Meritokrasi Jabatan dan Parpol
Miftah Thoha ; Guru Besar (ret) UGM
|
KOMPAS, 13 Juni
2016
Sebentar lagi jabatan
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Badrodin Haiti akan berakhir
karena yang bersangkutan memasuki usia pensiun. Presiden pasti akan
mengajukan calon penggantinya ke DPR. Barangkali tidak terlalu lama lagi
kabinet presidensial akan dirombak dan Presiden akan mengangkat calon-calon
menteri baru untuk menggantikan menteri yang dinilai kinerjanya tidak efektif.
Kalangan partai
politik sibuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa mengganti pimpinan partai yang bisa
membantu kabinet atau yang munas biasa untuk mempersiapkan programnya untuk
mengajukan calon-calon partainya menjadi menteri. Sementara di kalangan
birokrasi terjadi pengangkatan dan pemberhentian pejabat. Pengangkatan
jabatan menurut tata hukum administrasi negara merupakan kekuasaan pejabat
pimpinan yang berhak mengangkatnya.
Kekuasaan mengangkat
calon pejabat yang sesuai dengan
sistem merita, sistem keahlian, dan didasarkan atas kompetensi dan kejujuran
moral calon, selama ini dikenal dengan istilah meritokrasi. Meritokrasi dalam
jabatan merupakan kekuasaan yang melekat pada seseorang yang menjadi pimpinan
yang berhak mengangkatnya. Proses kekuasaan yang melibatkan seseorang yang
mempunyai hak mengangkat dengan memakai sistem merita dalam suatu organisasi
pemerintah atau nonpemerintah merupakan rutinitas yang sering kita jumpai.
Meritokrasi ini
idealnya dipergunakan secara benar sesuai kaidah kebenaran, terbuka, dan
transparan. Landasan proses pengangkatan menjadi pejabat pimpinan adalah
kompetensi, profesionalisme, kejujuran, dan keahlian calon. Calon yang tak
punya landasan keahlian seperti ini berdasarkan meritokrasi tidak bisa
diterima.
Sudah lama kita tak
mendengar meritokrasi dijalankan dengan benar. Pejabat yang tak pernah ikut
ujian atau testing tiba-tiba diangkat
menjadi pejabat. Transparansi dan keterbukaan dalam menyelenggarakan testing
calon jarang kita ketahui. Bahkan, ada seorang pejabat pimpinan yang sering
kali memberikan surat sakti
(katabelece) agar kerabatnya bisa
dipromosikan untuk suatu jabatan. Dalam literatur manajemen SDM, pengangkatan
suatu jabatan yang dilakukan harus selalu didasarkan pada prinsip
meritokrasi. Agar tak menimbulkan
kecurigaan, dijalankan secara terbuka. Tujuannya, didapat calon-calon pejabat pimpinan yang
baik dan jujur sehingga melahirkan tata cara kepemerintahan yang baik pula.
Birokrasi dan partai politik
Perilaku partai
politik merupakan perilaku kekuasaan. Tidak ada partai politik dibentuk bukan
karena kekuasaan. Bung Karno dulu sering mengatakan, partai politik itu untuk
mengejar, membentuk, dan
mempertahankan kekuasaan. Dalam pemerintahan yang demokratis, kehadiran
partai politik dalam kehidupan birokrasi pemerintahan tak bisa dihindari.
Dalam sejarah
pertumbuhan birokrasi pemerintahan yang demokratis, kehadiran partai politik
merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, landasan hukum terhadap hubungan
kerja antara pejabat birokrasi dan pejabat politik belum pernah ditata dengan
baik. Adapun pengaturannya yang
berlaku adalah berdasarkan dalil hierarki kekuasaan. Hierarki tertinggi
kekuasaan dari pejabat yang berkuasa menguasai pejabat yang berada di
hierarki bawah.
Pengaturannya
dilakukan secara taken for granted
penguasa membawahi yang dikuasai secara hierarkial. Selama ini, pejabat
birokrasi berada pada pihak yang dikuasai dan pejabat politik atau partai
politik berada di pihak yang menguasai. Dalam disiplin ilmu politik,
kewenangan politik (partai politik) adalah kewenangan membuat keputusan atau policy, karena itu posisinya berada di
hierarki atas membawahi birokrasi yang mempunyai tugas dan kewenangan
melaksanakan dan mewujudkan policy. Pihak yang berkuasa berada pada tempat
yang bisa melakukan sesuai dengan diskresi kekuasaannya bisa mengubah,
menata, dan menciptakan sistem tata hubungan kerjanya sesuai selera
politiknya sendiri-sendiri.
Suatu sistem yang baik
itu realisasinya sangat tergantung pada siapa orang yang mempergunakan sistem
itu. Jika orangnya baik beretika dan berlandasan moral agama yang kuat, akan
lahir meritokrasi yang sesungguhnya dan bermanfaat bagi orang banyak. Jika
yang memimpin orang politik, sering kali bisa diatur sesuai dengan aspirasi
politik partainya.
Suatu sistem bisa bermata
ganda melahirkan tata cara yang baik dan bisa juga sebaliknya. Kita sering
menjumpai akhir-akhir ini sistem
demokrasi itu adalah suatu sistem yang baik untuk memberikan kekuasaan pada
rakyat dan diakuinya adanya perbedaan. Akan tetapi, pelaksanaannya tergantung
aspirasi partai politiknya. Baik itu terjadi di Amerika maupun di Indonesia,
aspirasi itu kadang kala bisa merusak kekuasaan rakyat dan menyampingkan asas
perbedaan.
Sekarang demokrasi
dilakukan oleh siapa yang punya banyak uang dengan atas nama mempergunakan
demokrasi membeli suara rakyat melalui uang yang dikenal dengan sebutan
politik uang (money politic). Dalam
kehidupan partai politik yang akrab dengan kehidupan kekuasaan tadi, sistem
bermata ganda itu sering kali dilaksanakan. Partai politik dengan dalih apa
pun sulit dipisahkan dari perilaku kekuasaan ini. Kekuasaan dan partai
politik sulit dipisahkan. Eksistensi
partai politik menurut Bung Karno adalah untuk membentuk dan
memperoleh kekuasaan, serta mempertahankannya. Untuk mencapainya, pelbagai
cara bisa dilakukan.
Penelitian saya tahun
2005 tentang meritokrasi dalam manajemen SDM
selalu ditekankan dengan berpedoman melaksanakan sistem merita, tetapi
realitasnya dilaksanakan dengan banyak penyimpangan terutama karena pengaruh politik
dan uang (politicking and money politic)
tadi. Jika suatu kementerian dipimpin seorang menteri dari partai politik
tertentu, sistem manajemen di birokrasi pemerintah banyak dipengaruhi oleh
aspirasi politik dari partai politik menteri.
Mengangkat pegawai,
mengganti pejabat, katanya menggunakan sistem merita, tetapi yang diamalkan
sistem yang sesuai dengan aspirasi politik partai menteri. Penelitian saya
menunjukkan bahwa hal ini terjadi di birokrasi pemerintah. Seharusnya sejak
berlakunya UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang di dalamnya
diatur perlu adanya system merit protecting board, suatu lembaga penjamin dan
pengontrol pelaksanaan sistem meritokrasi, penyimpangan terhadap meritokrasi
sudah tidak ada. Sekarang sudah dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai
lembaga kontrol pelaksanaan meritokrasi.
Dalam kehidupan partai
politik sewaktu pemerintahan liberal di zaman Bung Karno, jika suatu
kementerian dipimpin oleh menteri dari satu partai, seluruh organisasi
kementerian dari hierarki atas sampai terbawah diduduki partai yang sama
dengan menterinya. Sampai sekarang, kehidupan suatu partai politik di dalam
birokrasi pemerintah tidak jauh bedanya. Mereka ingin berkuasa dan menguasai
sumber daya kementerian berupa anggaran dan aparatur untuk modal persiapan
memenangkan pemilu yang akan datang. Dukungan menguasai anggaran dan aparatur
inilah yang bisa mengubah tatanan administrasi negara bisa disesuaikan dengan
kekuasaan parpol.
Dahulu, Lee Kuan Yew
bersama partai politiknya membangun Singapura juga menggunakan meritokrasi.
Prinsipnya bagus, Lee ingin menciptakan tata pemerintahan yang bagus,
kompeten, dan profesional, yakni suatu dasar
yang baik agar tertata sistem pemerintahan yang baik dan modern.
Namun, di balik tujuan yang baik itu, Lee Kuan Yew menekankan adanya
pembayaran pajak yang tinggi bagi pemilik tanah, rumah, tempat tinggal,
kebun, dan pertanian yang sebagian
besar dimiliki orang Melayu, kelompok etnis yang dinilai tidak profesional
dan kompeten dalam pemerintahan.
Akibatnya, orang
Melayu ini tidak sanggup lagi membayar pajak yang tinggi sehingga
akhirnya tanah, perkebunan, dan rumah
tinggalnya dijual dan yang sanggup membeli orang-orang Tiongkok yang banyak
uangnya. Orang-orang Melayu ini menghindar dan pergi ke pinggiran, menjauh
dari kota. Tampaknya meritokrasi Lee adalah menempatkan orang-orang yang
sanggup membayar pajak sehingga pemerintahannya didukung oleh orang-orang
yang setia pembayar pajak. Maka, meritokrasi model Lee Kuan Yew ini
melahirkan Singapura yang sekarang ini.
Stephen J McNamee dan
Robert K Miller dalam The Meritocracy
Myth (2009) menyatakan mimpinya bahwa Amerika adalah tanah serba
kemungkinan. Suatu asumsi jika Anda bekerja cukup keras dan cukup berbakat,
Anda akan bisa mengatasi berbagai kesulitan dan mencapai sukses. Dan, tidak
masalah dari mana Anda akan memulai hidup karena langit tidak terbatas
luasnya.
Pendapat McNamee dan
Miller ini diperkuat Richard Longoria
dalam bukunya, Meritocracy and American
Views (2009), bahwa orang Amerika menghadapi faktor lain yang nyata dan
sering kali berpengaruh dalam pengalaman hidupnya. Ada faktor-faktor lain,
seperti: Anda harus tahu siapa yang menentukan jabatan, dan Anda harus tahu
tempat yang tepat dan waktu yang sesuai, demikian pula Anda harus tahu
adanya diskriminasi. Meritokrasi
melahirkan sistem bermata ganda karena adanya faktor lain yang berpengaruh.
Penyimpangan sistem
Meritokrasi bisa
melahirkan praktik yang berbeda dengan yang seharusnya karena dipengaruhi oleh
faktor lain. Kualitas pejabat pimpinan yang berkuasa menetapkan meritokrasi
sangat kuat pengaruhnya. Pimpinan yang sangat mencintai kekuasaan dan
landasan etika moralnya juga lemah akan bisa merusak meritokrasi. Pimpinan
yang cerdik menggunakan kajian akademis ilmiah bisa memanfaatkan meritokrasi
untuk membangun pemerintahan yang modern yang memenuhi satu sisi memuaskan
egonya.
Perilaku pimpinan yang
seperti ini yang harus dipahami melahirkan faktor diskriminatif. Orang
bukannya memahami tata aturan hukum yang berlaku, tetapi harus mencari siapa
yang menentukan tempat yang tepat dan
waktu yang sesuai agar cocok solusinya.
Semenjak birokrasi
pemerintah dipimpin partai politik, aspirasi politik dari partai politik
menteri banyak mewarnai meritokrasi ini. Maka, kemudian berlaku yang dianggap
benar selama ini. Suatu penyimpangan yang terjadi sepanjang masa, berjalan
terlalu lama, sehingga orang lalu lupa bahwa itu merupakan penyimpangan.
Maka, lantas berlaku hukum baru dalam sistem administrasi negara kita, yakni
hukum penyimpangan. Seperti tata cara menyelesaikan masalah dalam
administrasi negara dengan melahirkan perbuatan suap-menyuap. Penguasa agak
mempersulit pemberian pelayanan kepada orang yang tidak mempunyai kekuasaan.
Orang lalu mengetahui kelemahan penguasa, kekerasannya itu bisa lemah kalau
disuap, maka penguasa itu lalu mempermudah kesulitan itu.
Hubungan suap-menyuap
ini sudah lazim dilakukan antara penguasa dengan pihak yang dikusai. Dan, hal
seperti ini sudah berlangsung semenjak zaman kolonial. Sekarang, perbuatan
menyimpang suap-menyuap mulai diancam hukuman pidana oleh KPK. Penyimpangan
meritokrasi yang diuraikan di atas semestinya harus diperlakukan seperti
upaya menanggulangi suap-menyuap setelah berlakunya UU No 5 Tahun 2014. Di
kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah
banyak dipersiapkan aturan pelaksanaannya. Karena kementerian ini juga
dipimpin orang parpol, semoga Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini bisa
mengendalikan aspirasi kekuasaan politik menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar