TV, Ramadhan Segera Tiba
S Sinansari Ecip ;
Akademisi; Wartawan senior; Dewan
Pertimbangan MUI
|
KOMPAS, 01 Juni 2016
Ramadhan segera tiba.
Inilah bulan sawah basah bagi industri
televisi. Stasiun TV besar panen. Jauh-jauh hari, mereka menyiapkan tayangan
yang bisa menjual ruang dan waktu iklan. Musim panen berlangsung satu bulan
lebih.
Tim kreatif merancang
tayangan yang disesuaikan dengan pergeseran prime time (waktu unggulan), yakni sekitar saat sahur atau buka. Pada waktu unggulan,
tarif iklan paling mahal.
Banyak warga berharap
kehidupan yang tenang itu berlangsung pada 11 bulan yang lain. Namun, harapan
tinggal harapan. Suasana dan semangat Ramadhan segera lenyap bersamaan dengan
lenyapnya kulit ketupat.
Produk barang dan jasa
yang istimewa diiklankan dengan harapan akan dihabiskan oleh pasar. Selain
menarik, produk yang akan diiklankan juga harus bermanfaat dan berhubungan
langsung dengan bulan suci ini.
Pada tiap bulan
Ramadhan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat cermat mengamati tayangan TV. Hasil evaluasi dipublikasikan kepada
masyarakat. Program tayangan yang bagus akan mendapatkan apresiasi.
Evaluasi dan Izin
Tayangan TV itu
memerlukan evaluasi. Khalayak memiliki hak untuk mengoreksi tayangan TV yang
ditontonnya. Masukan khalayak diperlukan stasiun TV untuk memperbaiki diri.
Namun, kritik itu sekilas lewat karena bentuknya berupa isi diskusi, seminar,
dan tulisan. Tidak jarang, kritik lepas itu kurang efeknya.
Ada bentuk kritik
resmi yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, yakni evaluasi dengar pendapat (EDP). Evaluasi ini terjadi antara
KPI serta perusahaan TV dan radio pada waktu mengajukan permohonan izin atau
perpanjangan izin. Mereka memaparkan rencana siaran saat mengajukan izin, dan
saat mengajukan perpanjangan izin, antara lain menjawab evaluasi dari
masyarakat. Masyarakat sebagai evaluator yang diundang KPI.
Hasil EDP berupa
rekomendasi KPI diteruskan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika yang
akan mengeluarkan izin. EDP TV siaran berjaringan berlangsung minggu lalu di
Jakarta. Menurut Kompas (18/5), EDP itu minim pertanyaan kritis.
Tempo hari ada ide
melibatkan warga untuk menilai tayangan TV dalam bentuk uji publik. Namun,
ide itu tak berlanjut.
KPI Pusat periode awal
selalu mengatakan, pelanggaran stasiun TV (juga radio) dalam kaitan isi
siaran dikumpulkan dalam map. Pada waktu permohonan perpanjangan izin, daftar
dosa mereka dibuka dan dinilai. Nyatanya dalam EDP baru-baru ini membuka
daftar dosa dan penilaiannya itu tidak dilakukan.
EDP digelar periodik,
berkaitan perpanjangan izin setiap 10 tahun untuk TV dan 5 tahun untuk radio.
Sayangnya, KPI Pusat dan KPI Daerah belum mempunyai waktu untuk memproses
perpanjangan izin radio siaran yang lima tahunan itu.
HVS dan SVN
Kemarin, perhatian
kita pada tayangan TV yang rumusnya adalah HVS, yaitu horror (mengerikan),
violence (kekerasan), dan sex (seks). HVS tidak hanya gambar, gerakan, dan
kata, tetapi juga imajinasi yang mungkin ditimbulkannya. Film animasi yang
tak menghormati orang tua juga tak dibenarkan. Terorisme termasuk kekerasan.
Tayangan jenis ini sudah berkurang.
Kini, HVS berkembang
menjadi SVN, yakni seks, kekerasan, dan narkoba. Orang yang kecanduan narkoba
berakibat luar biasa. Narkoba merambah ke desa dan anak-anak. Kecanduan seks
juga berbahaya.
Selain itu, ada
stasiun TV yang dalam program beritanya sangat tak berimbang. Syarat utama
karya jurnalisme adalah berimbang. KPI sudah mengingatkan. Warga yang
keberatan atas tayangan TV bisa mengadu ke KPI Pusat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar