Reaktor Daya Eksperimental
Jadikan RI Jawara Nuklir Regional
Taswanda Taryo ; CEO of Project Management Office for RDE –
Batan
|
MEDIA INDONESIA,
11 Juni 2016
HAMPIR dipastikan
setiap orang di negeri ini antusias dengan program kelistrikan Indonesia
35.000 megawatt (Mw). Pasalnya, gonjang-ganjing krisis listrik di Indonesia
bukan isu baru. Di tingkat ASEAN, energi per kapita Indonesia pada 2015 masih
berada di kisaran 800 kwh. Meski sedikit unggul di atas Filipina, Indonesia
masih kalah oleh Vietnam serta tertinggal jauh dari Malaysia dan Singapura
yang kisarannya 8.000 kwh per kapita.
Dengan jumlah penduduk
257 juta jiwa, Indonesia harus mengejar ketertinggalan tersebut bila tidak
ingin kalah dalam percaturan MEA. Dalam rangka mengejar pendapatan domestik
bruto (PDB) sebesar per kapita US$14.250-US$15.500 pada tahun 2025,
ketersediaan listrik yang besar mutlak.
Peraturan Pemerintah
No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah menetapkan bahwa
kebutuhan listrik Indonesia hingga 2025 sebesar 115 Gw dan 23% di antaranya
berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, sungguh disayangkan
pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) disiapkan menjadi pilihan terakhir.
Padahal, PLTN sebagai energi baru masuk ke rencana pembangunan jangka panjang
nasional (RPJPN), yakni ‘bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir pertama yang
telah mempertimbangkan keselamatan tinggi mesti beroperasi tahun 2015-2019’.
Faktanya belum satu pun PLTN dibangun di Indonesia.
Sebenarnya PLTN
diyakini dapat menjadi solusi pas untuk memenuhi pembangunan kelistrikan
35.000 Mw sampai 2025 bahkan sampai 2050. Selain hijau, berkelanjutan dan
berdaya besar, harga listriknya kompetitif dibandingkan pembangkit listrik
lainnya. Sejumlah negara, semisal Uni Emirat Arab dan Saudi Arabia yang kaya
minyak juga telah merencanakan pembangunan PLTN. Tetangga kita, Vietnam,
sedang membangun PLTN 2x1.000 Mw dan dipastikan Malaysia segera menyusul.
Harus diakui bahwa
keputusan pembangunan PLTN sarat dengan keputusan politik meskipun belakangan
ada angin segar berembus. Pada acara ground breaking proyek pembangunan
Mobile Power Plant (MPP) di Bangka Belitung awal Juni lalu, Presiden Joko
Widodo menyatakan bahwa plus minus pembangunan PLTN sedang dikaji para ahli.
Jika hasil kajiannya positif, diharapkan Presiden segera menyatakan Go PLTN.
Ini mengingat pembangunan PLTN membutuhkan waktu antara 7-10 tahun.
Reaktor daya eksperimental
Bak pepatah, tak ada
rotan akar pun jadi. Karena keputusan politik yang maju mundur sejak PLTN
pertama kali dicanangkan tahun 1972, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di
awal 2014 bergerak cepat mengajukan pembangunan reaktor daya eksperimental
(RDE) berdaya 10 MW dengan daya listrik 3-4 MW kepada Bappenas. Ini sejalan
Rencana Jangka Menengah Nasional (RJMN) 2015-2019 Bappenas yang menyatakan
perlunya dibangun PLTN berskala kecil.
Pada 2015, konsep
pembangunan RDE telah selesai disusun. Pengerjaannya 40% muatan lokal serta
pelaksananya merupakan gabungan perusahaan rekayasa lokal dan luar
Jerman-Rusia. RDE akan dibangun di kawasan Puspiptek Serpong berdekatan
dengan Reaktor Serbaguna GA Siwabessy (RSG-GAS) 30 MW yang telah beroperasi
sejak 1987. Adapun jenis RDE yang dipilih berbasis HTGR (high temperature
gas-cooled reactor). Tidak hanya menyediakan listrik, RDE ini juga didesain
memproduksi hidrogen, desalinasi air laut dan pencairan batubara. Gas
hidrogen yang dihasilkan nantinya dapat dimanfaatkan untuk industri pupuk.
RDE memiliki konsep
PLTN masa depan atau masuk dalam kategori reaktor Generasi IV. Ciri utama
reaktor generasi IV ialah sistem keselamatan mandiri, nonproliferasi, efektif
dan efisien dalam pengoperasian, penggunaan bahan bakar dan manajemen limbah.
Pembangunan RDE di Indonesia atau yang pertama di kawasan ASEAN ini, menurut
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), akan menjadi contoh pengembangan PLTN
masa depan. Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan Tiongkok juga sedang
giat-giatnya dalam pembangunan reaktor setipe RDE.
Tentu sebuah prestasi
yang tidak bisa dianggap ringan jika Indonesia sukses membangun RDE pertama
di Asia Tenggara. Apalagi, teknologi RDE setara pengembangan teknologi
tinggi. Pembangunan RDE dapat dijadikan sebagai pembelajaran bangsa di bidang
nuklir dan melambungkan Indonesia menjadi jawara nuklir regional. Indonesia bakal
dikenal dunia sebagai produsen RDE Merah Putih. Itu pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar