Plebisit Vs Kotak Kosong
Khairul Fahmi ;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM;
Koordinator
Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
|
MEDIA INDONESIA,
08 Juni 2016
KEKHAWATIRAN
banyak pihak ihwal pengabaian putusan MK dalam perubahan UU Pilkada akhirnya
terbukti. Pembentuk undang-undang memang mengurungkan niatnya memperberat
syarat calon perseorangan dan syarat tidak mengundurkan diri bagi anggota
DPR, DPD, dan DPRD, tetapi untuk materi lain, semisal prosedur pemilihan
calon tunggal malah dikesampingkan. Walaupun MK telah menetapkan plebisit
sebagai metode pemberian suara, pembentuk undang-undang malah bergeming
dengan menetapkan sistem kotak kosong. Pilihan kebijakan yang demikian tentu
tidak akan jadi soal sekiranya MK tidak memberi pertimbangan khusus terkait
dengan pilihan sistem itu. Namun faktanya, dalam Putusan No
100/PUU-XIII/2015, MK justru secara eksplisit menyampaikan pendapat hukumnya
terkait dengan pilihan apakah dilakukan secara aklamasi, dipilih dengan sistem
kotak kosong, atau sistem plebisit. Dua sistem yang disebut pertama dinilai
tidak sesuai dengan maksud frasa 'dipilih secara demokratis', sebagaimana
diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Pada saat yang sama, MK memilih
mekanisme plebisit dengan alasan, manifestasi kontestasi dalam pilkada lebih
tepat dipadankan dengan plebisit, yaknii rakyat menentukan pilihannya dengan
menyatakan 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal.
Anomali
Tidak
hanya sebatas itu, diadopsinya sistem kotak kosong melalui Pasal 54C
Perubahan UU Pilkada juga diikuti dengan penentuan calon terpilih pilkada
calon tunggal berdasarkan perolehan suara lebih dari 50% suara sah atau
mayoritas absolut (absolute majority).
Pilihan kebijakan tersebut justru menjadi anomali di tengah penerapan sistem
mayoritas sederhana (simple majority)
dalam pemilihan kepala daerah yang diadopsi UU Pilkada sendiri.
Dikatakan
anomali karena pertama, semua daerah dengan status otonomi luas memiliki
kedudukan yang sama sehingga tidak dibenarkan ada kebijakan yang
memperlakukannya secara berbeda dari aspek apa pun, termasuk syarat
keterpilihan kepala daerah. Dalam arti, seorang kepala daerah di
daerah-daerah otonom yang bukan daerah khusus haruslah dengan legitimasi
keterpilihan yang sama satu sama lain. Tidak boleh ada daerah yang kepala
daerah terpilihnya menggunakan sistem mayoritas absolut, sementara yang lain
menggunakan mayoritas sederhana. Apalagi, perlakuan berbeda dengan alasan
yang tidak didukung dasar filosofis dan yuridis yang jelas, misal karena
calonnya tunggal.
Jika
alasan menerapkan syarat berbeda antardaerah yang melaksanakan pilkada ialah
karena calonnya tunggal, landasan kebijakan tersebut justru amat tidak kukuh
sebab calon tunggal bukanlah sesuatu yang boleh hadir karena didesain dari
awal (by design), melainkan hanya
dapat muncul dan diketahui setelah masa pendaftaran berakhir. Bila
kemunculannya lebih karena faktor kondisi sosio-politik dalam waktu tertentu
di suatu daerah, lalu bagaimana mungkin menjadikan sebagai dasar
memperlakukan syarat berbeda untuk keterpilihan kepala daerahnya?
Kedua,
penerapan sistem mayoritas absolut tidak sebangun dengan putusan MK yang sama
sekali tidak menentukan syarat minimal perolehan suara untuk ditetapkan
sebagai calon terpilih dalam pilkada calon tunggal. MK hanya menegaskan
apabila pilihan 'setuju' memperoleh suara terbanyak, maka pasangan calon
dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah terpilih. Ketiga, penerapan
mayoritas absolut sama sekali tidak bermakna apa-apa di tengah subjek yang
akan dipilih rakyat hanya pasangan calon atau kotak kosong. Siapa pun yang
menang, tentu akan memperoleh suara lebih dari 50%. Akhirnya, mengatur syarat
minimal perolehan suara lebih dari 50% bagi calon tunggal pun hanya sebuah
kesia-siaan dan tidak akan berhasil guna apa-apa.
Anomali
di atas mengonfirmasi betapa pembentuk undang-undang terjebak dengan sistem
kotak kosong yang mereka pilih. Sistem tersebut membawa mereka pada sikap
menentukan pilihan antara mayoritas absolut dan sederhana. Padahal, jika
pembentuk undang-undang menerapkan sistem penentuan keterpilihan calon
tunggal sesuai Putusan MK, tentu jebakan itu dapat dihindari.
Konsekuensi
Secara
kasatmata, sistem kotak kosong dan plebisit sama-sama akan berujung dengan
terpilih atau tidaknya calon tunggal dalam pilkada. Hanya, secara hakiki, dua
sistem tersebut memiliki landasan filosofi yang berbeda sehingga memiliki
konsekuensi legitimasi yang berbeda pula satu sama lain. Pada sistem kotak
kosong, pasangan calon berkontestasi dengan kotak kosong. Dengan begitu,
pemilih dihadapkan pada pilihan memilih subjek hukum riil (pasangan calon)
atau subjek semu (kotak kosong). Sekalipun sistem ini hendak memenuhi syarat
sebuah kontestasi, tetapi kotak kosong bukanlah peserta pilkada, melainkan
hanya subjek semu sehingga ia bukanlah kontestasi hakiki. Ujungnya, ketika
calon tunggal memperoleh suara terbanyak, pada dasarnya ia bukan memenangi
kontestasi, melainkan sekadar menang karena berhadapan dengan bukan peserta
pilkada yang sama sekali tidak memberi perlawanan apa-apa.
Berbeda
halnya dengan plebisit. Pasangan calon bukan dihadapkan dengan kotak kosong,
melainkan ditempatkan pada tantangan memengaruhi pemilih untuk menyatakan
'setuju' terhadap dirinya sebagai kepala daerah. Artinya, tidak ada kontestasi
semu. Tidak ada pertarungan antara peserta pilkada dan subjek semu yang bukan
peserta pilkada. Yang ada ialah aktivitas meyakinkan pemilih untuk menyatakan
'setuju' selama tahapan pilkada. Ujungnya, ketika ia berhasil meyakinkan
pemilih, kemenangan yang diperoleh bukan dari kontestasi pura-pura, melainkan
hasil dari sebuah kerja riil meyakinkan pemilih.
Atas
sejumlah catatan di atas, pilihan mengikuti apa yang dimaktubkan MK dalam
putusannya jauh lebih baik dan legal jika dibandingkan dengan mengambil pilihan
yang bersimpang jalan. Lagi pula, sistem plebisit yang diterapkan dalam
pilkada serentak 2015 tidak meninggalkan catatan negatif yang patut dijadikan
alasan untuk menggantinya dengan sistem kotak kosong. Paling tidak, dengan
mengikuti apa yang telah diputus MK dapat mengurangi potensi keributan ihwal
calon tunggal dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2017 mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar