Puasa dan Makanan Halal
Amidhan Shaberah ;
Ketua MUI (1995-2015); Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen
Agama RI (1991-1996); Ketua Yayasan PKP Jakarta Islamic School
|
KORAN SINDO, 10 Juni
2016
Akhir November 2015
umat Islam gempar. Penyebabnya adalah sebuah berita: Tim Gabungan Operasional
Daging Ilegal Kota Balikpapan menemukan produk bumbu masakan yang mengandung
lemak babi di sebuah restoran, Plaza Balikpapan.
Temuan lemak babi ini,
konon, berasal daribumbu campur dan bumbu rendam ayam. Berita penemuan minyak
babi ini mengejutkan masyarakat Balikpapan yang terbiasa makan di resto
terkenal tersebut. MUI dengan tim Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan, dan
Makanan (LPPOM)- nya langsung bergerak, melakukan penelitian apakah berita
tersebut benar atau tidak. Setelah melakukan tes DNA terhadap produk bum-bu
yang diisukan mengandung minyak babi tersebut, hasilnya ternyata bahwa berita
itu tidak benar.
Produk bumbu tersebut
tidak mengandung minyak babi. Berita semacam itu sering sekali muncul di
tengah masyarakat. Beberapa produk makanan terkenal sering diisukan
mengandung lemak atau bagian tertentu yang terdapat dalam babi. Isu tersebut
ada kalanya benar, ada kalanya salah. Namun, satu hal jelas, isu haramnya
suatu produk makanan menjadi sesuatu yang sangat sensitif di masyarakat,
terutama umat Islam Indonesia.
Isu tersebut sangat
mengganggu baik terhadap konsumen maupun produsen. Uji kehalalan suatu produk
makanan atau minuman memang panjang. Dalam kasus Balikpapan misalnya isu
keharaman produk bumbu tersebut terletak pada materinya— yaitu minyak babi.
Masalah berikutnya, apakah ada zat turunan dari daging babi tersebut dalam
produk makanan tadi.
Soalnya zat haram yang
terkandung dalam daging babi kini tidak hanya terdapat dalam makanan dan
minuman, tapi juga terdapat pada obat-obatan, kosmetik, sikat gigi, dan
produk-produk lain yang belum banyak diketahui kaum muslim secara luas. Perlu
kita ketahui, suatu makanan disebut halal atau haram, tidak hanya terletak
pada materi makanan itu, tapi juga pada proses pembuatannya.
Daging ayam misalnya
secara hukum jelas halal. Tapi, jika proses penyembelihan dan mekanisme
pemotongannya tidak sesuai syariah, hasil akhirnya bisa menjadi haram.
Sebagai contoh, seekor ayam yang disembelih tanpa mengucap basmalah dan tidak
dilakukan oleh seorang muslim (fatwa MUI), hukum daging ayam itu haram.
Begitu juga daging
ayam yang digoreng menggunakan minyak yang sebelumnya telah digunakan untuk
memasak daging babi. Perlu diketahui bahwa daging babi adalah total haram.
Seluruh bagian dan turunannya, banyak atau sedikit, termasuk minyak dan
ekstraknya adalah haram digunakan dan dikonsumsi.
Kompleks
Gambaran di atas
sekadar menunjukkan bagaimana kompleksnya menentukan halal dan haram suatu
produk. Daging sapi yang kita konsumsi misalnya jika tidak ada sertifikat
halal, patut diragukan apakah halal atau tidak. Ini karena proses
penyembelihannya tidak terkonfirmasi benar atau tidak secara syariah.
Takhanyaproduk daging,
obat-obatan dan kosmetika juga menyimpan problem yang sama. Mengenai
obatobatan tidak ada atau sangat sedikit perusahaan farmasi yang
menyertifikatkan produknya ke MUI. Ini karena di masyarakat sendiri ada
“adagium” bahwa mengonsumsi obat (apa pun) diperbolehkan dengan alasan
“darurat” meski tidak besertifikat halal, bahkan bila obat tersebut
jelas-jelas secara material tidak halal. Sejauh mana tingkat kehalalannya
jika konsumen tidak tahu persis bagaimana proses pembuatannya?
Dalam kasus ini MUI
yang mewakili umat Islam perlu mengetahui proses- proses pembuatan produk
tersebut. Jika LPPOM MUI yakin produk itu halal setelah mengecek proses-prosesnya,
umat bisa melihat “keyakinan” tersebut melalui sertifikat halal atau label
halal yang tertera pada produk tadi. Saat ini dari jutaan macam produk pangan
yang beredar di pasar, yang tersertifikasi halal hanya sekitar 0,05% atau
5/10.000-nya saja. Kondisi tersebut ironis di tengah umat Islam Indonesia
yang mulai menyadari pentingnya mengonsumsi produk halal.
Angka absolutnya
produk yang telah disertifikatkan untuk seluruh bidang usaha menurut sumber
LPPOM MUI selama 2015 sebanyak 6.850 item dari jutaan merek produk yang
beredar di dalam dan luar negeri. Jumlah tersebut sebenarnya mengalami
peningkatan luar biasa dalam lima tahun terakhir karena pada 2010 baru 750
sertifikat yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Ini berarti dalam lima tahun
terakhir (2010-2015) ada kenaikan hampir 1000%.
Perlu diketahui bahwa
MUI dengan LPPOM-nya setelah melakukan penelitian mendalam dan komprehensif
terhadap produk perusahaan yang secara sukarela ingin mendapatkan sertifikasi
halal hanyalah mengeluarkan “sertifikasi halal”. Sedangkan “label halal”
(izin edar) dikeluarkan oleh lembaga negara dalam hal ini Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Tetapi, BPOM tidak akan memberikan label halal bila tidak
ada sertifikasi halal dari MUI.
Memang mengenai
kehalalan suatu produk belum memiliki payung hukum yang kuat dan mantap di
Indonesia. UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan telah dicabut dan UU
penggantinya tidak spesifik menyangkut pangan halal. Dalam hal ini hanya ada
satu yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bisa
“ditumpangi” MUI untuk menjerat para penyebar produk makanan dan minuman
haram.
Dalam UU No 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen misalnya disebutkan bahwa konsumen berhak
mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur dari produsen (Pasal 7).
Selain itu, dalam Pasal 4 dijelaskan pula bahwa produsen wajib memberi
jaminan (halal) kepada konsumen dan beritikad baik dalam usahanya.
Semua itu menunjukkan
bahwa pada hakikatnya setiap pelaku usaha sudah tahu bahwa kehalalan produk
industrinya yang dipasarkan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tapi, UU
No 8 Tahun 1999 yang menyangkut “kehalalan” bersifat voluntary (sukarela).
Artinya, industri masih boleh mengedarkan produknya asalkan tidak
mencantumkan label halal pada kemasan produk itu.
Bila perusahaan
mencantumkan label halal pada kemasanproduknya, padahal belum atau tidak ada
sertifikasi MUI, perusahaan tersebut menurut UU Perlindungan Konsumen akan
terkena sanksi atau denda. Sebenarnya lemahnya payung hukum mengenai
kehalalan di atas sudah dapat diatasi dengan telah diundangkannya UU No 33
Tahun 2015 tanggal 17 Oktober 2015 oleh pemerintah.
UU tersebut bersifat
mandatori: wajib dilaksanakan seluruh industri pada semua tingkatan, dari
yang besar sampai kecil (UKM). Tetapi, UU tersebut sampai sekarang tidak
efektif pelaksanaannya karena sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah
(PP), keppres, apalagi peraturan menterinya.
Halal Food yang Trendi
Logikanya, kajian-kajian
terhadap produk halal merupakan sesuatu yang inheren dan niscaya selalu ada
setiap saat. Apalagi pada Ramadan. Kondisi sebaliknya justru terjadi di
negara-negara yang penduduknya minoritas Islam seperti Jepang, USA,
Australia, dan Singapura.
Di negeri-negeri
tersebut kajian-kajian, seminar-seminar, dan pendalaman terhadap sertifikasi
halal sangat intens. Australia bahkan telah menjadikan produk susu, keju, dan
olahannya mendapatkan sertifikat halal dari Indonesia. Kenapa hal itu
terjadi? Mereka sadar bahwa pangsa pasar umat Islam di Indonesia sebagai
muslim terbesar di dunia terhadap produk-produk mereka sangat besar. Dengan
ada sertifikasi halal pada produk-produk mereka, niscaya pasarnya akan lebih
bagus lagi di Indonesia.
Indonesia kini menjadi
incaran industri makanan internasional sebagai pasar halal food terbesar di
dunia. Potensi pasar halal food Indonesia, menurut Reuters, bernilai 190
miliar dolar AS dan naik 10,8% tiap tahun sampai 2019. Sedangkan untuk level
internasional, potensi pasarnya mencapai 3,7 triliun dolar AS (Global Islamic
Economy Report).
Menurut Thomson,
wartawan Reuters yang berbasis di Dubai, halal food kini telah menjadi gaya
hidup yang makin trendi, tak hanya di dunia Islam, tetapi juga di Eropa dan
Amerika. Gaya hidup halal food ini kini mengalami perkembangan yang luar
biasa dan merambah pada halal hotel, halal tourism, dan lainlain. Dunia
internasional mempercayai halal food yang memadukan makanan dengan ajaran
agama niscaya lebih sehat dan bermasa depan.
Filosofi halal food -
aman (safe), sehat (healthy), dan kemudian halal kini menjadi tren global
dari makanan yang dibutuhkan masyarakat modern. Ramadan adalah bulan penuh
berkah. Bulan di mana umat Islam tengah dilatih Allah untuk mempertajam
kewaspadaannya dalam menyikapi problema kehidupan demi meningkatkan kualitas
iman. Dan, salah satu problem tersebut adalah kehalalan makanan yang
dikonsumsi umat Islam. Kitab suci Alquran juga sudah mengingatkan: “Dan,
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”(QS
Al-Maidah : 88).
Dari ayat ini jelas
sekali, Allah menyuruh umat Islam untuk mengonsumsi makanan halal. Dan,
makanan ini dikaitkan Allah dengan aspek rezeki dan keimanan seseorang.
Karena itu, bagi umat Islam, makanan halal adalah bagian dari kewajiban
mereka yang tak terpisahkan dengan kewajiban ibadah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar