Perlukah Rektor Asing?
Asep Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar
Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA INDONESIA,
11 Juni 2016
GAGASAN perlunya
rektor asing konon awalnya diangkat Menristek-Dikti. Lalu topik itu mewabah
di berbagai grup diskusi media sosial, termasuk surat kabar. Apakah memang
sudah saatnya universitas dipimpin orang asing? Apakah sudah dijamin bahwa
orang asing lebih baik daripada orang Indonesia? Dengan demikian, peringkat
universitas kita akan menembus 100 atau 200 besar WCU (World Class University). Apa benar?
Pertanyaan-pertanyaan
itu bisa disebut pertanyaan hipotetis atau sebuah harapan. Memang perlu
diuji. Namun, persoalannya ialah premis yang membungkus ekosistem pendidikan
tinggi Indonesia ini tidak sama dengan hal itu di negara lain. Perguruan
tinggi tidak berdiri sendiri dan berada di ruang kosong. Semua saling kait
sehingga hipotesis itu secara filosofis tidak didukung perangkat asumsi
lingkungan yang mengelilingi PT. Artinya, daripada menguji hipotesis itu, lebih
baik kita telusuri persoalan akar yang ada di PT Indonesia.
Bagi universitas di
negara maju, bukan suatu hal yang aneh bila rektor ialah orang asing. Yang
penting ada kemampuannya dalam menjabarkan visi misi universitas melalui
strategi dan program yang jelas, lengkap dengan keterukuran indikator. Namun,
seorang rektor harus didukung sistem manajemen internal plus kebijakan
pemerintah yang kondusif terhadap kinerja profesionalitas. Semua aspek syarat
keperluan (necessary condition)
sudah terpenuhi oleh sistem yang jelas. Memang diperlukan aspek kepemimpinan
rektor, tetapi hal itu masuk ke dalam sufficient
condition (syarat kecukupan). Aspek necessary
condition itulah yang masih sangat lemah di negeri ini.
Pengalaman pribadi di Kanada
Ketika saya kuliah di
Kanada (1990-1996), yaitu Universitas Guelph Ontario, sebuah universitas
negeri, universitas itu mengalami dua kepemimpinan rektor. Yang pertama, Dr
Brian Segal, ialah mantan pemimpin majalah McClean, sebuah majalah mingguan
nasional yang cukup besar (seperti majalah Tempo kalau di Indonesia). Setiap
tahun majalah itu selalu membuat laporan peringkat universitas versi McClean
yang sangat prestisius. Menjadi kebanggaan warga kampus bila universitasnya
masuk lima besar universitas pola ini. Dr Segal bukan dosen juga bukan
pekerja kampus. Dia manajer profesional majalah yang andal. Artinya, walaupun
seseorang bukan dosen, di PTN Kanada kondisinya itu memungkinkan menjadi
rektor. Memang dia orang Kanada, bukan orang asing.
Rektor kedua Dr
Mordechai, warga negara Polandia, orang asing. Pada saat proses pemilihan
rektor ada pengumuman di berbagai media (koran dan
|
Setelah proses yang
cukup panjang, akhirnya terpilihlah Dr Mordechai yang orang Polandia itu.
Sebelumnya, Mordechai pemimpin sebuah college
di Amerika. Saya kembali bertanya kepada teman Iran itu tentang mengapa Dr
Mordechai yang terpilih. Dengan santai dia katakan bahwa memang Dr Mordechai
sangat jelas dalam menerjemahkan visi kampus. Mampu meyakinkan tim penilai
yang didukung dengan pengalamannya sewaktu di Polandia dan Amerika. Teman
saya merasa komite pencari rektor bekerja dengan baik, fair, dan objektif.
Tidak membedakan calon dari unsur SARA.
Inti dari kisah itu
ialah otonomi universitas yang cukup leluasa dalam penentuan pimpinan. Secara
umum model pemilihan rektor universitas di Kanada mirip seperti di Guelph.
Itu untuk PTN, universitas negeri, bukan swasta. Walaupun pemerintah (pusat
dan daerah) bertanggung jawab terhadap alokasi dana utama (bagian necessary condition), unsur manajemen
PT, perencanaan SDM, dan seluruh kegiatan universitas sepenuhnya diserahkan
kepada kampus. Dengan demikian, rektor sebagai pimpinan universitas cukup
bebas melakukan berbagai program dan kegiatan. Baik-buruknya kepemimpinan
akan terlihat dari indikator kinerja yang serbaterukur. Simpel.
Bagaimana dengan Indonesia?
Perguruan tinggi di
Indonesia dirasakan tidak terlalu bebas melakukan kreativitas manajemen.
Lembaga pemerintah yang berkaitan langsung dan semilangsung dengan PT(N)
terlalu banyak dan terlalu masuk. Para birokrat di Kemenristek-Dikti merasa
keleluasaan anggaran diatur Kemenkeu. Kelembagaan dikendalikan Kemenpan-RB.
Ketakleluasaan itu berimbas ke PT. Akhirnya kekuasaan Kemenristek-Dikti
ditumpahkan ke PT. Intervensinya terhadap PTN dirasakan terlalu tinggi. Dalam
hal pemilihan rektor saja Menristek-Dikti langsung mendapat bobot 35%.
Konsep angka itu
berimplikasi terhadap pola pemilihan rektor di PT yang mulai ngutak-ngatik
suara. Sangat kuantitatif yang menyebabkan berkurangnya perilaku akademik.
Selain itu, angka bobot tinggi menteri ialah indikasi bahwa PT sebagai unit
bawahan Kemenristek-Dikti. Hal yang sama terjadi juga bagi PTN agama melalui
Kemenag. Pola itu akan membuat permainan lobi lebih dominan daripada membahas
substansi dan kualitas calon rektor.
Dari model kelembagaan
seperti itu sangat jelas kentara bahwa otonomi universitas sekadar teori, simbol,
atau konsep. Ada di tataran ide dan sering dibahas, tetapi tidak pernah ada
praktiknya. Efeknya ialah para dosen hanya bisa menggerutu dan mengeluh di
media sosial setingkat grup WA atau millist internal. Kalaupun meluap ke
media terbuka seperti surat kabar, boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya
terhadap perubahan. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Lalu para
dosen pun kembali mengajar pola lama dengan bermodalkan buku teks yang bisa
jadi sudah kedaluwarsa. Plus presensi cap jempol. Itulah umumnya yang terjadi
di PT kita.
Dalam kondisi serumit
itu, bagaimana mungkin PT kita dapat menjadi salah satu pendongkrak devisa
negara? Mendatangkan dolar dari jumlah mahasiswa asing? Kasarnya, berjalan
saja sudah untung. Seperti cemoohan yang sering saya dengar pada 1980-an
ketika naik becak srudak-sruduk, "Bayar selawe (Rp25) saja minta
selamat." Itulah keadaannya. Walaupun demikian, ada beberapa PT yang
tembus 500 besar WCU. Itu luar biasa. Belum tentu terjadi kalau rektor
universitas itu orang asing. Bisa-bisa malah rektor asing itu resign sebelum
masa jabatannya habis.
Kerumitan kelembagaan
di Indonesia begitu tinggi. Untuk mendongkrak jumlah mahasiswa asing saja
rumitnya bukan main. Kita tidak punya suatu sistem yang komprehensif tapi
sederhana untuk perekrutan mahasiswa asing sehingga mahasiswa itu bisa dengan
mudah mendaftar di negara mereka dan langsung mendapat visa mahasiswa dari
KBRI di negara tersebut.
Kementerian di negeri
ini berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi hanya ada sebagai wacana di layar TV
sehingga birokrasinya menjadi njelimet, ruwet, panjang, dan lama. Keadaan
seperti ini sama sekali tidak kompetitif. Bisa jadi, wacana tentang perlunya
rektor asing yang sempat ramai di media masa, Menteri Luar Negeri dan Menteri
Tenaga Kerja malah tidak tahu. Kalaupun tahu, bisa saja mereka beranggapan
bahwa itu bukan urusan mereka.
Kalaupun ide rektor
asing itu dijalankan, dari siapa pun ide itu munculnya, apakah upaya ini
benar-benar akan mengobati akar penyakitnya? Apakah benar impor orang asing
untuk rektor itu menjadi solusi masalah yang melilit PT kita? Saya
beranggapan sama sekali bukan! Mengapa? Karena akar masalahnya ialah ada di
sistem birokrasi kita yang rumit, berbelit-belit, cenderung menyusahkan,
tidak efisien-efektif. Juga pimpinan PT selalu diperlakukan sebagai bawahan
pemerintah pusat. Ini yang harus diubah. Apa mau? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar