Ambiguitas Pengaturan Politik Uang
Titi Anggraini ;
Direktur Eksekutif Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi
|
KOMPAS, 09 Juni 2016
Rapat
Paripurna DPR telah mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang No 1 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada.
Pengesahan UU ini memberikan kepastian hukum persiapan penyelenggaraan
pilkada serentak pada 15 Februari 2017.
Respons
optimistis banyak dilontarkan menyikapi pengaturan baru dalam UU ini, di
antaranya soal penguatan penegakan hukum politik uang. Pengaturan baru
tersebut bisa diklasifikasi dalam tiga isu. Pertama, penguatan kewenangan
Bawaslu provinsi untuk memutus sanksi administrasi pembatalan sebagai
pasangan calon bagi calon yang melanggar larangan menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan
dan/atau pemilih. Keputusan Bawaslu provinsi bisa dibanding ke Bawaslu RI dan
apabila masih tidak puas bisa menempuh upaya hukum terakhir kasasi ke
Mahkamah Agung.
Kedua,
penegakan sanksi administrasi politik uang tidak menggugurkan sanksi pidana.
Dua sanksi ini bisa diterapkan bersamaan tanpa ketergantungan proses satu
sama lain. Ketiga, pengaturan sanksi pidana yang tegas atas politik uang
berupa jual beli kursi pencalonan (mahar politik/sewa perahu); jual beli
suara pemilih (vote buying); dan
suap kepada penyelenggara pemilihan.
Banyak
pihak berharap dengan penguatan Bawaslu dan sanksi yang lebih tegas, politik
uang bisa dieliminasi dan calon yang melanggar bisa dibatalkan
kepesertaannya. Harapan ini wajar sebab selama ini tidak satu pun kasus
politik uang yang berujung diskualifikasi calon akibat penegakan hukum yang
mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dengan
sanksi administrasi pembatalan pasangan calon tanpa menunggu proses pidana
dianggap bisa membuat calon jera. Benarkah demikian? Ternyata tak semudah
itu. Aturan yang baru tetap mengandung celah yang bisa berakibat mandulnya
implementasi di lapangan.
Syarat kumulatif
UU
Pilkada memang mengatur sanksi administrasi pembatalan pasangan calon bagi
yang terbukti melakukan politik uang (menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya) untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau
pemilih. Namun, ketentuan itu mengandung pemberatan syarat sebab sanksi
administrasi pembatalan pasangan calon hanya bisa dilakukan atas pelanggaran
politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (vide
pasal 135A ayat (1)). Frasa "dan" menunjukkan sifat kumulatif dalam
pelanggaran dimaksud.
Penjelasan
pasal 135A ayat (1) menerjemahkan "terstruktur" sebagai kecurangan
yang dilakukan aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara
pemilihan secara kolektif atau bersama-sama. "Sistematis" adalah
pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi.
Dan "masif" adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya
terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Jika
merujuk definisi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu bisa
disimpulkan sepanjang politik uang tidak dilakukan aparat struktural, tidak
direncanakan matang, atau tidak luas pengaruhnya, calon yang melakukan
politik uang tidak bisa dibatalkan kepesertaannya. Alias ada ruang toleransi,
bahkan bisa disebut legalisasi politik uang sepanjang tidak terstruktur,
sistematis, dan masif.
Ambiguitas
dan kekacauan pengaturan tidak berhenti di situ. Legalisasi politik uang
berlanjut dengan kehadiran penjelasan pasal 73 ayat (1) yang mengatur bahwa
tidak termasuk "memberikan uang atau materi lainnya" meliputi
pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta
kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/ atau
pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran
dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.
Pengaturan
ini merupakan selimut praktik politik uang dengan dalih sulit menghadirkan
pemilih apabila tidak disediakan biaya makan minum dan transpor. Pemberian
biaya makan minum dan transpor sebagai pengecualian politik uang menunjukkan
ketidakpercayaan diri politisi dalam berkampanye.
Pengecualian
biaya makan minum, transpor, dan hadiah dari definisi politik uang membuat
kampanye hanya dimaknai kehadiran fisik pemilih entah bagaimanapun caranya.
Padahal, kampanye bukanlah kerja politik instan yang dilakukan sebatas masa
kampanye.
Kampanye
merupakan kerja panjang politik yang mensyaratkan konsistensi dan perilaku
humanis untuk meninggikan derajat politik pemilih. Pemilih bukan sekadar lumbung
suara, melainkan subyek pemilihan sebagai mitra setara calon.
Kampanye
bukan cuma kebutuhan calon, tetapi sebagai ruang agregasi kepentingan pemilih
atas calon. Medium bertemunya dua kepentingan dalam membangun tawar-menawar
arah kebijakan politik dan pelayanan publik ke depan. Kehadiran Penjelasan
pasal 73 ayat (1) merupakan kegagalan pembuat UU dalam menggunakan instrumen
kampanye sebagai sarana mewujudkan integritas pilkada. Alih-alih menjadikan
pemilih sebagai subyek, UU ini malah memosisikan pemilih sebagai obyek yang
didekati dengan makan minum, transpor, dan hadiah.
Padahal,
tanpa membuat pengaturan seperti itu pun pembiayaan pertemuan tata muka dan
pertemuan terbatas antara calon dan pemilih telah diatur sangat baik dalam
Peraturan KPU dengan mendasarkan pada standar biaya daerah. Bahkan, KPU telah
mengatur bahwa setiap bahan kampanye yang dibuat calon apabila dikonversikan
dalam bentuk uang nilainya tidak boleh melebihi Rp 25.000 (dua puluh lima
ribu rupiah).
Pendekatan nontunai
Bagaimana
berikutnya? Harapan tinggal pada KPU dan Bawaslu untuk mengatur lebih lanjut
dan menutup ruang-ruang kecurangan yang mungkin terjadi. Sebagai turunan UU,
Peraturan KPU harus menerjemahkan penjelasan pasal 73 ayat (1) dengan
pendekatan nontunai. Bahwa segala hal berupa biaya makan minum peserta
kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye
pada pertemuan terbatas dan/ atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan
hadiah; tidak boleh diberikan secara tunai kepada pemilih.
Segala
biaya tersebut harus berupa sarana dan prasarana yang diatur pembatasan
jumlahnya oleh KPU. Dengan demikian, tidak ada keterlibatan uang tunai antara
pemilih dan calon. Jika ada pemberian uang tunai, dikategorikan politik uang.
Selain itu, uang makan minum atau transpor biayanya tidak boleh melampaui Rp
25.000 per pemilih sebagaimana pengaturan KPU untuk bahan kampanye.
Melalui
pengaturan ini, diharapkan calon dan timnya bisa fokus melakukan kampanye
yang menempatkan pemilih sebagai insan mulia. Bukan cuma dinilai dari
sejumlah biaya makan minum, transpor, dan hadiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar