Kembali ke Ideologi Pancasila dan UUD 1945
Hendardji Soepandji ;
Mantan Aspam KSAD; Mantan
Danpuspom TNI AD
|
KORAN SINDO, 01 Juni
2016
Saat
Presiden Pertama RI Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia( BPUPKI ) atau disebut juga Dokoritsu Junbi Chosakai
pada 1 Juni 1945 menyampaikan rumusan tentang Pancasila, saat itu pula bangsa
Indonesia memiliki pedoman hidup.
Di
situlah ”ruh kemerdekaan” Indonesia ”ditiupkan” hingga akhirnya bangsa ini bisa
merdeka pada 17 Agustus 1945. Dalam konteks ini kemerdekaan Indonesia
betul-betul dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45).
Karena
itu, tanggal 1 Juni merupakan tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia
sehingga wajarlah jika saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk
menetapkan tanggal tersebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang harus
diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia dan ditetapkan sebagai libur nasional.
Jika hal itu terwujud, akan menjadi penghargaan tertinggi pemerintah terhadap
Pancasila dalam 71 tahun terakhir.
Dalam
masa pemerintahan enam presiden sebelumnya, termasuk pemerintahan Soekarno,
belum ada (belum terwujud) keinginan pemerintah untuk menjadikan 1 Juni
sebagai Hari Lahir Pancasila lewat penetapan resmi. Padahal, penetapan itu
sangat penting sebagai pengakuan terhadap sejarah berdirinya bangsa Indonesia
yang berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Nilai-nilai
luhur tersebut selanjutnya perlu dipahami, dihayati, dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berpedoman terhadap nilai-nilai tersebut,
kita akan dapat mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Karena itu, kita perlu memahami makna yang terkandung
dalam setiap sila sebagai berikut. Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.
Mempunyai
makna bahwa setiap warga negara berhak menganut dan menjalankan ibadah sesuai
agama masing-masing. Karena itu, perlu dibangun toleransi antarumat beragama.
Sikap toleran seperti ini tentu saja dapat menghindari konflik antarumat
beragama dan munculnya dominasi dari agama tertentu. Sila Kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab mengandung arti hubungan antarmanusia.
Dari
hubungan tersebut ditumbuhkan sikap tenggang rasa, saling menyayangi,
menghargai, dan menjunjung tinggi nilainilai harkat dan martabat kemanusiaan.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia mengamatkan kepada seluruh bangsa Indonesia
yang plural untuk tetap menjunjung rasa persatuan di dalam perbedaan. Karena
itu, perlu ditumbuhkan rasa saling menghormati dan menghargai sesamanya.
Perbedaan
bukanlah menjadi penghambat bagi munculnya persatuan, tetapi sebaliknya,
perbedaan merupakan sebuah kekuatan untuk bersatu. Sila Keempat, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan politik dan
pemerintahan negara.
Sila
ini juga meminta setiap warga menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara
dibanding kepentingan pribadi dan golongan atau kelompoknya. Dalam sila
inilah prinsip demokrasi dibentuk. Terakhir, Sila Kelima, Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia di mana negara menjamin tercipta keadilan dan
kesejahteraan umum.
Namun,
di sisi lain, setiap warga juga harus menyadari hak dan kewajibannya demi
terwujudnya kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial. Namun, dalam
kenyataannya nilai-nilai tersebut belum diimplementasikan dengan benar.
Padahal, Pancasila sudah menjadi dasar negara, ideologi nasional, dan
pandangan hidup (way of life)
bangsa Indonesia.
Dalam
perkembangannya, perilaku kehidupan kini sudah menyimpang dari Pancasila
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh the founding father kita. Berbagai peristiwa
belakangan ini menunjukkan betapa kita sudah lupa akan Pancasila. Malahan
lupa akan jati diri sebagai bangsa yang beradab. Lihat saja, betapa maraknya
kasus kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan yang dilakukan bahkan
terhadap anak-anak di bawah umur.
Selain
itu, korupsi yang belum terselesaikan, aksiaksi operasi tangkap tangan (OTT)
yang melibatkan beberapa pejabat negara baik eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif menjadi bukti bahwa negara ini sudah sesak dengan para koruptor.
Bahkan terjadi pula degradasi moral seperti kasus-kasus pemerkosaan dan
pembunuhan yang terjadi di Rejanglebong (Bengkulu), Tangerang (Banten),
Pemalang (Jawa Timur), yang menunjukkan betapa murahnya nyawa manusia.
Betapa
tidak bernilainya kehormatan wanita di hadapan para penjahat seksual. Belum
lagi, kasus-kasus penyalahgunaan narkoba yang makin marak, bahkan oleh
penggunanya anak-anak di bawah umur. Dengan situasi dan kondisi seperti itu,
konsep Revolusi Mental yang pernah didengungkan oleh Jokowi sepantasnya
direalisasikan.
Nilai-nilai
luhur yang terdapat dalam Pancasila tampaknya masih sebatas konsep, belum
menjadi jiwa bagi bangsa Indonesia. Malahan tampaknya terjadi pergeseran
ideologi menjadi liberal. Sebagai contoh, berdasarkan UU No 12 Tahun 2011,
yakni ada perubahan tugas, kedudukan, dan kewenangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara
setingkat kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK, membuat Indonesia tidak
lagi memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
GBHN
adalah hasil ketetapan MPR dan itu merupakan frame kebijakan Indonesia. Awal
Era Reformasi, Tap MPR tersebut bahkan keluar dari hierarki perundang-undangan.
Dengan tidak ada GBHN, perubahan sistem pun akan mudah dilakukan tergantung
siapa pimpinan negaranya. Itu pula yang mungkin turut menghadirkan sistem
liberal di Indonesia karena terkena arus globalisasi.
Alhasil,
semua bisa mengatasnamakan kebebasan dan hak asasi manusia. Padahal, dalam
sistem Pancasila, kebebasan yang ada adalah terbatas atau dibatasi
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri. Ketika ”keran” sistem
liberal itu terbuka, normanorma masyarakat pun ikut tergerus. Yang muncul
kemudian adalah kebebasan yang kebablasan.
Saat
ini HAM dan kebebasan menjadi sesuatu yang diagung-agungkan dalam proses
pengambilan keputusan masalah nasional sehingga hal itu memosisikan HAM dan
kebebasan sebagai ideologi negara, dan menenggelamkan nilai-nilai Pancasila
dalam proses pengambilan keputusan nasional. Padahal, HAM dan kebebasan
sebagai bagian dari Pancasila sebagai dasar negara bukan sesuatu yang di atas
ideologi negara.
Karena
itu, kita harus arif dalam menyikapi perkembangan lingkungan dan tetap
menempatkan Pancasila sebagai falsafah negara, ideologi negara, dan sumber
dari segala sumber hukum. Dan, ini semua diperlukan keberanian kita untuk
menunjukkan identitas sebagai bangsa Indonesia agar kita tidak
terombang-ambing oleh perkembangan lingkungan dan tidak kehilangan jati diri.
Sebagai
bangsa yang berdaulat dengan Pancasila sebagai ideologi yang harus dijunjung
tinggi, dihormati, dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
HAM, dan kebebasan yang ditempatkan di atas ideologi negara memberikan ruang
yang lebar bagi munculnya ideologi lain di luar Pancasila. Pada gilirannya
akan mengantarkan perpecahan akibat konflik vertikal maupun horizontal yang
mengakar.
Dengan
demikian, saat ini sudah selayaknya kita kembali kepada Pancasila sebagai
ideologi negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kita
harus kembali kepada nilai-nilai luhur Pancasila dalam setiap perilaku, dan
kembali pada naskah asli UUD1945, bukanyang telah diamendemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar