Menjiwai Pancasila
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 02 Juni 2016
Pancasila sedang naik
daun. Terlebih, kemarin, 1 Juni, dikenang sebagai Hari Lahir Pancasila.
Mengacu pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), 29 Mei-1 Juni 1945, sekitar dua bulanan sebelum Indonesia
merdeka, Moh Yamin, Soepomo, Soekarno (Bung Karno) berpidato tentang falsafah
dan asas negara. Bung Karno akhirnya mengusulkan nama Pancasila. Presiden
Joko Widodo pun menerbitkan Keppres Nomor 24 Tahun 2016 yang menetapkan 1
Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan ditetapkan sebagai hari libur
nasional, walau efektif mulai tahun depan.
Pancasila pun menjadi
sakral. Namun, di era kekuasaan Bung Karno (Orde Lama), Pancasila justru
merupakan bagian dari Panca Azimat Revolusi, ajaran Bung Karno yang merupakan
pengejawantahan seluruh jiwa nasional, meliputi Nasakom (1926), Pancasila
(1945), Manipol Usdek (1959), Trisakti (1964), Berdikari (1965). Puncak
sakralisasi terjadi pada era Soeharto (Orde Baru). Bahkan, muncul istilah
Demokrasi Pancasila, yang kontras bedanya dengan Demokrasi Terpimpin
(1959-1965) dan Demokrasi Liberal (1950-1959).
Pada era Soeharto,
indoktrinasi Pancasila begitu masif dan meluas. Berbeda pendapat saja
dianggap anti Pancasila. Melakukan gerakan tak sesuai rezim penguasa, kecil
sekalipun, dianggap merongrong Pancasila. Setiap rezim penguasa sepertinya
berhak menafsir sendiri Pancasila. Pancasila pun menjadi kaku dan dogmatis.
Sulit menemukan ruang terbuka penuh dialog. Pancasila seakan hidup di lahan
tandus, tidak bisa tumbuh subur. Kalaupun tumbuh, ia seperti bonsai yang
kerdil.
Pancasila tidak tumbuh
menjadi jiwa bangsa. Padahal, menurut Bung Karno (1964), Pancasila sebagai
kesatuan jiwa, manifestasi persatuan bangsa dan wilayah, dan weltanschauung bangsa Indonesia. Dalam
pendekatan perilaku politik (behavioralis) yang dianut, misalnya David Easton
(1917-2014), barangkali inilah kegagalan bekerjanya sistem politik (negara)
sebagai subsistem dari sistem sosial (masyarakat). Pendekatan behavioralis
menyatakan, bagian-bagian subsistem saling berinteraksi dan bekerja sama
untuk menopang sistem itu.
Tak heran, hal itu
menjadi perjalanan bangsa penuh derita. Bung Karno telah melukiskan fase
derita bangsa ini. Dalam pidato bertajuk Penemuan Kembali Revolusi Kita pada
peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, Bung Karno membuat ilustrasi
dirinya dalam perjalanan bangsa yang baru seumur jagung. Ia mengutip Dante
Alighieri (1265-1321), pujangga Italia yang menulis Divina Commedia. Dante melakukan perjalanan penuh penderitaan
dari neraka (inferno), kemudian
mengalami segala macam penyucian di tempat penyucian (purgotario), akhirnya ia menuju surga (paradiso).
"Saya merasa
seperti Dante dalam Divina Commedia
itu. Saya merasa bahwa revolusi kita ini pun menderita siksaan segala macam
setannya neraka, segala macam penderitaannya inferno, dan kemudian dengan kembali kita ke UUD 1945, kini
sedang mengalami penyucian agar nanti kita bisa memasuki surga. Kita sedang
dalam purgotario, sedang dicuci
dari segala kekotoran, sedang dalam louteringsproces
(proses pemurnian) dalam segala hal agar nanti jika kita sudah tercuci, sudah
gelouterd (halus) kita dapat
memasuki kebahagiaan paradiso- nya
masyarakat adil dan makmur," ujar Bung Karno.
Pada masa revolusi,
Bung Karno mengidentifikasi gambaran inferno
yang dipenuhi dengan terkaman setan-setan seperti liberalisme, federalisme,
individualisme, sukuisme, penyelewengan-penyelewengan, petualang politik,
korupsi, pengeruk kekayaan negara, pemberontakan.
Hari ini gambaran inferno itu belum menghilang.
Koruptor, maling uang rakyat, penjual jabatan, perusak hukum bebas
berkeliaran, menunggangi demokrasi. Di depan publik, mereka mencitrakan diri
sangat Pancasilais, tetapi sesungguhnya merekalah para penggergaji
pilar-pilar Pancasila. Proses pencucian purgotario
selama reformasi semestinya menjadi langkah untuk menuju paradiso bangsa adil dan makmur. Syaratnya, jadikan Pancasila
sebagai jiwa yang hidup, bukan lagi yang kering. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar