Marhaban ya Ramadhan, Marhaban ya Inflasi
Bima Yudhistira Adhinegara ;
Peneliti Institute for
Development
of Economics and Finance (INDEF)
|
KORAN SINDO, 04 Juni
2016
Tidak
terasa sebentar lagi umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air akan
melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Tidak ada yang berbeda dengan
bulan-bulan Ramadan tahun sebelumnya, masalah mahalnya harga kebutuhan pokok
selalu jadi tradisi.
Berbicara
soal mahalnya harga kebutuhan pokok, klaim pemerintah selalu sama, yaitu
disebabkan lonjakan permintaan. Namun, tebersit pertanyaan mendasar, apakah
benar lonjakan permintaan selalu jadi faktor utama mahalnya harga bahan
pangan? Padahal, jika mau melihat fakta, naiknya harga juga disebabkan
distribusi pangan yang belum optimal serta minimnya pasokan di level
petani/peternak.
Jadi
jangan terburu-buru menyalahkan permintaan musiman yang naik sebagai faktor
penyumbang inflasi. Jauh sebelum bulan Ramadan, hargaharga kebutuhan pokok
sudah melonjak. Salah satu kasus yang menarik adalah harga daging sapi di
pasaran masih di atas Rp120.000 per kg. Karena peliknya masalah harga daging
sapi yang mahal ini kemudian saling tuding antarinstansi pemerintahan terkait
kegagalan stabilisasi harga pangan pun terjadi.
Berikutnya,
pemerintah menuding pemasok, penggemuk sapi, hingga pedagang dengan istilah
kartel. Faktanya, pemberantasan kartel pangan tak selalu berbuah penurunan
harga. Misalnya beberapa waktu yang lalu 32 perusahaan penggemukan daging
sapi atau feedloter diberi sanksi oleh komisi pengawas persaingan usaha
(KPPU). Bahkan dengan besarnya sanksi tersebut, beberapa perusahaan feedloter
mengajukan pailit atau bangkrut.
Faktanya,
harga daging sapi di pasaran tetap bergerak. Artinya, sumber mahalnya daging
sapi belum tentu dikarenakan kartel, tapi lebih ke sisi pasokan di tingkat
peternak. Selain masalah penanganan kartel pangan, pemerintah pun
mengeluarkan paket kebijakan jilid IX tentang stabilisasi pasokan dan harga
daging sapi. Dengan keluarnya paket tersebut diharapkan pasokan sapi dapat
tercukupi dari impor.
Sayangnya,
pemerintah lupa melihat bahwa struktur pasar impor sapi adalah oligopoli
(pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan),
sehingga pembentukan harga yang sifatnya kartel mungkin masih terjadi.
Satu-satunya cara adalah pembenahan tata niaga dari hulu hingga hilir.
Peternak sapi domestik di dukung agar pasokan lebih melimpah dengan berbagai
insentif.
Selain
itu, harus ada perlindungan harga di level peternak domestik. Jangan sampai
harga di pasaran mahal, sementara peternak mengalami kerugian sehingga yang
terjadi adalah kemalasan untuk menambah produksi. Masalah berikutnya yang
tentu klasik adalah pembukaan kran impor sapi besar-besaran untuk mengatasi
kelangkaan pasokan selalu dijadikan solusi final. Ini jelas kebijakan sesat
pikir yang terus berulang.
Tidak
salah apabila peternak domestik lebih memilih menjadi trader impor daging
sapi. Dengan berkurangnya peternak sapi dan meningkatnya trader impor ancaman
stabilitas harga akan terus menghantui. Masalah stabilitas harga pangan juga
bisa dilihat dari tidak akurnya data produksi pangan antara BPS dan
Kementerian Pertanian.
Pemerintah
akhirnya tidak bisa satu angka dalam menjawab berapa impor yang diperlukan
dan berapa kebutuhan nasional yang harus dipenuhi agar harga stabil.
Pengambil kebijakan di level teknis pun akhirnya bingung dalam menentukan
jumlah pasokan yang ideal.
Ujungujungnya
membuat akurasi kebijakan pengendalian harga dari sisi supply berantakan.
Jadi, sebelum jauh melihat kebutuhan dan pasokan sapi nasional, instruksi
presiden tentang integrasi pusat data di satu lembaga BPS (Badan Pusat
Statistik) harus segera di realisasikan.
Benahi Logistik dan TPID
Dari
segi distribusi bahan pangan, masalah klasik yang jauh dari ideal adalah
logistik. Dalam Ease of Doing Business
peringkat Indonesia masih berada di posisi 109, jauh tertinggal dibandingkan
Thailand (49) dan Malaysia (18). Salah satu alasannya, performa logistik
Indonesia hanya 3,21 sedangkan Thailand 3,29 dan Malaysia 3,47. Saat ini
biaya logistik masih berkisar 23% dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Hal
ini tentu membuat Indonesia masuk jajaran negara berbiaya tinggi atau high
cost economy. Permasalahan logistik juga berkaitan erat dengan harga pangan
yang meroket. Rantai pasokan pangan yang panjang merupakan dampak langsung
dari buruknya tata kelola logistik. Jadi dapat disimpulkan bahwa tata kelola
logistik dan inflasi pangan saling berkaitan.
Hal
urgen yang perlu dilakukan dari segi logistik adalah pemberian insentif untuk
mendirikan pusat logistik berikat (PLB) di berbagai daerah sentra pangan,
serta penurunan dwelling time atau masa tunggu barang di pelabuhan secara
signifikan dengan berbagai kebijakan, dan mempercepat pembangunan
infrastruktur pendukung logistik seperti pelabuhanpelabuhan baru.
Kunci
pengendalian harga pangan sejatinya juga menjadi tanggung jawab TPID (Tim
Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah). Evaluasi terhadap kinerja TPID
selama ini mutlak harus dilakukan karena operasi-operasi pasar yang dilakukan
terbukti tidak dapat menurunkan harga. Operasi pasar yang diusulkan TPID
dalam menghadapi kenaikan harga pangan belum tentu efektif selama masalah
distribusi pangan tidak optimal.
Karena
itu, melihat efektivitas kebijakan pengendalian inflasi selama ini, deflasi
yang sebelumnya terjadi karena faktor panen raya dan pelemahan daya beli di
awal 2016 diprediksi tidak akan berlanjut saat bulan puasa. Sebagai catatan,
deflasi beruntun melanda Indonesia selama tiga bulan dari Februari hingga
April 2016. Deflasi bulan April sebesar 0,45% tercatat sebagai deflasi
terendah selama 16 tahun terakhir. Era deflasi sebentar lagi akan berganti
inflasi.
Prediksi
inflasi akan bertambah sebesar 1-1,2% saat memasuki bulan puasa. Selain itu,
meskipun secara tahunan prediksi inflasi optimis berada di bawah 4,7% sesuai
target APBN2016, inflasi yang tinggi di Indonesia tetap jadi kendala.
Tingginya inflasi jelas akan berdampak juga ke penurunan suku bunga. Jika
inflasi masih tinggi secara tahunan, maka upaya BI untuk menurunkan suku
bunga kredit perbankan akan sulit.
Selain
itu inflasi jelas buruk untuk daya beli masyarakat. Jadi, momentum
pengendalian harga di bulan Ramadan jadi prasyarat penting terhadap dua hal,
penurunan suku bunga perbankan dan penguatan daya beli masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar