ini, maka tidak heran, efek penggentar Tiongkok jauh
melebihi kapabilitas relatif negara-negara kawasan ASEAN.
Alih-alih mempererat
kerja sama dan sentralitas ASEAN, negara-negara anggota ASEAN lebih cenderung
mencari langkah pencegahan untuk menyelamatkan diri masing-masing dengan
pilihan: mencari aliansi militer dengan kekuatan sejajar, seperti AS, atau
bergabung dengan bujuk rayu Tiongkok.
Bipolaritas skala
kecil pun terjadi di kawasan Asia Tenggara dengan Tiongkok dan AS sebagai
kekuatan rivalitas baru dan ASEAN sebagai arena.
Tak perlu diragukan
lagi bahwasanya Tiongkok tak mungkin mendapat tekanan dari aktor
sub-nasional, seperti kalangan akademisi, LSM, ataupun media dalam negerinya
sebagai antitesis dari kebijakan klaim sepihak ini karena semua elemen negara
Tiongkok akan diarahkan untuk mendukung klaim sepihak ini. Karena itu,
memanfaatkan diplomasi jalur 1,5 atau 2 yang melibatkan jaringan kelompok
masyarakat sipil adalah hal sulit, bahkan mustahil diandalkan.
Dengan demikian,
praktis baik ASEAN maupun komunitas internasional lain harus mengandalkan
kekuatan kolektif pada tingkat antarpemerintah (G to G) baik di dalam ASEAN,
dan jika perlu mengisi kekosongan efek penggentar ini oleh negara lain yang
seimbang, yang tentu saja dikemas dengan diplomatis agar tak terkesan ASEAN
perlahan-lahan meninggalkan prinsip netralitas dan non-intervensinya.
Langkah Filipina dan
Vietnam yang mengubur dalam-dalam sejarah hitamnya dengan AS pada masa PD II
dan Perang Dingin perlu dipertimbangkan untuk dieksploitasi secara halus oleh
ASEAN. Konektivitas erat kedua negara anggota ASEAN dengan AS di bidang
militer perlu ditindaklanjuti dalam forum-forum pilar pertama ASEAN Political
Security Community (APSC).
Setidaknya jika
Tiongkok bersikeras atas klaim sepihaknya di Laut Tiongkok Selatan (LTS),
APSC dapat dijadikan komitmen pertahanan bersama meskipun tidak sampai kepada
pembentukan pakta pertahanan.
Berikutnya, lobi-lobi
intensif ke negara-negara yang cenderung berpihak kepada Tiongkok, seperti
Laos dan Kamboja, untuk tetap kembali kepada negosiasi penyusunan dokumen code of conduct (COC) yang merupakan
pedoman berperilaku di kawasan LTS serta pentingnya menegakkan UNCLOS sebagai
norma internasional yang existing dan didasarkan atas konsensus
internasional.
Dengan demikian,
faktor sejarah (seperti argumen Tiongkok mengenai traditional fishing ground
pada kasus di Natuna, Maret 2016) dan tradisi—yang umumnya menjadi argumen
”klasik” sengketa perbatasan—seharusnya bukan lagi menjadi satu-satunya
justifikasi mutlak.
Kompleksitas keamanan
di kawasan diperparah dengan bebasnya Tiongkok mengaplikasikan nine dash line-nya melalui proyek
pembangunan reklamasi pulau buatan, karang, landasan pacu udara, dan militerisasi
yang dapat membuktikan secara de facto
bahwa pulau-pulau kecil di Kepulauan Spratly adalah bagian dari kedaulatan
Tiongkok.
Selama pembangunan
situs-situs tersebut berlangsung selama kurang lebih sejak 2013, tindakan
nyata untuk membendung keberlanjutan pembangunan tersebut sejauh ini adalah
justru datang dari militer AS melalui diplomasi pertahanannya.
Artinya, terdapat
kesadaran dari pihak-pihak yang bersengketa dengan Tiongkok di LTS bahwa tak
mungkin menghadapi militer Tiongkok secara head to head karena efek
penggentar yang tak seimbang antara negara-negara anggota ASEAN dengan
Tiongkok.
Karena itu, diplomasi
pertahanan yang diperagakan AS bertujuan selain untuk menggertak Tiongkok,
juga berupaya untuk memperlambat pembangunan situs-situs yang menjadi dasar
klaim sepihak Tiongkok di LTS hingga keputusan Mahkamah Arbitrase
Internasional definitif dan ”memaksa” Tiongkok untuk kembali ke negosiasi
dokumen COC.
Penyeimbang kekuatan
Pertimbangan untuk
melibatkan AS sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan sebetulnya tidak dapat
dibaca semata-mata untuk menyelamatkan ASEAN dari perpecahan ataupun
intervensi AS di kawasan, secara geopolitik dan geoekonomi pun sebetulnya
negara-negara besar di dunia sangat bergantung pada stabilitas dan keamanan
kawasan Asia Tenggara.
Saat ini, 66 persen
kargo perdagangan LNG di dunia dengan total nilai 5,2 triliun dollar AS per
tahun melewati Laut Tiongkok Selatan. Sebanyak 1,2 triliun dollar AS di
antaranya terkait langsung dengan kepentingan AS akan kebutuhan energi.
Karena itu, maka akan terlalu mahal biayanya jika opsi konflik terbuka
dipilih oleh Tiongkok, ASEAN, dan AS.
Dengan demikian, ujian
bagi sentralitas ASEAN adalah bagaimana ASEAN memanfaatkan netralitasnya
untuk merangkul tidak hanya negara-negara anggotanya agar kompak menghadapi
klaim sepihak Tiongkok, tetapi juga mengoptimalkan jaringan kerja sama dengan
negara-negara di luar kawasan, terutama AS yang selama ini menjadi mitra
strategis ASEAN untuk menjadi leverage agar dapat menjembatani kesenjangan
kekuatan di kawasan melalui tekanan politik internasional yang bertujuan
untuk menandingi jurus ”pendekar mabuk” (drunken master)-nya Tiongkok agar
tidak sampai mengarah kepada konflik maritim terbuka.
Tentu saja
langkah-langkah tersebut bukan tanpa risiko. Andaikan Tiongkok tidak
mengindahkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional dan tidak menghargai
kepentingan negara-negara yang bersengketa di LTS—kemungkinan yang masih
sangat mungkin terjadi—wibawa Mahkamah Arbitrase Internasional dan ASEAN akan
runtuh dan potensi Perang Dingin baru akan dimulai dari kawasan Asia
Tenggara.
Jika ini yang terjadi,
alih-alih berhadapan dengan kekuatan militer terbesar kedua di dunia, perlu
langkah diplomasi perbatasan untuk menangguhkan potensi konflik terbuka menjadi
status quo sampai ada kerelaan dari setiap pihak untuk kembali ke negosiasi
penyusunan dokumen COC yang sudah berjalan sejak DOC 2002.
Konsekuensi logis
untuk mendorong proses ini tentu saja akan memakan waktu sangat lama dan
bergantung kepiawaian negosiasi setiap pihak agar tidak ada salah satu pihak
yang kehabisan kesabarannya sehingga memilih opsi perang terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar