Masihkah Pancasila
Dijadikan Acuan Kebijakan Publik?
Benny Susetyo ;
Budayawan
|
KORAN SINDO, 04 Juni
2016
Peringatan
Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, tahun ini jatuh pada Rabu. Tentu ini akan
menjadi momen penting dalam membangun karakter Pancasila di berbagai unsur
pemerintahan dan masyarakat.
Sebagai
dasar negara, Pancasila menjadi acuan penting dalam menentukan solusi atas
berbagai masalah. Terutama yang berkenaan dengan urusan pemerintahan. Semoga
dengan adanya peringatan hari lahirnya Pancasila ini akan terbangun jiwa-jiwa
dan karakter Pancasila bagi segenap masyarakat sehingga rasa patriotisme akan
muncul demi keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia.
Persoalan
mendasarnya, apakah Pancasila benar dijadikan acuan dalam pengambilan
kebijakan publik? Jika kekuasaan mengabaikan Pancasila dalam kehidupan
bersama, berarti Pancasila hanya simbol yang kehilangan makna. Dalam
praktiknya, Pancasila belum menjadi cara berpikir, bertindak, dan bernalar
dalam pengambilan kebijakan publik. Orientasi pada nilai-nilai Pancasila
belum dibatinkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai
Pancasila terus tergerus, baik dalam praktik tata kelola pemerintahan maupun
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Padahal, Pancasila
merupakan roh bangsa yang semakin dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan
persoalan bangsa saat ini. Sebagai bangsa majemuk, Indonesia masih menghadapi
ketegangan dan konflik komunal di sejumlah daerah.
Pancasila
akan efektif dalam praktik sosial bangsa jika diwujudkan dalam pelbagai hukum
positif yang mengatur hidup bersama. Dengan perasaan sedih dan cemas, saat
ini pun kita harus akui bahwa dari waktu ke waktu kita masih mengalami
ketegangan dan konflik di antara saudara-saudara kita sebangsa.
Meskipun
banyak yang telah dicapai oleh Indonesia dalam memperkukuh persatuan
nasional, masih ada saja sebagian masyarakat kita, sebagian yang amat kecil,
yang belum juga memahami bahwa takdir Indonesia adalah hidup dengan
kebinekaan dan dalam kebinekaan. Ancaman kekerasan dengan mengatasnamakan
agama meningkat setiap tahun dan negara tidak memiliki keberanian menegakkan
aturan.
Begitu
pun kekerasan seksual, ekonomi yang mengeksploitasi masyarakat marginal,
penggusuran, dan berbagai ketidakadilan masih terus mencoreng wajah bangsa
ini. Apalagi ditambah korupsi yang menjadi kebiasaan bangsa ini. Kondisi ini
membuat sebagian besar publik mengalami situasi ketidaknyamanan. Karena
nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan martabat manusia justru dilecehkan
dengan praktek-praktek yang menghancurkan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pada
akhirnya juga melecehkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Situasi ketidaknyamanan
secara psikologis disebabkan oleh hilangnya rasa aman, kurang hadirnya negara
dalam melindungi warganya dalam menjalankan ekspresi kebebasan beragama,
hingga lemahnya perlindungan negara pada anak-anak dan perempuan korban
eksploitasi tubuh.
Di
ranah sosial politik, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar
akibat sistem ekonomi yang hanya mementingkan pasar, namun kurang memberikan
perlindungan pada kaum lemah. Orientasi pembangunan tidak berubah, tetap
berkiblat pada eksploitasi sumber daya alam tanpa diimbangi oleh pembentukan
karakter bangsa. Akibatnya, demi materi ini banyak masyarakat lantas menjadi
terasing dari kehidupan sosialnya.
Kecemburuan
terus terjadi antarkampung, desa, dan daerah, bahkan semakin tajam hingga menjadikan
situasi dan kondisinya rentan akan provokasi konflik SARA. Ke depan,
orientasi haruslah pada semangat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
Pancasila di tengah-tengah situasi ketidaknyamanan yang diakibatkan sangat
berbedanya wacana dengan tindakan selama ini.
Adalah
ironis jika di negeri Pancasila ini kemanusiaan justru dilecehkan, hukum
berjalan terseok penuh ketidakpastian, ekonomi bahkan lebih liberal dari
negara liberal, rakyat miskin semakin dimarginalkan dengan praktik ekonomi
eksploitatif, dan korupsi terus merajalela. Jika Pancasila tidak
diaktualisasikan dalam kehidupan yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, ia akan kehilangan Rohnya.
Pancasila
harus kembali ditempatkan sebagai acuan kebijakan publik dalam mewujudkan
negara yang mampu melindungi keragaman, memperhatikan mereka yang lemah,
menjaga semangat kegotongroyongan dalam kebersamaan, dan menghilangkan
praktik korupsi. Tentang pentingnya Pancasila sebagai roh kehidupan bangsa,
Bung Hatta telah dengan sangat tegas menandaskannya.
Tanpa
adanya kesadaran akan Pancasila sebagai roh kehidupan bangsa, masih akan
terus terdengar keluhan ketidakpuasan di mana-mana. Pembangunan dirasakan
tidak berjalan sebagaimana mestinya, kemakmuran rakyat yang dicitacitakan
terus menjauh, sementara nilai uang makin merosot. Di sana-sini, banyak
sekali rencana yang telantar. keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital
tampak di mana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan,
dan lain-lain.
Pembangunan
demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik yang senantiasa terjadi
dan berkepanjangan. Indonesia yang adil masih jauh tak kunjung hadir.
Pelaksanaan otonomi daerah yang semula diharapkan membawa harapan pun banyak
yang justru menjadi sebab timbulnya pergolakan. Pancasila akan kehilangan roh
dan maknanya yang mendasar kalau para elite masih terus sibuk dengan dirinya
sendiri dan hanya memikirkan kepentingan ekonomi semata hingga melupakan
rakyatnya.
Pesan
Bung Hatta, seperti di dalam buku Demokrasi Kita , haruslah menjadi wasiat bersama
bangsa ini. Menghidupkan Pancasila membutuhkan energi, pengorbanan, dan
perombakan yang luar biasa. Itu tidak bisa dilakukan hanya dengan pendekatan
melodramatik, ataupun lewat retorika keagungan Pancasila.
Revitalisasi
Pancasila harus ditempatkan dalam konteks kemauan untuk memanusiakan
Pancasila dengan merombak struktur, sistem, dan nilai serta ratusan
undang-undang dan peraturan yang rakus, kejam, licik, dan individualistis,
serta antikemanusiaan.
Di
saat bersamaan, ini harus disertai dengan upaya membangun struktur, perangkat
derivatif, dan strategi baru bahasa pemaknaan Pancasila yang lebih
berkemanusiaan. Tanpa itu semua, membicarakan Pancasila hanya akan melahirkan
demagog-demagog saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar